Karya: Fajri Maulana Zibon
Penerbit: ZIBON UPDATE Production
Harga diri bagi sebagian orang hanyalah soal gengsi. Tapi bagi Semar, harga diri adalah sesuatu yang jauh lebih dalam — tentang bagaimana seseorang menjaga jati dirinya meski sering disalahpahami oleh orang-orang yang seharusnya paling mengenalnya.
Sejak kecil, Semar diajarkan untuk menjadi laki-laki yang kuat. "Laki-laki itu tidak boleh cengeng," kata ayahnya suatu kali, dengan nada yang tegas tapi tanpa penjelasan.
Namun seiring waktu, ia menyadari bahwa kekuatan bukan berarti tidak boleh merasa lemah, melainkan tahu kapan harus bertahan tanpa kehilangan arah.
Masalahnya, dunia jarang memberi ruang untuk laki-laki seperti Semar — yang memilih diam saat disakiti, yang menelan pahit tanpa membalas, yang bekerja keras tanpa bercerita.
Orang-orang lebih mudah menilai dari luarnya saja: yang diam dianggap malas, yang sabar dianggap tidak punya ambisi, dan yang tidak bicara dianggap tidak peduli.
Termasuk keluarganya sendiri.
Setiap kali Semar menolak bantuan yang datang terlambat, Kak Rani menganggapnya keras kepala.
Padahal, bukan keras kepala yang membuatnya menolak, tapi keinginan untuk menjaga sisa harga diri yang masih ia punya.
Ia ingin membuktikan bahwa ia mampu bangkit bukan karena dikasihani, tapi karena memang mau berjuang.
"Dari pada tiap ketemu ngasih uang jajan, mending bantu aku berdiri dulu, Kak," ucap Semar pelan suatu sore, saat mereka duduk berdua di teras rumah.
Namun kata-katanya hanya berakhir di udara, seperti daun kering yang tertiup angin.
Kak Rani tersenyum tipis, seolah tak mendengar makna sebenarnya.
Dan di situlah Semar sadar — kadang, bukan karena orang tak mau memahami kita, tapi karena mereka terlalu sibuk menjaga peran agar terlihat benar.
Hari demi hari, Semar belajar membangun hidupnya perlahan.
Ia mulai bekerja serabutan, belajar berdagang kecil-kecilan, mencoba menata kembali sisa semangat yang dulu hampir padam.
Bukan karena ingin kaya, tapi karena ia ingin punya sesuatu yang bisa membuatnya berkata, "Aku bisa, tanpa harus meminjam tangan orang lain."
Harga diri, baginya, bukan tentang menolak bantuan, tapi tentang tahu kapan harus berdiri sendiri.
Ia percaya, setiap laki-laki punya kewajiban untuk memberi, bukan sekadar menerima.
Memberi rasa aman bagi keluarga, memberi keyakinan bagi orang tua, dan memberi ketenangan bagi calon pendamping hidup yang kelak datang di waktu tepat.
Namun di balik keteguhannya itu, kadang muncul juga rasa rindu — rindu ingin dipahami tanpa harus menjelaskan segalanya.
Tapi hidup mengajarkan Semar bahwa tidak semua orang akan mengerti perjuanganmu, dan itu tidak apa-apa.
Yang penting, kamu tetap tahu siapa dirimu di tengah suara-suara yang mencoba mendikte jalan hidupmu.
Kini, Semar tidak lagi sibuk mencari pengakuan.
Ia hanya ingin hidup dengan tenang, membuktikan pada dirinya sendiri bahwa diam bukan tanda kalah, dan sabar bukan tanda lemah.
Sebab, harga diri yang sejati tidak lahir dari gengsi — melainkan dari kejujuran hati yang tetap memilih berjuang tanpa perlu berteriak.
Dan malam itu, sebelum tidur, Semar menulis satu kalimat di bukunya:
"Aku tidak ingin terlihat hebat di mata orang, aku hanya ingin terlihat cukup di mataku sendiri."