Ficool

Chapter 2 - 2

Otak Oji terus berputar, tak bisa diam meski langkahnya sudah sampai di halaman rumah Abi. Kata-kata Abi tadi terus terngiang. "Nadia buru-buru mau ambil laundry kebaya."

Tiba-tiba, potongan adegan di pemakaman muncul lagi di kepalanya, Sarah, duduk di antara pelayat, memeluk tas plastik bening seperti kantong laundry, tak pernah dilepas sedetik pun.

"Jangan-jangan… tas laundry yang tadi dipeluk Sarah itu isinya kebaya?"

Oji melirik ke arah Sarah yang berjalan beberapa langkah di depannya. Bahunya turun naik menahan tangis, langkahnya gontai, wajahnya pucat. "Anehnya, justru Umi, ibu yang baru kehilangan putrinya, tampak lebih tegar, meski matanya masih sembab. Kenapa malah Sarah yang tampak seolah dunia runtuh di pundaknya?" pikir Oji dalam diam.

---

Begitu tiba di rumah, suasana makin berat. Para pelayat laki-laki berkumpul di serambi depan, mempersiapkan tempat untuk tahlilan malam ini. Di ruang tamu, Sarah masih duduk di kursi rotan dekat jendela, memeluk tas laundry itu seperti boneka kesayangan. Plastik beningnya sudah kusut, dan dari dalam samar-samar terlihat lipatan kain berwarna krem keemasan, warna kebaya yang dulu pernah Oji lihat Nadia kenakan saat fitting.

"Sarah," kata Oji pelan sambil mendekat. "Kamu istirahat aja di kamar, ya. Biar aku dan bapak-bapak yang siapin buat tahlilan."

Sarah tak menjawab. Tatapannya kosong. Hanya tangannya yang makin erat menggenggam tas itu, seolah kalau dilepaskan, seluruh kekuatan di tubuhnya ikut hilang.

Umi datang menghampiri, lalu dengan sabar memapah Sarah berdiri.

"Sudah, Nak… istirahat dulu. Mungkin memang begini jalannya," katanya lembut. "Kita harus ikhlas, ya…"

Sarah menunduk. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Ia hanya membiarkan Umi membimbingnya masuk ke kamar tamu.

Oji memperhatikan punggung mereka menghilang di balik pintu, lalu pandangannya tertuju sebentar ke tas laundry yang kini diletakkan di kursi.

---

Beberapa menit kemudian, Umi keluar dari kamar, menutup pintu perlahan. Wajahnya terlihat letih, tapi tetap berusaha tersenyum.

"Umi," panggil Oji dengan hati-hati. "Tadi Abi bilang, Nadia buru-buru ke luar rumah mau ambil laundry kebaya. Emangnya... kebayanya kenapa, Mi?"

Umi menatap kosong sejenak, lalu menjawab pelan, "Katanya kotor, ketumpahan eyeshadow."

Oji terpaku. Ada sesuatu yang janggal.

"Eyeshadow?" pikirnya. "Nadia?"

Ingatannya langsung berkelebat ke berbagai momen bersama Nadia, di proyek, di acara keluarga, bahkan saat lamaran. Wajahnya selalu natural, polos tanpa riasan mencolok. Pernah suatu kali Oji menggoda, "Kamu gak pernah pakai eyeliner, Nad?" dan gadis itu tertawa, "Ribet. Lagipula panas, nanti malah luntur semua."

"Nadia hampir tak pernah memakai makeup mata. Tapi… yang selalu merias matanya, bahkan di rumah sekalipun, adalah Sarah. Sarah yang tiap kali keluar selalu bercadar, menonjolkan matanya dengan eyeliner tebal dan eyeshadow berkilau." Oji menelan ludah, tubuhnya mendadak dingin. "Tunggu… tadi Sarah gak pakai cadar ya?"

Ia menatap ke arah kamar tempat Sarah beristirahat, pintunya tertutup rapat. Jantung Oji berdegup tak karuan. Potongan demi potongan mulai bersatu di kepalanya, tas laundry, kebaya pengantin, eyeshadow, cadar yang hilang, dan ekspresi Sarah yang hancur seakan bukan sekadar kehilangan sahabat.

Menjelang tahlilan dimulai, rumah Abi mulai ramai oleh suara salam, sandal berserakan di teras, dan aroma kopi hitam dari dapur. Saat itu, Oji baru saja membantu menata kursi di ruang depan ketika suara mobil berhenti di depan rumah.

Bapak dan Ibu Oji baru datang. Wajah Bapak kelihatan letih, sementara Ibu tampak rapi dengan kebaya pastel dan bros perak di dadanya, terlalu rapi untuk suasana duka.

Begitu masuk, Ibu langsung memeluk Oji. Tapi bukan pelukan hangat seorang ibu yang menenangkan. Suaranya bergetar, tapi bukan karena sedih.

"Ibu kan sudah bilang dari dulu, Ji…" katanya lirih tapi tajam. "Ibu gak setuju kamu sama Nadia. Perempuan kok kerja di proyek, nggak bisa masak pula! Sekarang… sepertinya Tuhan sependapat dengan Ibu."

Oji menegang. Ia tak langsung menatap ibunya.

"Bu…" suaranya serak menahan amarah.

"Bu!" tegur Bapak cepat, langkahnya mendekat. "Kita lagi berduka, jangan ngomong begitu."

Ibu hanya menghela napas panjang, lalu beralih memasang wajah basa-basi. Ia menghampiri Umi yang duduk di ruang tamu, menyalami dengan lembut, suaranya berubah manis.

"Turut berduka cita ya, Bu. Semoga almarhumah husnul khatimah," katanya lembut, menggenggam tangan Umi erat.

Umi tersenyum lemah, matanya sembab. "Terima kasih, Bu… mohon doanya."

Di mata Umi, Ibu Oji tampak seperti calon besan yang sopan dan penuh empati, tak tahu bahwa di balik senyumannya, ada kelegaan yang nyaris tak terselubung.

---

Tahlilan berjalan khidmat. Doa-doa mengalun, berganti dengan suara isak tertahan. Setelah semua selesai dan para tetangga mulai pamit, suasana rumah pelan-pelan kembali tenang.

Bapak dan Ibu juga bersiap pulang. Ibu sudah memegang tas tangannya, sementara Bapak sedang bicara singkat dengan Abi di teras.

"Bu," kata Oji pelan, "aku nginep di sini aja malam ini, ya."

Ibu langsung menoleh, alisnya terangkat. Tapi sebelum sempat membuka mulut, Bapak lebih dulu menimpali,

"Iya, Ji. Kamu nginep aja. Bantu keluarga di sini. Biar besok pagi pulang."

Ibu mendelik ke arah suaminya, wajahnya tak puas. "Terus rencana pernikahanmu gimana?" suaranya meninggi sedikit. "Seserahan sudah siap, semua orang udah tahu tanggalnya… mau diapain sekarang?"

Oji menatap ibunya, tak percaya. "Bu… aku baru kehilangan orang yang aku cintai, dan Ibu masih sempat mikirin seserahan?"

Suasana mendadak sunyi. Ibu mendecak pelan, memalingkan wajahnya ke arah lain.

"Sudah, Bu, kita pulang saja dulu," ujar Bapak menengahi dengan nada lembut tapi tegas. "Besok kita bicarakan lagi."

Namun sebelum mereka sempat keluar, pintu kamar tamu terbuka. Sarah muncul dengan gamis panjang dan jilbab lebar berwarna abu lembut. Wajahnya masih pucat, tapi ekspresinya tenang, seolah berusaha kuat meski matanya sembab.

Ibu menatap heran. "Itu siapa, Umi?" tanyanya dengan nada ingin tahu.

Umi mendekat sedikit. "Sarah, adik Nadia."

Ibu mengernyit. "Yang biasanya bercadar itu?"

"Iya," jawab Umi sambil tersenyum tipis. "Hari ini dia syok sekali sampai lupa pakai cadarnya."

Mata Ibu menyipit. Pikiran di kepalanya bergerak cepat, seperti menemukan peluang baru di tengah kabut duka.

"Oh begitu…" gumamnya. Lalu dengan suara yang dibuat seramah mungkin, ia bertanya, "Sarah sudah punya calon?"

Umi menggeleng. "Belum, Bu. Dia masih kuliah. Katanya nggak mau pacaran, mau langsung nikah aja. Lagipula, kalau pakai cadar begitu, ya… biasanya yang mau juga dari kelompok yang sama."

Ibu tersenyum samar, tapi di matanya ada kilat perhitungan.

"Hmm… gimana kalau dijodohkan saja dengan Oji?" katanya setengah bercanda, setengah serius. "Mereka sudah saling kenal, kan? Kalau saya perhatikan, mereka tuh mirip, ya. Cuma bedanya, Sarah lebih tertutup. Eh, maksud saya, sama-sama tertutup tapi Sarah jilbabnya lebih lebar. Cantik juga kalau diperhatikan."

Umi terdiam, sedikit kaget tapi tak langsung menolak. Tatapannya refleks mencari Abi di teras.

Abi yang baru kembali dari luar mendengar potongan percakapan terakhir, dan tanpa kata, hanya menatap istrinya. Pandangannya berat, antara bingung, tidak setuju, tapi juga tak ingin mempermalukan tamu.

Dalam diam itu, Oji menunduk. Ia mendengar semuanya.

Dan untuk pertama kalinya hari itu, rasa kehilangan berubah jadi sesuatu yang lebih aneh, campuran getir, muak, dan ngeri, seolah duka belum selesai tapi sudah ada tangan-tangan lain yang mulai merangkai pengganti.

More Chapters