Malam itu, langit tertutup mendung pekat. Bulan bersembunyi di balik awan, hanya menyisakan cahaya samar yang membuat jalanan desa tampak semakin sunyi. Awan hitam bergerak cepat, seakan membawa pertanda buruk.
Arka tak bisa tidur. Sejak sore tadi, hatinya gelisah. Ia merasa seolah ada sesuatu yang mengintainya dari kejauhan. Setiap kali menutup mata, ia mendengar bisikan samar—seperti suara perempuan menangis, namun entah dari mana asalnya.
Ia keluar rumah, menyalakan lampu minyak di beranda. Angin malam menerpa wajahnya, dingin menusuk tulang. Dari kejauhan, ia melihat bayangan bergerak di tepi hutan.
"Siapa itu?" teriaknya, mencoba berani.
Tak ada jawaban. Hanya suara dedaunan bergesekan.
Tiba-tiba, bayangan itu melintas cepat, mendekat lalu menghilang di balik pepohonan. Arka buru-buru masuk kembali, menutup pintu rapat-rapat. Namun jantungnya berdetak makin kencang. Ia tahu, ada sesuatu yang sedang memperhatikannya.
Di dalam kamar, ia menyalakan lilin. Api kecil bergetar seolah diterpa angin meski semua jendela tertutup. Saat ia menoleh ke cermin tua di sudut ruangan, ia hampir terjatuh.
Di sana—dalam pantulan—terlihat sosok perempuan berambut panjang, berdiri tepat di belakangnya, dengan wajah pucat dan mata merah menyala.
"Arka…" bisiknya lirih, namun membuat bulu kuduknya berdiri.
Arka menoleh spontan. Tak ada siapa pun di belakangnya. Tapi ketika ia kembali menatap cermin, sosok itu masih ada… semakin dekat.