Ficool

Chapter 15 - Chapter 15 – Hidden Fire

Dari samping, Wang Xuei melipat tangan dan menyeringai.

“Hah! Beruntung juga kau, si batu es. Tapi jangan senang dulu. Aku yakin buah berikutnya akan jatuh ke tangan yang lebih... hidup.”

Yuji hanya tersenyum kecil sedikit hangat, namun tak sepenuhnya terbuka.

Lalu… langit bergemuruh pelan. Semua kepala serentak menoleh.

Golden-Crimson Heavenly Spiritual Fruit… mulai bergerak.

Udara kembali bergetar, kali ini dari arah berlawanan.

Golden-Crimson Heavenly Spiritual Fruit buah bersinar merah keemasan dengan semburat cahaya seperti kobaran api suci mulai berputar perlahan di udara.

Auranya membara, tidak seanggun Buah Tujuh Warna, tapi jauh lebih mengintimidasi.

Semua orang menahan napas.

Buah itu… mulai bergerak.

Fang Sei mengangkat tubuhnya dari sandaran pohon, memperhatikan gerakan buah itu dengan serius. “Hoo… sepertinya giliran pemain berikutnya masuk panggung.”

Di puncak Gunung Lihai, para peserta terdiam.

Buah Spiritual Surgawi Warna Merah Keemasan terus berputar seolah menimbang sesuatu, sebelum akhirnya meluncur pelan…

...ke arah seorang wanita yang berdiri kaku, menggertakkan gigi dalam diam saat melihat keberuntungan Yuji Daofei sebelumnya.

Wang Xuei.

Ia menoleh karena merasa ada aura panas mendekat dari samping kirinya. Matanya membelalak saat melihat buah itu melayang tepat di hadapannya.

“A-Apa?” bisiknya nyaris tak terdengar.

“Kenapa… ke arahku?”

Ia mundur setapak secara refleks. Tangannya sedikit bergetar.

Yuji Daofei yang masih memegang Seven-Colored Fruit menoleh ke arahnya, begitu pula Yun Xiwe dan Xieyi Zui.

“...Wang Xuei?”

Yun Xiwe berkata dengan terkejut “Dia… yang dipilih berikutnya?”

Xieyi Zui begumam pelan “Tapi… bukankah…?”

Semua mata kini mengarah pada Wang Xuei.

Wanita berambut panjang dan mata tajam itu mengangkat tangannya dengan ragu. Tapi buah itu turun sendiri, perlahan menyentuh telapak tangannya… lalu diam.

Menyatu.

Dari kejauhan, tempat Jia Wei dan Yuwei berada

Jia Wei terdiam beberapa detik. Wajahnya sulit terbaca.

“Tch… aku kira buah itu akan memilih Yun.”

Jia Yuwei menatap buah yang kini berada di tangan Wang Xuei.

“Kak… apakah ini... tidak salah?”

Jia Wei menghela napas. “Buah itu memilih berdasarkan potensi tersembunyi. Kadang... mereka memilih jiwa yang belum kita pahami sepenuhnya.”

Di kota wilayah barat, markas keluarga Wang, sebuah aula besar dipenuhi oleh anggota keluarga Wang sedang menonton siaran spiritual dari Gunung Lihai.

Begitu buah merah keemasan menyatu dengan Wang Xuei, suara riuh terhenti.

Seorang tetua keluarga berdiri dari duduknya, matanya membelalak.

“Itu… Wang Xuei?”

“Bocah nakal itu yang dipilih… oleh buah surgawi?”

Beberapa anggota keluarga saling memandang, tak percaya.

Namun tak sedikit juga yang tersenyum bangga, karena nama keluarga Wang kini akan menggema di seluruh wilayah barat.

Di puncak…

Wang Xuei menatap buah di tangannya. Senyumnya perlahan muncul, senyum puas namun juga penuh pertanyaan.

“Hah… ternyata… aku memang istimewa.”

“Bahkan Buah ini pun tahu.”

Angin mulai berputar pelan di sekelilingnya. Aura dari buah itu mulai menyatu dengan tubuhnya… membuka jalan ke masa depan yang baru.

Tapi tak semua bersorak.

Beberapa yang menyaksikan ini merasa cemas. Dua buah tertinggi telah memilih tuannya dan dua dari mereka berasal dari wilayah barat.

Dan langit belum menunjukkan akhir pertanda.

Setelah Buah Spiritual Surgawi Merah Keemasan dengan angkuhnya memilih Wang Xuei, puncak Gunung Lihai kembali tenggelam dalam keheningan yang merayap dingin. Angin berhenti berhembus, seolah langit menahan napasnya. Tak satu pun dari enam buah surgawi lainnya bergerak. Hanya diam… seolah menatap para peserta yang menunggu dengan harap sekaligus gentar.

Hari ke-179…

Satu hari lagi sebelum tahap pertama seleksi ditutup.

Dan masih enam buah yang belum memilih siapa pun.

Yun Xiwe berdiri mematung, jemarinya mengepal, seolah jika ia tidak menahan diri, tubuhnya akan bergetar karena ketegangan. Di sekitarnya, Yuji Daofei, Xieyi Zui, dan enam peserta lainnya berdiri dalam formasi yang mulai kacau oleh kecemasan yang tumbuh.

“Kenapa… tak satu pun dari mereka bergerak…” bisik salah satu dari enam peserta, suaranya nyaris hilang dihembus angin.

“Apakah… mereka sudah selesai memilih?” tanya yang lain dengan suara serak penuh ketakutan.

Yuji Daofei tidak menjawab, matanya tajam menatap langit. Dingin. Tidak ada emosi di wajahnya, tetapi dari caranya berdiri, terlihat bahwa bahkan dirinya pun… bersiaga penuh.

“Tidak mungkin.” ucap Yun Xiwe lirih, lebih kepada dirinya sendiri. “Masih ada enam… mereka takkan diam tanpa alasan…”

Sementara itu, dari kejauhan di bagian timur Jia Wei dan Jia Yuwei berdiri tegak di atas batu besar, menatap ke arah puncak Gunung Lihai.

“Mereka belum bergerak lagi sejak Wang Xuei…” kata Jia Yuwei, nadanya gelisah.

“Langit sedang menimbang.” jawab Jia Wei datar, meski tatapannya penuh waspada. “Jika enam tidak bergerak hingga esok, maka akan ada enam kekuatan surgawi yang… tertunda. Itu tak pernah terjadi dalam sejarah.”

Di sisi barat, bersembunyi di balik bayangan batu hitam besar, Fang Sei dan Hui Baifa saling bertukar pandang.

“Mereka lambat.” gumam Hui Baifa dengan sinis. “Atau mungkin mereka tahu tak ada satu pun dari mereka yang layak.”

“Diam.” tegur Fang Sei tajam. “Lihat langit… rasakan nadinya… ada sesuatu yang…”

BOOOOMMM!!

Langit pecah. Bukan oleh suara petir, tapi oleh denyut kekuatan yang tak bisa dijelaskan. Cahaya turun bukan satu… bukan dua… tapi EMPAT sekaligus!

Langit mendadak diselimuti cahaya mengerikan

Satu berpendar tujuh warna seolah seluruh spektrum surgawi tumpah dalam satu kilau.

Yang lain bercahaya putih keemasan, agung, murni, dan menyilaukan.

Satu lagi mengalirkan aura hijau perak, tenang namun mengguncang seperti badai yang menyaru kabut.

Dan terakhir… merah keunguan… panas, mengancam, dan membakar jiwa siapa pun yang menatapnya terlalu lama.

“APA?!” pekik salah satu murid dari bawah gunung. “Mereka… empat?!”

“Ini tidak mungkin… tidak sekaligus!” seru yang lain dengan mata membelalak.

“H-hijau perak?! Aku tidak pernah mendengar tentang buah spiritual dengan warna itu!” teriak seorang tetua dari tepi arena, gemetar.

Kembali ke puncak, semua mata terangkat ke langit.

Yun Xiwe menyipitkan mata, tubuhnya tertarik oleh aura putih keemasan yang perlahan turun, mengitari tempat ia berdiri.

Xieyi Zui melangkah mundur satu langkah tanpa sadar, didekati oleh cahaya hijau perak yang meliuk lembut namun menekan dadanya.

Yuji Daofei, untuk pertama kalinya, mengerutkan alis cahaya merah keunguan berputar di atasnya seperti api hidup yang mengancam akan menerkam atau menguji.

“Kenapa mereka… empat sekaligus?!” bisik peserta di belakang Xieyi Zui.

“Langit sedang mengguncang dasar dunia…” jawab Yun Xiwe pelan. “Dan kita… adalah titik guncangannya.”

Empat cahaya itu mulai berputar mengitari puncak.

Mereka tidak langsung memilih.

Mereka mengamati.

Menilai.

Dan untuk sesaat… seisi puncak terasa seperti medan perang tak terlihat di mana setiap jiwa ditekan, ditimbang, dan disayat oleh pandangan para dewa.

Di kejauhan, Jia Wei mencengkeram batu di sisinya.

“Siapa pun yang dipilih oleh cahaya hijau perak…” gumamnya, “akan membawa bencana… atau keajaiban.”

Satu langkah saja…

Satu sentuhan saja dari cahaya itu…

Dan takdir mereka akan berubah…

Untuk selamanya.

Riuh itu tidak lagi terbendung. Ketika empat Buah Spiritual Surgawi bergerak sekaligus, langit Wilayah Zhi tampak seperti medan perang cahaya menerangi langit senja dengan semburat keemasan, ungu merah, hijau perak, dan tujuh warna yang berpendar laksana pelangi suci.

Aura mereka mengalir liar, menjalar seperti angin petir yang menyentuh setiap celah wilayah, menerobos pegunungan, melintasi lembah, dan akhirnya menjalar jauh… sangat jauh…

Menuju seluruh penjuru Negara Guhawe.

Di kota-kota besar, para tetua sekte, bangsawan, dan keluarga klan terkemuka bangkit dari tempat duduk mereka, dahi mengernyit, mata menyipit, dan hati gelisah.

Beberapa mengenali tanda-tanda itu sebagai simbol kelahiran generasi luar biasa.

Sementara itu, di pelosok desa di tengah sunyi yang biasanya hanya diisi kicau burung dan gemericik air langit berubah menjadi panggung keagungan yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.

Termasuk satu desa kecil di tenggara...

Desa Yunboa.

Keluarga Lawzi yang sedang bersantai di pelataran rumah tua mereka, terdiam menatap langit.

Langit barat laut bersinar dengan cahaya yang terlalu mencolok untuk diabaikan, meski jaraknya begitu jauh.

Warga keluar dari rumah, saling bertanya tanpa jawaban yang pasti.

Lawzi Jeu, ayah Zienxi, menatap langit dengan napas tertahan.

Tsai Mianzu dan Lawzi Kunren berdiri saling berpandangan, keduanya seperti membaca sesuatu dalam keheningan.

Sementara Lawzi Vuyei menggenggam tangan ibunya, tatapannya tertarik pada cahaya tujuh warna yang berkelap-kelip di cakrawala.

"Apakah itu... Buah Spiritual Surgawi Hijau Perak?" bisik Kunren lirih.

"Empat sekaligus... dalam satu waktu?" gumam Jeu, matanya tajam, rahangnya mengeras.

Tak ada yang menjawab. Tak ada yang bisa.

Di sisi lain pelataran rumah… Lawzi Zienxi berdiri sendiri.

Matanya tidak berkedip, wajahnya seolah terpaku dalam perpaduan rasa tak percaya dan sesuatu yang lebih dalam sebuah kegelisahan yang tak bisa ia jelaskan.

Cahaya tujuh warna itu tercermin di kedua bola matanya, seolah dunia tengah mengundangnya masuk.

Sekuat apapun ia menolak...

Langkah takdir tampaknya sudah mulai menyusulnya.

More Chapters