Ficool

Chapter 16 - BAB 16 — Bayi yang Tidak Menangis, dan Rahasia yang Tidak Pernah Diceritakan

Orang-orang kampung pernah bilang:

"Ana bocah lair ora nangis, kuwi tandha ora lumrah."

("Ada anak lahir tanpa menangis, itu pertanda tidak biasa.")

Surya tidak pernah tahu kalimat itu ditujukan untuk dirinya sendiri—setidaknya, tidak sampai malam itu, ketika Mbah Sarpin memanggilnya diam-diam setelah perang mulai mereda. Pemuda itu baru saja membantai dua faksi besar dunia gelap, namun wajahnya tampak kosong… seperti tubuhnya ada di dunia, tapi jiwanya tersesat entah di mana.

Mbah Sarpin menyalakan sebatang menyan, asapnya melingkar seperti ular yang malas bergerak.

"Nduk," katanya perlahan, "saatmu ngerti opo sing sejatine ana ing awakmu."

("Nak, sudah saatnya kamu tahu apa yang sebenarnya ada di dalam dirimu.")

Surya diam, matanya tajam namun lelah.

Mbah Sarpin membuka tas kulit tuanya, mengeluarkan secarik kain merah kusam berbau tanah lembap.

Itu adalah kain pembungkus bayi Surya saat lahir.

Lusuh. Pekat. Dan ada bekas sidik jari hitam seperti tangan kecil yang terbakar.

"Kowe kuwi lair ora nangis. Ora gelem nyusu. Ora gelem ndelok cahya."

("Kamu lahir tanpa menangis. Tidak mau menyusu. Tidak mau melihat cahaya.")

Surya mengernyit—ibunya tak pernah bercerita.

"Waktu bibirmu dibuka," lanjut Mbah Sarpin, "wong-wong ning omahmu ndelok ana banyu ireng tipis metu."

("Waktu mulutmu dibuka, orang-orang melihat air hitam tipis keluar.")

Surya terdiam. Tubuhnya terasa lebih dingin dari biasanya.

Mbah Sarpin menatapnya tanpa berkedip.

"Anak-anak lahir membawa cahaya. Tapi kamu… lahir membawa bayangan."

Asap menyan menebal, seolah ruangan menyempit.

"Ayahmu dulu pernah ndedonga karo wong sing ora kudune."

("Ayahmu dulu pernah berdoa kepada sesuatu yang seharusnya tidak.")

Surya menegakkan badan.

"Makhluk itu… masih mengikutiku?"

"Bukan mengikuti," jawab Mbah Sarpin. "Tapi melekat sejak kamu belum bisa membuka mata."

Surya memejam. Kepalanya terasa seperti dihentak dari dalam.

"Makhluk itu memberi kamu tiga hal:

ketajaman insting pembunuh,

daya tahan terhadap rasa takut,

kemampuan melihat niat orang lewat sorot mata."

"Dan satu hal lagi…"

Suara Mbah Sarpin merendah.

"Kemampuan itu akan terus tumbuh… sampai kamu sendiri tidak bisa membedakan mana yang manusia, mana yang musuh, mana yang pantas hidup, mana yang tidak."

Surya merasakan sesuatu berdenyut di dalam dadanya.

Sesuatu gelap. Sesuatu yang dulu membuat orang-orang dunia bawah menyebutnya macam-macam:

"Setan Pesisir"

"Bocah Sing Ora Punya Rasa"

"Mata Ijo"

Mbah Sarpin memegang bahunya dan berbisik:

"Yen ora kowe sing ngendhaleni peteng iku, peteng iku sing bakal mangan kowe."

("Jika bukan kamu yang mengendalikan kegelapan itu, maka kegelapan itu lah yang akan memakanmu.")

Surya membuka mata.

Di dalam pupilnya—ada kilatan gelap yang bukan milik manusia.

Dan untuk pertama kalinya…

Surya mulai sadar:

Dia tidak hanya sedang bertarung dengan dunia gelap.

Dia sedang bertarung dengan dirinya sendiri.

 

 

More Chapters