Bab 1: Meja Baru, Atasan Baru
Gedung Duniabet Tower menjulang tinggi di pusat kota, simbol kesuksesan perusahaan teknologi finansial terbesar di Jakarta. Di dalamnya, ratusan karyawan sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Hari itu, Alya resmi bergabung sebagai staf baru di divisi pemasaran. Dengan jas krem dan senyum gugup, ia melangkah ke lantai 18, lantai yang terkenal ketat dalam kedisiplinan.
"Selamat datang, Alya," sapa Mbak Rani, senior di timnya. "Mulai hari ini kamu akan banyak berurusan dengan direktur muda kita, Pak Adrian."
Alya mengangguk sopan, meski jantungnya berdegup cepat. Nama itu tidak asing. Adrian, direktur muda yang dikenal perfeksionis, dingin, tapi jenius. Banyak cerita beredar tentang bagaimana sulitnya bekerja di bawah pengawasannya.
Tak lama kemudian, pintu kaca ruang meeting terbuka. Seorang pria tinggi dengan jas navy masuk, aura wibawa langsung terasa. Tatapannya tajam, suaranya tegas.
"Semua laporan kuartal harus selesai sore ini. Tidak ada alasan," ucapnya singkat.
Mata Adrian berhenti pada Alya. Ia menatap sejenak, lalu berkata datar, "Kamu staf baru?"
Alya buru-buru berdiri. "I-iya, Pak. Alya."
Adrian mengangguk singkat. "Mulai sekarang, meja kerja kamu tepat di depan ruanganku. Aku ingin semua yang kuperintahkan bisa langsung kamu tindaklanjuti."
Ruangan mendadak terasa sunyi. Alya menelan ludah, menyadari satu hal: hari pertamanya sudah membuatnya berada terlalu dekat dengan pria yang seharusnya hanya ia kagumi dari jauh.
Dan ia belum tahu, meja kerja itu kelak akan menyimpan sebuah rahasia—rahasia cinta yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Bab 2: Tegas yang Menyebalkan
Hari pertama Alya di divisi pemasaran berjalan lebih berat dari yang ia bayangkan. Sejak pagi, email dari Adrian masuk tanpa henti. Instruksi, koreksi, hingga catatan detail yang membuatnya hampir kewalahan.
"Ini belum sesuai standar," tulis Adrian di salah satu emailnya, hanya karena ada koma yang salah tempat.
Alya menghela napas panjang. Perfeksionis sekali… pikirnya sambil merapikan dokumen.
Siang itu, Adrian memanggilnya ke ruang meeting kecil. Alya membawa berkas yang sudah ia revisi semalaman.
"Silakan duduk," ucap Adrian dingin tanpa menoleh, matanya masih fokus pada layar laptop.
Alya duduk hati-hati, lalu menyerahkan dokumen. "Ini revisi yang Bapak minta."
Adrian mengambilnya, membaca cepat, lalu menaikkan alis. "Masih ada yang kurang. Angka di halaman tiga tidak sinkron dengan data grafik."
Alya membeku. Ia yakin sudah memeriksanya. "Tapi, Pak… saya sudah cek—"
Adrian menatapnya, tajam tapi tenang. "Jangan beralasan. Cek sekali lagi."
Hati Alya panas. Bagaimana mungkin semua pekerjaannya dianggap salah terus? Namun ia menahan diri, lalu mengangguk pelan. "Baik, Pak."
Beberapa jam kemudian, saat semua orang sudah pulang, Alya masih duduk di mejanya. Matanya letih, tapi tangannya tetap mengetik untuk memperbaiki laporan.
Tiba-tiba suara langkah sepatu terdengar. Adrian muncul, membawa cangkir kopi.
"Kamu masih di sini?" tanyanya.
Alya menoleh cepat. "Ya… saya ingin pastikan datanya benar."
Adrian terdiam sejenak, lalu mendekat. Ia menaruh cangkir kopi di mejanya. "Untukmu. Jangan terlalu keras pada diri sendiri. Aku memang tegas, tapi aku butuh orang yang bisa bertahan."
Alya menatapnya, terkejut. Dari nada dingin itu, ada sedikit kehangatan yang tak ia duga.
Untuk pertama kalinya, ia melihat sisi lain Adrian. Dan entah kenapa, justru sikap keras itu membuatnya semakin penasaran pada pria di balik meja kerja itu.
Bab 3: Ritme yang Perlahan Menyatu
Beberapa minggu berlalu sejak Alya resmi duduk di meja kerja depan ruang Adrian. Awalnya, setiap instruksi terasa seperti tekanan yang menyesakkan. Namun perlahan, ia mulai terbiasa dengan ritme cepat yang dituntut direktur muda itu.
Kini, ketika email masuk dengan subjek singkat "Revisi segera", Alya tidak lagi panik. Ia sudah tahu pola kerja Adrian, tahu bagaimana ia harus menyiapkan data, dan bahkan mulai bisa menebak komentar yang akan keluar.
"Bagus. Ini lebih rapi daripada kemarin," ucap Adrian suatu siang saat memeriksa laporan.
Alya hampir tidak percaya mendengar pujian itu. "T-terima kasih, Pak."
Adrian menoleh sekilas, alisnya terangkat. "Jangan terlalu kaget. Kalau kamu bagus, aku bilang bagus. Kalau salah, aku bilang salah. Sederhana."
Meskipun kalimatnya datar, Alya tidak bisa menahan senyum kecil.
Hari-hari panjang di kantor juga mulai berubah. Adrian yang dulu hanya dingin, terkadang menunjukkan sisi lain yang mengejutkan.
Seperti ketika printer di ruangannya macet."Pak, coba saya bantu," ucap Alya.
Adrian berdiri di sampingnya, keduanya membungkuk bersama di depan mesin. Ketika tangan mereka bersentuhan tanpa sengaja, Alya buru-buru menarik tangannya.
"Maaf!" katanya gugup.
Adrian hanya menatapnya sebentar, lalu tersenyum samar. "Santai saja. Kamu terlalu mudah panik."
Atau ketika mereka lembur malam hari, Adrian mendapati Alya terkantuk-kantuk menatap layar. Ia berjalan pelan, lalu meletakkan sebotol minuman dingin di mejanya.
"Minum. Jangan sampai tumbang duluan," katanya.
Alya menoleh, mata setengah terbuka, lalu tersenyum lelah. "Pak Adrian ternyata bisa juga perhatian, ya."
Adrian pura-pura tak mendengar, kembali ke ruangannya. Tapi Alya sempat melihat senyum tipis yang muncul di wajah pria itu.
Hari demi hari, meja kerja yang dulu terasa penuh tekanan kini menjadi tempat di mana Alya mulai menemukan sesuatu yang lain.Bukan hanya ritme kerja baru, tapi juga… denyut rasa yang perlahan tumbuh di balik semua ketegasan itu.
Bab 4: Bisik-Bisik di Koridor
Suasana kantor Duniabet Tower biasanya penuh dengan kesibukan, suara telepon, dan deru keyboard. Namun belakangan, Alya merasa ada hal lain yang ikut mengisi udara: bisik-bisik yang mengikuti setiap langkahnya.
"Alya kok sering banget dipanggil ke ruangan direktur, ya?""Kayaknya Pak Adrian lebih sabar kalau sama dia.""Eh, jangan-jangan…"
Alya pura-pura tidak mendengar, meski hatinya gelisah. Ia hanya ingin bekerja dengan baik, tapi rupanya perhatian kecil dari Adrian mulai mengundang gosip.
Suatu siang, ketika makan siang bersama tim, Mbak Rani menyenggolnya pelan."Kamu itu beruntung, Ly. Baru masuk, tapi udah dipercaya langsung sama Pak Adrian."
Alya tersenyum canggung. "Itu cuma karena meja kerjaku dekat ruangannya, Mbak. Jadi lebih gampang koordinasi."
Namun saat matanya tanpa sengaja menoleh ke arah Adrian yang sedang berbicara dengan direksi lain, Alya tahu ada alasan lain. Tatapan pria itu sesekali berhenti padanya, seakan ingin memastikan ia baik-baik saja.
Sore itu, saat semua orang bersiap pulang, printer kantor kembali bermasalah. Alya mencoba memperbaiki, tapi kertas macet tak kunjung terlepas.
Adrian muncul, mendekat tanpa pikir panjang. "Sini, biar aku bantu."
Beberapa staf lain yang masih ada di sekitar langsung saling melirik, senyum-senyum penuh arti.
"Waduh, Pak Adrian turun tangan langsung, nih," celetuk salah satu dengan nada menggoda.
Alya bisa merasakan wajahnya panas. Sementara Adrian hanya menoleh sebentar, tatapannya dingin, seolah menegaskan bahwa komentar itu tidak penting. Tapi setelah semua orang pergi, pria itu berkata pelan, hanya untuk Alya:
"Jangan pedulikan mereka. Fokus saja sama pekerjaanmu. Yang lain… biar aku tanggung."
Alya terdiam, hatinya berdebar kencang. Kata-kata itu seperti janji, meski tak pernah diucapkan dengan jelas.
Dan di balik meja kerja yang menjadi saksi awal pertemuan mereka, rahasia cinta itu mulai tumbuh semakin nyata—sekalipun dunia di sekitar mereka sudah mulai menebaknya.
Bab 5: Pulang Bersama
Hari itu hujan deras mengguyur kota. Sebagian besar karyawan memilih menunggu reda di lobby Duniabet Tower, termasuk Alya. Ia berdiri dengan payung kecil yang bocor di salah satu sisi, menatap jalan yang padat dan banjir.
Saat itu, suara berat menyapanya."Kamu pulang sendiri?"
Alya menoleh. Adrian berdiri dengan jas hitam rapi, payung besar di tangannya.
"Saya… iya, Pak. Tapi kayaknya hujannya nggak akan reda sebentar lagi."
Adrian menatapnya sejenak, lalu membuka payung. "Ayo. Aku antar."
Alya terbelalak. "T-tidak usah, Pak. Nanti orang-orang—"
"Biar saja," potong Adrian singkat. "Kamu nggak mungkin pulang dengan payung seperti itu."
Akhirnya, mereka berjalan berdampingan di bawah payung yang sama, melewati trotoar basah menuju parkiran. Beberapa staf yang masih di lobby memperhatikan, sebagian bahkan langsung saling bisik.
"Kamu lihat? Pak Adrian bareng Alya…""Wah, fix ada apa-apanya itu."
Alya bisa merasakan telinganya panas. Ia ingin menjauh, tapi langkah Adrian begitu mantap, seakan tak peduli pada tatapan siapa pun.
Di dalam mobil, keheningan sempat menguasai. Hanya suara wiper yang menghapus sisa hujan di kaca depan.
Alya akhirnya membuka suara, gugup. "Pak… gosip di kantor sudah terlalu banyak. Kalau kita pulang bareng begini, mereka pasti—"
Adrian menoleh sekilas, tatapannya lembut untuk pertama kalinya."Alya, aku sudah terbiasa dengan gosip. Yang penting, aku tahu apa yang aku rasakan. Dan aku tidak akan biarkan orang lain membuatmu tidak nyaman."
Alya tercekat. Kata-kata itu terlalu jujur, terlalu hangat untuk diabaikan.
Keesokan harinya, benar saja. Gosip kantor semakin ramai. Dari bisikan di pantry, obrolan di meja kerja, hingga chat grup yang tak pernah sepi.
Namun berbeda dari Alya yang cemas, Adrian tetap tenang. Ia bahkan berjalan ke meja Alya saat jam istirahat, menyerahkan dokumen sambil berkata dengan suara cukup keras untuk didengar orang sekitar:
"Terima kasih untuk kerja kerasmu kemarin. Kamu sangat membantu."
Seolah sengaja, ia membuat semua orang tahu bahwa Alya bukan sekadar staf biasa di matanya.
Alya menunduk, jantungnya berdetak kencang. Ia tidak tahu apa arti semua ini bagi Adrian. Tapi yang jelas, rahasia cinta di balik meja kerja itu kini semakin sulit disembunyikan.
Bab 6: Antara Karier dan Hati
Suasana kantor Duniabet Tower semakin terasa aneh bagi Alya. Bisikan-bisikan yang dulu hanya beredar di pantry kini terdengar hingga ke ruang rapat. Bahkan beberapa senior mulai menatapnya dengan cara berbeda—seolah ia naik jabatan bukan karena kemampuan, melainkan karena "kedekatan" dengan Adrian.
Suatu pagi, Alya dipanggil oleh HRD. Kepala HRD menatapnya dengan nada hati-hati."Alya, aku nggak mau dengar gosip berlebihan. Tapi kamu harus tahu, beberapa manajer sudah mempertanyakan profesionalitasmu. Hati-hati menjaga jarak dengan atasan, ya."
Kata-kata itu menghantam Alya seperti petir. Ia keluar dari ruangan dengan langkah gemetar, merasa dunianya runtuh.
Di meja kerjanya, Adrian menghampiri. "Ada apa? Wajahmu pucat."
Alya buru-buru menggeleng. "Tidak ada, Pak. Saya baik-baik saja."
Namun sorot matanya tidak bisa berbohong. Adrian menatapnya tajam, seperti bisa membaca pikirannya. "Apakah ini tentang gosip itu lagi?"
Alya menggigit bibir. Akhirnya ia berbisik lirih, "Pak… kalau semua orang berpikir saya hanya dapat posisi ini karena Anda… karier saya bisa hancur."
Adrian terdiam lama. Ia menutup map di tangannya, lalu berkata dengan suara dalam, "Alya, kamu bekerja keras. Aku yang melihatnya langsung. Jangan biarkan orang lain meremehkan usahamu hanya karena aku ada di sisimu."
"Tapi—"
"Alya," Adrian menatapnya tegas, "kalau memang harus memilih, kamu pilih apa? Karier… atau perasaanmu?"
Pertanyaan itu menusuk hati Alya. Ia membeku, tak mampu menjawab. Karena ia tahu, saat ini kedua hal itu sama pentingnya.
Hari itu, untuk pertama kalinya, Alya benar-benar bimbang.Apakah ia harus menjaga jarak demi masa depannya?Atau membiarkan hatinya jujur, meski taruhannya adalah karier yang baru saja ia bangun?
Bab 7: Semakin Sulit Bersembunyi
Sejak dipanggil HRD, Alya memutuskan untuk menjaga jarak. Ia mulai datang lebih pagi agar tidak berpapasan dengan Adrian di lobby, dan pulang lebih lambat supaya tidak terlihat berjalan bersamanya. Saat Adrian memanggil, ia menjawab secukupnya, tanpa berlama-lama.
Namun usaha itu terasa sia-sia.
Suatu siang, tim pemasaran mengadakan rapat besar bersama direksi. Ruangan penuh dengan staf dan manajer, suasana formal.
Ketika presentasi Alya selesai, Adrian menatap layar lalu berkata lantang, "Laporan ini akurat dan sangat membantu divisi. Bagus sekali, Alya."
Ruangan hening. Semua menoleh, kaget mendengar pujian yang begitu langsung dari Adrian. Biasanya, ia dikenal dingin dan pelit kata manis.
Alya menunduk dalam, wajahnya panas. Ia bisa merasakan bisik-bisik mulai muncul lagi.
Di pantry, gosip semakin keras."Gila, Pak Adrian muji Alya di depan direksi!""Itu bukan hal biasa, loh.""Udah jelas ada sesuatu."
Alya menutup telinganya, mencoba tetap fokus. Tapi hatinya justru semakin bimbang. Ia ingin menjaga jarak, tapi Adrian seolah tidak memberi ruang untuk itu.
Malam harinya, kantor mulai sepi. Alya masih di mejanya, mencoba menyelesaikan laporan tambahan. Tiba-tiba, suara langkah mendekat.
"Alya."
Ia mendongak. Adrian berdiri di depannya dengan tatapan serius.
"Kamu kenapa menjauh dariku?" tanyanya langsung.
Alya tercekat. "Saya… saya hanya ingin fokus pada pekerjaan, Pak."
Adrian menatapnya lekat, lalu berkata pelan, "Jangan salah paham. Aku puji kamu di rapat bukan karena perasaan pribadi. Tapi karena kamu memang pantas. Dan kalau aku terlihat lebih perhatian…" ia berhenti sejenak, menunduk sedikit, "…itu karena aku tidak bisa lagi pura-pura."
Jantung Alya berdegup kencang. Ia ingin menjawab, tapi tak ada kata yang keluar.
Adrian melangkah mundur, suaranya tegas."Mulai sekarang, biar semua orang tahu. Aku tidak peduli gosip. Yang aku peduli… adalah kamu."
Alya membeku di kursinya. Sementara di balik kaca kantor yang berembun karena hujan, rahasia cinta di balik meja kerja itu perlahan berubah—dari sesuatu yang tersembunyi, menjadi sesuatu yang semakin sulit disembunyikan.
Bab 8: Titik Balik
Hari Senin pagi, suasana kantor Duniabet Tower lebih tegang dari biasanya. Alya dipanggil ke ruang direksi. Di sana sudah duduk kepala HRD dan dua manajer senior.
"Alya," suara HRD terdengar formal, "kami menghargai kinerjamu. Tapi gosip mengenai kedekatanmu dengan Direktur Adrian sudah sampai ke manajemen pusat. Ini bisa menimbulkan konflik kepentingan."
Alya menunduk, jantungnya berdetak cepat. "Saya… saya hanya bekerja sesuai tugas."
Manajer senior menyela, tatapannya tajam. "Kalau benar begitu, kamu harus buktikan. Jaga jarak dengan Pak Adrian. Fokus pada kariermu. Jangan biarkan hal pribadi mencampuri pekerjaan."
Ucapan itu menusuk Alya. Ia keluar dari ruangan dengan hati berat. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar dipaksa memilih: karier yang baru ia bangun, atau perasaan yang diam-diam tumbuh di balik meja kerja.
Sore itu, Adrian mendekatinya. "Aku dengar manajemen menegurmu."
Alya terdiam, lalu mengangguk. "Mereka suruh aku jaga jarak… denganmu."
Adrian menatapnya lama, lalu berkata pelan, "Kalau begitu, biar aku yang bicara."
Keesokan harinya, saat rapat mingguan, Adrian berdiri di depan seluruh tim. Suaranya tegas, tanpa ragu."Aku ingin semua orang tahu. Alya dipilih bukan karena kedekatanku, tapi karena kompetensinya. Dan mengenai gosip…" ia berhenti sejenak, menatap Alya di kursinya, "…aku tidak akan menyangkal bahwa aku punya perasaan padanya."
Ruangan mendadak hening. Semua mata membelalak. Alya menutup mulutnya, terkejut.
Adrian melanjutkan, "Jika itu dianggap masalah, salahkan aku, bukan dia."
Setelah rapat selesai, Alya menghampirinya dengan mata berkaca-kaca. "Kenapa kamu lakukan itu? Sekarang semua orang tahu…"
Adrian menatapnya lembut. "Karena aku tidak ingin kamu terus disalahkan. Dan karena aku ingin kamu tahu, pilihanmu tidak harus antara karier atau perasaan. Kamu bisa punya keduanya—selama kita hadapi bersama."
Air mata Alya jatuh, kali ini bukan karena takut, tapi karena lega. Ia sadar, cinta rahasia itu tidak lagi bersembunyi di balik meja kerja.
Kini, cinta itu berdiri di tengah ruangan, dilihat semua orang, dan justru menjadi titik balik bagi keduanya.
Epilog
Beberapa bulan kemudian, gosip itu mereda, tergantikan oleh penghargaan yang didapat divisi pemasaran atas kerja keras tim. Alya tetap di mejanya, Adrian tetap di ruangannya. Bedanya, kini tidak ada lagi jarak yang mereka sembunyikan.
Dan setiap kali Alya menatap meja kerjanya, ia selalu teringat: di sinilah rahasia itu bermula, dan di sinilah cinta itu akhirnya menemukan keberanian untuk muncul ke permukaan.