Ficool

Chapter 6 - Saat Kesepian Menjadi Guru Terbaik

Karya: Fajri Maulana Zibon

‎Penerbit: ZIBON UPDATE Production

‎Kesepian dulu adalah hal yang paling ditakuti Semar.

‎Ia selalu berusaha mencari keramaian, seolah dengan banyak orang di sekelilingnya, hatinya bisa terasa utuh. Tapi pada akhirnya, ia sadar: bukan jumlah manusia di sekitar yang menentukan kedamaian, melainkan isi hati sendiri.

‎Malam-malam panjang sering ia lewati dengan pikiran yang berputar. Tentang perjalanan hidup, tentang saudara yang menjauh, tentang cita-cita yang sempat hancur di tengah jalan.

‎Namun di tengah sepi itu, justru muncul kesadaran baru: bahwa kesepian bukan hukuman — melainkan panggilan untuk lebih mengenal diri sendiri.

‎Di waktu seperti itu, Semar mulai memahami bahwa hidup tidak selalu memihak pada yang rajin berteriak.

‎Kadang, yang tenang dan sabar justru lebih kuat menanggung luka.

‎Ia menatap langit-langit kamarnya, lalu berkata pelan dalam hati:

‎"Mungkin Tuhan sedang mengajarkan aku untuk kuat tanpa tepukan, dan bahagia tanpa sorakan."

‎Kesepian membuat Semar belajar banyak hal yang dulu ia abaikan.

‎Ia jadi lebih peka terhadap doa, lebih rajin menulis, dan lebih memahami arti waktu.

‎Setiap detik yang hening menjadi ruang untuk bercakap dengan dirinya sendiri — sesuatu yang dulu tak pernah ia lakukan karena terlalu sibuk membuktikan diri kepada dunia.

‎Ia mulai paham, bahwa sepi tidak selalu berarti sendiri.

‎Kadang, di tengah sepi, Tuhan justru paling dekat.

‎Dan di antara semua ketiadaan, ada rasa damai yang sulit dijelaskan — rasa yang hanya bisa muncul ketika seseorang berhenti berlari dari dirinya sendiri.

‎Dalam diam itu, Semar menulis lagi:

‎"Kesepian bukan musuh, tapi guru yang tak banyak bicara. Ia datang bukan untuk menghukum, tapi untuk mengingatkan: bahwa aku masih punya diriku sendiri."

‎Hari-hari berikutnya, Semar mulai menikmati rutinitasnya.

‎Bangun pagi, menyiapkan teh hangat, menulis sedikit, lalu berjalan ke luar rumah hanya untuk merasakan angin. Tidak ada yang istimewa, tapi justru di situlah letak keindahannya — sederhana, tapi jujur.

‎Ia tidak lagi sibuk mengejar penerimaan.

‎Ia hanya ingin hidup dengan cara yang membuatnya tenang.

‎Dan di titik itulah, Semar menemukan makna sebenarnya dari kata "cukup".

‎Kesepian tidak lagi menjadi beban, melainkan tempat beristirahat dari hiruk-pikuk dunia.

‎Ia sadar, hidup bukan tentang siapa yang paling ramai, tapi siapa yang paling damai.

‎Dan saat itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Semar benar-benar tersenyum — bukan karena semuanya baik-baik saja, tapi karena ia sudah tidak takut lagi menghadapi yang tidak baik.

‎"Aku tidak lagi ingin melarikan diri dari sepi," tulisnya pelan, "karena di situlah aku akhirnya bertemu dengan diriku yang sebenarnya."

More Chapters