Ficool

Chapter 1 - 1

Oji datang hampir pukul empat sore. Udara masih lembab sisa hujan siang tadi. Di ruang tamu yang sudah disulap jadi tempat persemayaman, aroma kapur barus bercampur wangi bunga sedap malam menusuk hidung. Suasana hening. Hanya suara isak dan bacaan tahlil pelan dari beberapa orang tua yang duduk bersila di pojok ruangan.

Jasad Nadia sudah terbaring rapi di atas dipan kayu, terbungkus kain kafan putih bersih. Sebuah sajadah menutupi sebagian tubuhnya. Di dekat kepala jenazah, Umi duduk bersimpuh sambil menggenggam ujung kain, air matanya terus mengalir.

"Jangan dibuka lagi, Nak," ucapnya parau ketika melihat Oji mendekat. "Tidak ada luka terbuka, bahkan tidak berdarah-darah. Cuma... lebam di belakang telinga dan tengkuk. Kata dokter, lehernya patah. Helmnya terlepas saat jatuh..."

Oji berhenti di tepi dipan. Tangannya sempat terulur, tapi segera mengurung niat itu. Napasnya berat.

Padahal aku cuma ingin melihat wajahnya... sekali lagi. Untuk terakhir kalinya.

Ia menelan ludah, matanya panas. Dalam diam, ia menunduk dalam-dalam.

Di samping Umi, Sarah duduk bersandar di dinding, bahunya naik turun menahan tangis. Di pangkuannya ada tas plastik bening seperti kantong laundry, berisi pakaian terakhir yang dikenakan Nadia. Ada jaket jeans, celana hitam, dan kerudung warna biru muda yang sudah disetrika rapi oleh pihak rumah sakit.

Oji menatap sebentar kantong itu. Rasanya aneh melihat kehidupan seseorang disusutkan jadi sekantong plastik kecil.

Pelan-pelan ia beringsut ke arah Abi yang sedang berbicara dengan ustaz kampung. "Bi," katanya dengan suara serak. "Ijinkan aku yang pimpin sholat jenazahnya..."

Abi menoleh. Matanya sembab tapi tetap tegas. Ia menatap Oji lama sebelum akhirnya mengangguk pelan.

"Silakan, Ji. Kau yang paling dekat dengannya."

Oji menunduk lagi. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Di luar, azan asar berkumandang, sayup dari surau di ujung gang. Langit mulai memerah, dan di bawah cahaya sore yang muram itu, Oji sadar, semua benar-benar telah berakhir.

Oji datang hampir pukul empat sore. Langit di atas rumah keluarga Nadia masih kelabu, seperti menahan sisa hujan yang belum sempat turun. Udara lembap, campuran aroma tanah basah dan kapur barus memenuhi teras. Dari luar sudah terdengar lantunan tahlil lirih, dibacakan oleh para tetangga yang duduk melingkar di ruang tamu.

Begitu melangkah masuk, Oji tertegun. Di tengah ruangan, jasad Nadia sudah dikemas rapi dalam balutan kain kafan putih. Tubuhnya terbujur di atas dipan kayu rendah, kepala sedikit ditinggikan dengan lipatan sarung, di sekelilingnya bunga melati dan sedap malam berserakan.

Umi duduk di sisi jenazah, air matanya tak berhenti menetes, sebagian jatuh di kain kafan.

"Jangan dibuka lagi, Nak," katanya lirih, nyaris bergetar. "Tidak ada luka terbuka, bahkan tidak berdarah-darah. Cuma lebam di belakang telinga dan tengkuk. Kata dokter, lehernya patah... Helmnya terlepas saat jatuh."

Oji berdiri mematung. Tangan kanannya sempat bergerak, ingin menyentuh, ingin membuka sedikit ujung kain itu, sekadar memastikan wajah itu masih sama seperti terakhir kali ia lihat, penuh tawa. Tapi ia mengurungkan niatnya. Tangannya gemetar.

Padahal aku cuma ingin melihat wajahnya... untuk terakhir kali, batinnya, pahit.

Di sisi lain, Sarah duduk bersandar di dinding, wajahnya sembab, hidungnya merah. Sesekali ia menyeka air mata dengan ujung jilbab. Di tangannya tergenggam sebuah tas plastik bening seperti kantong laundry, berisi pakaian terakhir Nadia: jaket jeans, celana hitam, dan kerudung biru muda yang kini sudah terlipat rapi. Ia memeluk tas itu erat-erat, seolah di dalamnya masih tersisa sebagian dari sosok sahabat yang baru saja pergi.

Oji melangkah perlahan ke arah Abi, yang berdiri di dekat pintu, berbicara pelan dengan ustaz kampung. Suaranya nyaris tak keluar ketika ia berkata,

"Bi... izinkan aku yang pimpin sholat jenazahnya."

Abi menatapnya lama. Di matanya tampak kesedihan dan rasa hormat bercampur jadi satu. Setelah beberapa detik yang sunyi, ia mengangguk pelan.

"Silakan, Ji. Kau yang paling pantas."

Oji menunduk dalam. Dadanya sesak. Ia menatap jenazah yang kini benar-benar diam, tak lagi bisa disapa, tak lagi bisa diajak bercanda seperti dulu. Dari luar, azan asar terdengar sayup, merambat masuk lewat jendela yang terbuka.

Dalam hati, Oji berbisik, Nad, izinkan aku kali ini memimpinmu pulang.

Di pemakaman sore itu, langit mendung seolah ikut berduka. Angin berembus pelan membawa aroma tanah basah dan bunga kamboja yang berguguran di antara Sarahn-Sarahn tua.

Oji turun ke dalam liang lahat, kaki dan celananya berlumur tanah merah. Di tangannya, selembar kain putih tergenggam erat, ujung kafan yang tadi dipegangnya sepanjang prosesi. Abi dan Om Hadi membantu menurunkan tubuh Nadia perlahan-lahan, disertai doa lirih dari ustaz yang berdiri di tepi kubur.

Saat tubuh itu dibaringkan di atas tanah, Oji menahan napas. Sekali lagi ia menatap wajah yang sudah diselubungi kain putih itu, lalu dengan hati-hati merapikan posisi tubuh sebelum tanda terakhir diberikan untuk menutup liang.

Di sela kesibukan itu, matanya sempat menatap ke arah atas, ke antara kerumunan pelayat. Di sana, Sarah berdiri memeluk tas plastik bening berisi pakaian terakhir Nadia. Dari tadi gadis itu tak melepaskannya, bahkan memeluknya erat ke dada, seolah di dalamnya tersisa kehangatan sahabat yang baru saja dikubur.

"Kenapa anak itu dari tadi meluk tas laundry terus…" batin Oji lirih, tanpa sempat menemukan jawabnya.

Setelah jenazah Nadia diletakkan dengan posisi miring menghadap kiblat, Oji, Abi, dan Om Hadi naik ke permukaan. Para penggali menurunkan papan kayu, menimbun tanah perlahan, disertai suara takbir dan doa yang bergema pelan. Tak ada yang bicara, hanya suara sekop yang beradu dengan tanah.

Beberapa ibu menaburkan bunga tujuh rupa. Umi duduk lemas di tikar, dipapah dua kerabat perempuan. Sarah masih di tempat yang sama, mata sembab, pelukan di tas plastik itu belum terlepas.

---

Sore menjelang malam ketika rombongan kecil mulai meninggalkan pemakaman. Jalanan kampung becek, suara sandal dan langkah kaki terdengar bersahutan. Oji berjalan di samping Abi, diam cukup lama sebelum akhirnya bersuara pelan.

"Bi," katanya, suaranya parau, "bukannya Nadia hari ini mulai cuti? Kenapa dia keluar rumah naik motor?"

Abi menatap lurus ke depan, wajahnya sayu. "Abi juga gak tahu pasti. Kata Umi, Nadia terburu-buru mau ambil laundry."

Oji mengerutkan kening. "Laundry apa?"

"Kebaya pengantin," jawab Abi pelan.

Oji berhenti sejenak, menatap jalan berlumpur di depannya. "Tapi... itu kan baru diambil beberapa hari lalu. Kata penjahitnya juga gak usah di-laundry lagi."

Abi menarik napas panjang, seperti mencoba menahan sesuatu di dadanya. "Iya… Abi juga bingung." Suaranya pecah di ujung kalimat. "Entah kenapa dia bisa keluar rumah sendiri. Biasanya dia pamit, atau minimal kasih kabar."

Oji terdiam. Pikiran berkecamuk.

Nadia bukan orang ceroboh. Dia selalu hati-hati, apalagi soal keselamatan. Di proyek aja dia sering ingetin pekerja buat pakai helm. Mana mungkin dia naik motor tanpa helm cuma buat ambil laundry.

Ia menatap kosong ke depan, langkahnya makin pelan. Apa kebayanya kotor? Atau... ada sesuatu di dalam laundry itu yang belum sempat dia ceritakan?

Angin sore berembus lembut membawa aroma bunga tabur dari pemakaman yang mulai jauh di belakang mereka. Tapi bagi Oji, hawa duka itu masih menempel di kulit, dan di pikirannya, pertanyaan tentang "laundry" itu justru semakin menyesakkan dada.

More Chapters