Ficool

Chapter 2 - Tentang Luka yang Tak Pernah Dibicarakan

Karya: Fajri Maulana Zibon

‎Penerbit: ZIBON UPDATE Production

‎Ada luka yang tidak terlihat tapi terasa setiap kali kita mengingatnya. Luka yang tidak pernah dibicarakan karena takut dianggap lemah, padahal justru di situlah kekuatan tersembunyi berada — kemampuan untuk tetap diam meski hati berteriak.

‎Semar sudah lama belajar untuk tidak menuntut banyak dari siapa pun. Ia hanya ingin dipahami tanpa harus menjelaskan, disapa tanpa harus memulai, dan didengarkan tanpa perlu membuat drama. Tapi di keluarganya, keheningan sering disalahartikan sebagai malas bicara, dan ketenangan dianggap tanda tak peduli.

‎Ia sering duduk sendirian di beranda rumah pada sore hari, menatap langit yang memudar warna jingganya. Kadang ia teringat masa-masa ketika dirinya masih bersemangat, membawa map berisi lamaran kerja, berjalan kaki menembus panas kota. Dalam setiap langkah, ia berharap ada satu suara dari rumah yang berkata, "Aku percaya kamu bisa." Tapi suara itu tak pernah datang.

‎Yang datang justru bisik-bisik kecil dari orang sekitar — kata-kata yang menusuk tapi dibungkus nasihat. "Coba lebih rajin, jangan pilih-pilih kerja."

‎Mereka tak tahu, Semar sudah mencoba segalanya. Ia hanya belum beruntung, bukan tidak berjuang.

‎Kak Rani mungkin mengira semua ini sepele. Mungkin baginya, memberi uang setiap bertemu adalah bentuk kasih yang cukup. Tapi Semar memandangnya berbeda.

‎"Dari pada ngasih ikan, kenapa tidak ngasih pancing?" gumamnya suatu malam.

‎Ia tak butuh belas kasihan, ia butuh kesempatan — ruang untuk menunjukkan bahwa dirinya bukan adik yang gagal, melainkan seseorang yang hanya terlambat menemukan jalannya.

‎Kadang ia bertanya dalam hati, "Apa Kak Rani pernah benar-benar mencoba memahami isi kepalaku?"

‎Ia tahu, sang kakak kini punya kehidupan sendiri, anak-anak, dan tanggung jawab besar. Tapi bukankah cinta keluarga seharusnya tidak berhenti di batas rumah tangga baru?

‎Semar tidak marah, hanya kecewa.

‎Ia kecewa karena orang yang seharusnya menjadi teladan justru lupa makna sederhana dari dukungan.

‎Ia kecewa karena setiap kali ia jatuh, yang datang bukan tangan untuk mengangkat, tapi ucapan yang membuatnya merasa lebih rendah.

‎Namun seiring waktu, Semar belajar satu hal: tidak semua luka perlu diperlihatkan agar sembuh.

‎Kadang, justru dengan menyimpannya rapat, kita menemukan keteguhan baru dalam diri sendiri.

‎Ia mulai berdamai dengan sepi, mengerti bahwa tidak semua kasih harus diminta, dan tidak semua pengertian bisa dipaksakan.

‎Dalam diam itu, ia menulis — bukan untuk didengar, tapi agar hatinya tidak penuh.

‎Ia menulis tentang rumah, tentang kakak, tentang hidup yang tak selalu adil tapi tetap layak dijalani.

‎Dan dari setiap kalimat yang lahir, Semar menemukan satu bentuk kekuatan yang berbeda: kekuatan untuk tetap lembut meski pernah disakiti.

More Chapters