Ficool

Chapter 3 - 3

Oji duduk sendirian di ruang tamu setelah semua orang bubar. Lampu gantung remang, bayang-bayang bunga papan di luar memantul lewat kaca jendela. Suara serangga dari kebun belakang terdengar samar, sementara jam dinding berdetak pelan, tik... tak... tik... tak...

Ia menunduk, menggenggam ponsel yang sejak tadi belum sempat disentuh sejak kabar duka datang. Layar menyala. Puluhan pesan belum terbaca, tapi satu nama langsung menarik perhatiannya, Nadia.

Tangan Oji gemetar ketika menyentuh notifikasi itu. Pesannya terkirim sekitar satu jam sebelum kecelakaan.

Nadia:

- Aku kesal banget sama Sarah! Dua hari yang lalu eyeshadow-nya hilang entah ke mana, aku yang dituduh! Mentang-mentang aku gak punya stok eyeshadow, dia pikir aku yang ambil! Padahal aku bahkan gak suka pakai eyeshadow

- Eh, hari ini malah kebayaku hilang! Kebaya pengantinku, Ji! HILANG! Aku panik banget. Ternyata Sarah yang kirim ke laundry, katanya ketumpahan eyeshadow-nya sendiri

- Dia lupa naruh eyeshadow di atas lemari, jatuh, terus pas diangkat bubuknya tumpah kena kebayaku. Dia panik, coba cuci sendiri tapi malah makin kotor. Makanya dikirim ke laundry

- Sekarang aku lagi di laundry, belum kelar. Aku minta yang cepat, satu jam. Semoga gak parah

Oji terpaku. Nafasnya tersengal. Suara jangkrik dan kipas angin seolah mendadak menghilang.

Kalimat terakhir itu terasa seperti hantaman keras di dadanya. Satu jam... Itu berarti Nadia kecelakaan tak lama setelah mengirim pesan ini.

Ia menggulir lagi pesan itu, membaca berulang-ulang.

Eyeshadow. Kebaya. Laundry. Sarah.

Potongan-potongan kejadian sore tadi tiba-tiba menari di kepalanya, Sarah memeluk tas laundry erat-erat, wajahnya kalut, matanya bengkak, dan... tas itu, di dalamnya ada kebaya pengantin.

Oji merasakan tengkuknya dingin. Suaranya keluar nyaris seperti bisikan,

"Jadi... Sarah yang bikin semua ini?"

Ia menelan ludah, jantung berdegup kencang.

"Sarah yang menumpahkan eyeshadow-nya, Sarah yang cuci kebaya sampai rusak, Sarah yang ngirim kebaya itu ke laundry... dan Nadia, " ia berhenti sejenak, suara bergetar. "Nadia kecelakaan saat pulang dari ambil kebaya itu!"

Ia menatap lantai kosong, lalu menoleh perlahan ke arah kamar tamu, tempat Sarah beristirahat. Dari celah pintu, samar terlihat bayangan gerak.

"Pantas aja," gumamnya lirih, "dari tadi dia peluk tas laundry itu kayak takut dilepasin…"

Sebuah kesadaran dingin menyusup dalam kepalanya. Semua kepingan yang tadi terpisah kini menyatu, dan membentuk bayangan mengerikan yang sulit diterima:

"Mungkin yang dibawa Sarah bukan sekadar tas laundry. Mungkin di dalamnya bukan hanya kebaya yang bernoda eyeshadow…

melainkan rasa bersalah yang tak bisa ia cuci bersih selamanya."

Umi duduk di ruang tamu, tangannya pikirannya melayang jauh. Suara jam dinding terdengar pelan, berganti dengan isak tangis Sarah yang tertahan di kamar.

"Dulu, kak Najwa, mama Nadia, meninggal saat Nadia masih kecil," pikir Umi, matanya menatap kosong ke arah jendela. "Lalu aku, adiknya yang baru lulus SMA, menikahi kakak iparku, mengasuh Nadia kecil, mengubur cita-citaku untuk kuliah sampai akhirnya Sarah lahir. Alhamdulillah, Abi mencintaiku, bahkan lebih dari mencintai kakakku. Bagaimana dengan Sarah? Kalau dia menikahi lelaki sempurna seperti Oji, bukankah dia juga pasti bahagia?"

Matanya perlahan bergeser menatap Abi. Ada harap di dalam tatapan itu, seolah ingin Abi memihaknya, merestui Sarah-Oji seperti ia dulu merestui Nadia-Oji. Hati Umi berdebar, berharap Abi memahami maksudnya tanpa harus diucapkan.

Bapak, yang duduk di sampingnya, bersuara dengan tenang, "Menurutku, tidak ada salahnya. Tentu kalau Abi mengizinkan. Toh, hari H sudah siap."

Abi, yang dari tadi diam, akhirnya mendekat, wajahnya datar tapi matanya menandakan penasaran. "Ada apa?"

Umi menoleh, napasnya sedikit tersendat. "Ini... Ibu dan Bapak Oji punya usul. Bagaimana kalau Sarah yang menggantikan Nadia di pelaminan?"

Abi terkejut, tapi buru-buru menutup ekspresinya dengan wajah datar. "Menggantikan Nadia? Sarahnya mau tidak?"

"Ya, belum ditanya."

Ibu Oji buru-buru meralat, senyum manis tapi cepat, seolah ingin meyakinkan semua orang. "Maaf, Bi. Maksud saya, Sarah bukan menggantikan Nadia. Tapi, jadi penyambung silaturahmi dua keluarga. Saya yakin Sarah juga anak baik seperti Nadia."

Di pojok ruang tamu, Oji duduk tenang, diam mendengarkan percakapan itu. Dalam hatinya, bara amarah dan dendam perlahan mengalir. "Aku masih berduka, mereka ngomongin pengganti?" batinnya. "Sarah? Dia yang menyebabkan Nadia meninggal. Mestinya aku melenggang ke pelaminan dengan Nadia, bukan Sarah! Mestinya dia yang masuk neraka!"

Ia menelan ludah, napasnya berat. "Tunggu, Sarah harus masuk neraka. Dan aku akan menciptakan NERAKA itu!"

Meski begitu, Oji tetap menahan ekspresi. Ia berdiri, melangkah mendekat dengan akting tenang, pura-pura bijak. "Pak, Bu. Kita semua masih berduka. Aku yakin, Sarah juga. Jangan ditanya buru-buru, kasihan."

Hati Umi langsung tergetar mendengar nada lembut Oji. Pikirannya bergolak antara kagum dan lega. "Ya Tuhan, calon mantuku ini luar biasa! Aku tidak rela melepas calon mantu sebaik dia!"

Abi menghela napas panjang, menatap Oji dan Umi. "Baiklah. Nanti saya bicara dengan Sarah, soalnya waktu juga berjalan terus. Besok sudah H-2."

Oji menepuk bahu Abi pelan, pura-pura menampilkan wajah bijak yang membuat semua orang merasa tenang. "Bi, jangan mikirin hari H. Kasih waktu untuk Sarah, jangan sampai dia merasa membuat keputusan karena terdesak waktu."

Abi menatap Oji singkat, lalu bertanya dengan nada setengah tersenyum, "Jadi, kamu sendiri setuju menikahi Sarah?"

Oji mengangguk perlahan, suara tenangnya menyelimuti ruang tamu. "Seperti yang Ibu bilang tadi, Sarah bukan pengganti Nadia, tapi penyambung silaturahmi dengan keluarga. Aku sudah anggap Umi dan Abi seperti orangtuaku sendiri, dan Ibu-Bapak juga pasti akan dengan mudah menerima Sarah."

Hening sesaat mengisi ruangan. Lampu remang menyinari wajah-wajah penuh rasa lelah dan cemas, tapi di tengah semua itu, Oji tetap tenang, memegang kendali akal dan emosinya. Umi menatapnya, hatinya campur aduk, legawa, harap, dan rasa kagum yang tidak bisa ia sembunyikan.

Di luar kamar, Sarah masih diam, tas kebaya di sampingnya. Ia tidak tahu percakapan di ruang tamu telah berubah arah, tapi suara Oji yang lembut membawa ketenangan, meski hati Oji sendiri sedang menyimpan gelombang dendam yang membara.

Umi duduk di ruang tamu, tangannya menggenggam kain yang menempel di pangkuan, pandangannya kosong, tapi pikirannya melayang jauh. Suara jam dinding terdengar pelan, berganti dengan isak tangis Sarah yang tertahan di kamar. "Dulu, kak Najwa (mama Nadia) meninggal saat Nadia masih kecil," pikir Umi, matanya menatap kosong ke arah jendela. "Lalu aku, adiknya yang baru lulus SMA, menikahi kakak iparku, mengasuh Nadia kecil, mengubur cita-citaku untuk kuliah sampai akhirnya Sarah lahir. Alhamdulillah, Abi mencintaiku, bahkan lebih dari mencintai kakakku. Bagaimana dengan Sarah? Kalau dia menikahi lelaki sempurna seperti Oji, bukankah dia juga pasti bahagia?"

Matanya perlahan bergeser menatap Abi. Ada harap di dalam tatapan itu, seolah ingin Abi memihaknya, merestui Sarah-Oji seperti ia dulu merestui Nadia-Oji. Hati Umi berdebar, berharap Abi memahami maksudnya tanpa harus diucapkan.

More Chapters