Ficool

Chapter 20 - Chapter 20 – The Whispering Gaze

Chapter 20 – The Whispering Gaze

Hari ke-14 seleksi tahap kedua telah tiba.

Mentari pagi menyinari langit wilayah Sekte Daun 7 Sisi, menerobos lembut sela-sela dedaunan rimbun yang menaungi kawasan pelatihan. Angin berembus ringan, membawa aroma tanah dan dedaunan yang basah oleh embun.

Hari ini, tiga puluh orang calon murid kembali keluar dari labirin dengan langkah berat dan tubuh lelah. Beberapa terhuyung, beberapa lainnya bahkan harus ditopang oleh rekan mereka yang telah lebih dulu menyelesaikan ujian.

We Jita dan Tan Wulien termasuk di antara mereka.

Rambut We Jita berantakan, wajahnya penuh debu dan keringat, tapi sorot matanya masih tajam ia berhasil. Tan Wulien tertawa kecil meskipun kakinya gemetar, senyum kelegaan menghiasi wajahnya.

Jumlah total yang lulus sejauh ini 217 orang.

Masih ada 33 tempat tersisa, dan waktu tinggal 6 hari lagi sebelum labirin ditutup sepenuhnya.

Di sekitar tempat peristirahatan para calon murid yang telah lulus, suasana mulai berubah. Tatapan mengamati dan bisik-bisik pelan terdengar dari berbagai sudut.

Yun Xiwe berdiri dengan tenang, memandang mereka yang baru datang.

“Tan Wulien... dia butuh waktu 14 hari, tapi tetap bisa keluar. Cukup pintar juga,” gumam Fang Sei yang berdiri di sampingnya, dengan tangan bersilang.

Jia Wei mengangkat alisnya. “Tapi jika dia butuh waktu selama itu untuk teka-teki yang bahkan aku pecahkan dalam 7 hari... dia bukan ancaman,” katanya dingin sambil memeriksa kukunya.

Wang Xuei tersenyum nakal. “Atau justru dia tahu cara santai melewati ujian, tidak seperti kalian yang serius sekali,” sindirnya sambil menyenggol Jia Wei.

Jia Yuwei hanya menggeleng pelan. “Jangan terlalu meremehkan siapa pun. Kadang yang datang belakangan... menyimpan sesuatu.”

Tak jauh dari mereka, para murid senior Sekte Daun 7 Sisi yang bertugas mengawasi, ikut menyimak.

“Yang keluar hari ini... makin kuat mentalnya,” ujar salah satu murid senior, berpakaian jubah hijau dengan simbol daun berlapis tujuh di bahunya.

“Dan makin beragam kepribadiannya,” sahut temannya yang duduk di batu besar. “Aku penasaran siapa yang akan jadi unggulan. Yuji Daofei masih dingin seperti es, tapi licik seperti rubah.”

“Dan Fang Sei... dia terlalu pintar untuk anak seusianya,” gumam satu lagi sambil menyilangkan kaki. “Semoga saja tahap ketiga nanti... bisa menyaring mereka lebih dalam.”

Langit perlahan berubah jingga, menyiratkan bahwa waktu terus berjalan. Sementara itu, labirin di tengah wilayah sekte masih menyimpan teka-teki yang belum ditaklukkan. Masih ada puluhan calon murid yang tersesat, berpikir keras, dan menanti kesempatan untuk menjadi bagian dari Sekte Daun 7 Sisi.

Dan dari atas menara batu pengawas, beberapa tetua kembali mencatat hasil hari ini dalam gulungan batu mereka. Mereka tidak berbicara. Namun, dari sorot mata mereka... pengamatan sedang berlangsung.

Hari terakhir seleksi tahap kedua akhirnya tiba. Setelah dua puluh hari yang melelahkan, 249 calon murid telah berhasil menyelesaikan ujian di wilayah Sekte Daun 7 Sisi. Kini, hanya tersisa satu nama yang belum keluar.

Satu orang lagi.

Satu harapan terakhir.

Para murid yang telah lulus berkumpul di pelataran utama, mata mereka mengarah pada gerbang labirin spiritual yang menjadi pintu keluar dari ujian terakhir. Di antara mereka, ada yang duduk diam dengan ekspresi tenang. Ada pula yang gelisah, menatap langit yang mulai berubah warna seiring berjalannya waktu. Sebagian lainnya menyeringai, membisikkan komentar-komentar tajam, seolah tidak percaya masih ada yang sanggup bertahan sampai detik terakhir.

“Dia pasti sudah menyerah,” gumam seorang pemuda dengan nada mengejek.

“Kalau dia pintar, mestinya keluar sebelum terlambat,” sahut yang lain.

...Namun suara mereka segera lenyap, digantikan keheningan mendalam.

Sebab suara langkah pelan mulai terdengar dari dalam kabut gerbang labirin.

Semua mata memandang ke depan. Sunyi. Tegang. Bahkan angin pun seolah ikut menahan napas.

Kemudian, muncul sosok seorang wanita. Langkahnya pelan namun mantap. Tubuhnya berbalut pakaian ujian yang sudah kotor dan sedikit robek, tapi dari tubuhnya, terpancar cahaya hijau perak yang lembut, menyelubungi udara di sekelilingnya dengan sinar spiritual yang memesona.

Wajahnya tampak kelelahan, peluh membasahi keningnya, namun senyum hangat mengembang di bibirnya. Matanya yang jernih menyapu pelataran, seolah mencari seseorang yang bisa ia bagi kebahagiaannya.

Dia cantik dengan aura lugu dan kelembutan alami yang menenangkan hati siapa pun yang memandang.

Suara gumaman langsung memenuhi pelataran.

“Itu dia! Bukankah dia yang mendapatkan Buah Surgawi Hijau Perak waktu itu?”

“Dia yang terakhir... jadi dia berhasil!”

“Tak kusangka... dia terlihat begitu lembut, tapi bisa bertahan sampai akhir?”

“Orang-orang yang mendapat Buah Spiritual Surgawi… semuanya berhasil lulus. Luar biasa...”

Para tetua Sekte Daun 7 Sisi mengangguk pelan dari kejauhan, terlihat puas. Salah satu tetua wanita bahkan tersenyum tipis dan membisik, “Seperti embun terakhir sebelum fajar... dia datang tepat waktu.”

Wanita itu membungkuk dengan sopan kepada para tetua, lalu berjalan perlahan ke barisan para murid yang telah lulus.

Jumlah peserta yang lulus kini genap 250 orang.

Empat hari telah berlalu sejak seleksi tahap kedua berakhir. Tiga hari tersisa menuju ujian terakhir, tahap ketiga dari seleksi murid Sekte Daun 7 Sisi. Suasana di wilayah Sekte mulai lebih tenang, namun harapan dan ketegangan tetap menggantung di udara.

Sementara itu, di desa Yunboa yang tenang dan dikelilingi hijaunya alam, Lawzi Zienxi dan sepupunya, Vuyei, menghabiskan waktu mereka dengan latihan yang intens. Hampir setiap pagi dan sore mereka berlatih bersama Lawzi Jeu, ayah Zienxi. Sesekali, ayah Vuyei, Lawzi Kunren, ikut bergabung, memberi latihan tambahan yang lebih menekankan pada ketahanan dan refleks.

“Jangan biarkan emosimu menguasai gerakanmu, Zienxi,” ujar Jeu dengan suara tenang namun dalam. “Kekuatan yang tak dikendalikan akan jadi kelemahan.”

Zienxi yang tengah terjatuh di atas rerumputan mengangguk, mengusap peluh di dahinya.

“Aku akan coba lagi, Ayah,” ujarnya, bangkit dengan sorot mata yang tak menyerah.

Di sisi lain lapangan latihan kecil itu, Vuyei sedang menangkis pukulan kayu dari ayahnya.

“Jangan terlalu cepat panik, Vuyei,” kata Kunren dengan nada tegas. “Musuh akan langsung tahu kelemahanmu kalau kau menghindar terlalu awal.”

Vuyei menggigit bibirnya, lalu mengangguk dengan cepat. “Baik, Ayah.”

Duduk tak jauh dari tempat mereka berlatih, Quim Zunxi dan Tsai Mianzu memperhatikan dengan senyum lembut di wajah mereka. Sesekali mereka bersorak memberi semangat, dan tak jarang melempar candaan ringan yang membuat kedua anak itu mengerutkan kening atau tertawa kecil.

“Aku rasa Zienxi mewarisi sifat keras kepala darimu, Zunxi,” ujar Tsai sambil menatap sahabatnya dengan senyum geli.

Quim tertawa pelan. “Kalau Vuyei mewarisi tatapan tajam Kunren, aku yakin tak satu pun calon bandit berani mendekat.”

Mereka tertawa bersama, membiarkan kehangatan keluarga kecil itu tetap hidup di tengah-tengah bayangan dunia kultivasi yang mulai menanti di hadapan anak-anak mereka.

Hari keempat telah lewat, dan di luar sana, di tempat yang jauh dari desa Yunboa, takdir para calon murid mulai bergerak menuju seleksi terakhir.

Sementara itu, di Sekte Daun 7 Sisi, 250 calon murid telah resmi lolos dari seleksi tahap kedua. Hanya satu langkah lagi menuju pengakuan sebagai murid sejati. Namun, suasana di sekitar tempat istirahat para peserta berbeda-beda.

Beberapa dari mereka duduk dalam kelompok kecil, mengobrol ringan atau hanya duduk diam mengamati sekitar. Ada yang berjalan-jalan menyusuri area yang diizinkan dari sekte, mengagumi arsitektur, patung-patung tua, atau taman spiritual yang menenangkan pikiran.

Di sudut yang agak sepi, Yuji Daofei tetap duduk tenang di tempatnya. Tatapannya menembus kejauhan, tak terganggu oleh suara di sekitarnya. Aura dingin dan misterius tetap melekat padanya.

Tak jauh dari sana, Yun Xiwe dan Xieyi Zui sedang bercanda.

"Kamu pernah lihat salju?" tanya Xieyi sambil tersenyum manis.

"Tentu saja. Aku tinggal di wilayah utara. Bahkan musim semi di sana masih terasa seperti akhir musim dingin," jawab Yun Xiwe.

"Wah, di tempatku hanya ada kabut dan hujan. Aku penasaran seperti apa salju yang asli."

Yun Xiwe tersenyum lembut. "Kalau kamu diterima nanti, kau bisa ikut denganku ke utara suatu hari. Aku akan tunjukkan salju yang sesungguhnya."

Mereka tertawa bersama, senyum yang tulus terukir di wajah masing-masing.

Sementara itu, Jia Wei dan adiknya, Yuwei, duduk berdua di salah satu paviliun.

"Menurutmu, apa yang akan kita hadapi di tahap ketiga nanti?" tanya Yuwei, matanya menatap air kolam kecil di bawah mereka.

"Entahlah," jawab Jia Wei dengan nada serius. "Tapi kita harus siap, apa pun itu. Kalau kamu gugup, jangan tunjukkan di depan orang lain."

Yuwei mengangguk, meskipun jelas ia tak bisa menyembunyikan rasa cemas dari wajahnya.

Di kamar tempat istirahat, Fang Sei sedang tiduran santai dengan tangan di belakang kepala. Pandangannya mengarah ke langit-langit sambil bersenandung pelan, seolah tak ada yang bisa mengusik ketenangannya.

"Akan ada tahap ketiga, dan mereka pasti membuatnya susah," gumamnya pelan. "Tapi kalau terlalu mudah, bukan seleksi namanya."

Sementara itu, Hui Baifa menyelinap ke salah satu kebun di pinggir area tempat tinggal para peserta. Ia mencari buah matang untuk dimakan, mencuri satu-dua biji dari pohon tanpa izin, lalu tertawa kecil sebelum menghilang ke balik semak.

"Kalau mereka melarang, harusnya mereka jaga lebih ketat," katanya sambil mengunyah puas.

Di sisi lain, Wang Xuei kembali membuat masalah kecil. Ia menyembunyikan sandal seorang murid di bawah semak, lalu pura-pura ikut membantu mencari.

“Kau yakin tidak meletakkannya di dapur?” katanya dengan wajah polos.

Murid itu mendengus. “Aku tahu kau yang sembunyikan, Wang.”

“Aku? Wah, fitnah itu,” jawab Wang tersenyum nakal.

More Chapters