Sejak Surya pulang ke desa dan berubah menjadi lelaki yang suka bercanda, murah senyum, dan selalu terlihat santai, sebagian orang—terutama anak-anak muda yang baru tumbuh bulu di dada—mulai memandangnya sebelah mata.
Bagi mereka, Surya hanyalah:
Lelaki desa biasa.
Bekerja di sawah.
Ngobrol di warung kopi.
Kadang melawak seperti pelawak pasar malam.
Tidak pernah marah.
Tidak pernah membentak.
Tidak pernah melawan.
Dan di desa yang tenang namun penuh gosip ini, kelembutan sering dianggap kelemahan.
Suatu sore, ketika Surya pulang dari ladang dengan baju basah keringat dan sedikit lumpur di betisnya, ia melihat sekelompok pemuda nongkrong di tikungan dekat rumahnya. Mereka bertujuh—campuran anak putus sekolah, anak perantauan gagal, dan anak desa yang hobinya balap liar dan mabuk tuak.
Nama mereka sering disebut warga:
Farhan, Jeri, Mamat, Roji, Diko, Arul, dan Fadil.
Mereka dikenal suka bikin onar—melempari rumah orang, memalak anak kecil, merusak kebun tetangga. Tapi keluarga mereka punya hubungan kuat dengan aparat desa, jadi tidak ada yang berani menegur.
Ketika Surya lewat, mereka melihatnya tertawa—meledek.
"Eh, iki Surya pelawak desa!"
(Eh, ini Surya si pelawak desa!)
"Mas, jangan senyum terus, nanti orang-orang kira mas ini tolol."
Seorang lagi nyeletuk:
"Katanya dulu surya itu aneh ya? Kayak orang ilang ilmunya."
Lainnya tertawa keras.
Surya tersenyum, santai.
"Yowis, ketawane sing banter. Mumpung belum ada tagihan pajak tertawa."
(Silakan tertawa yang keras. Mumpung belum ada pajak tertawa.)
Pemuda-pemuda itu saling pandang, merasa diledek balik.
Tapi karena Surya berkata sambil senyum, mereka tidak menggubris.
Namun dari balik senyum itu…
mata Surya sempat berubah.
Hanya sepersekian detik.
Tajam.
Dingin.
Seperti dua bilah pisau tipis.
Tak ada yang menyadarinya.
Atau… mungkin satu orang menyadarinya—Fadil—pemuda yang paling kecil di kelompok itu. Ia sempat diam, merinding sesaat sebelum cepat-cepat mengikuti teman-temannya tertawa lagi.
Hari-hari berikutnya, gangguan kecil mulai muncul.
Awalnya hanya suara berisik di depan rumah.
Pemuda-pemuda itu lewat sambil sengaja geber motor.
Kadang mereka pura-pura jatuh di depan Surya lalu tertawa, menuduh Surya "bocah culun yang tidak paham dunia luar desa."
Surya tetap tersenyum.
Tetap tenang.
Tetap lembut.
Karena ia ingin hidup damai.
Ia ingin karakter lamanya mati di desa ini.
Tapi mereka salah membaca ketenangan itu sebagai ketakutan.
Salah besar.
Puncaknya terjadi pada malam Jumat, ketika Surya sedang mandi di sumur belakang rumah.
Ia mendengar seseorang bersiul.
Gelak tawa.
Langkah kaki mendekati rumah.
Tak lama, adiknya—Intan—berteriak dari dalam.
"Mas! Mas!! Ana wong mlebu!!"
(Mas! Mas!! Ada orang masuk!!)
Suara laki-laki terdengar menggoda dan mabuk:
"Sini, dek… kamu manis banget kalau ketakutan…"
Jantung Surya berhenti sejenak.
Senyumnya hilang.
Wajahnya datar.
Air menetes dari rambutnya.
Lalu…
Sesuatu di dalam dirinya—
yang selama ini ia paksa tidur—
bangun.
Bukan sekadar bangun.
Mengamuk.
Surya meraih sarung yang tergantung, mengikatnya asal, lalu berjalan pelan menuju rumah.
Tidak terburu-buru.
Tidak panik.
Langkahnya seperti langkah seseorang yang sudah tahu apa yang akan terjadi.
Seperti macan yang baru saja diusik ketika tidur.
Begitu ia memasuki rumah…
Ia melihat tiga pemuda memojokkan adiknya di ruang tengah.
Intan menangis ketakutan.
Salah satu dari mereka menyentuh pipinya.
Malam itu…
desa kecil itu menyaksikan sesuatu yang kelak menjadi cerita bisik-bisik belasan tahun kemudian.
Surya berdiri di ambang pintu, basah, rambut menjuntai, mata hitam pekat seperti sumur tua, dan suara tubuhnya bergetar pelan…
"Le…
sopo sing nyentuh adikku?"
(Anak… siapa yang berani menyentuh adikku?)
Suara yang tak pernah warga dengar sebelumnya.
Suara yang… tidak terdengar manusia.
Tiga pemuda itu menoleh—
dan untuk pertama kalinya…
mereka melihat siapa sebenarnya lelaki yang selama ini mereka kira culun.
Dan malam itu menjadi awal tragedi…
yang akan meruntuhkan seluruh desa.
