Bab 8: Tubuh Ini Bukan Milikmu Sendiri
Raina membuka matanya.
Ia terbangun di kamar yang tampak seperti miliknya… tapi terlalu rapi, terlalu bersih, terlalu senyap.
Cermin di dinding utuh, tidak pecah.
Dan anehnya, saat ia menatap bayangan di sana—tidak ada refleksi.
Ia menyentuh wajahnya. Masih hidup. Masih ada. Tapi tak tercermin.
"Apa ini mimpi?" pikirnya.
Lalu, dari dalam cermin, Reina muncul perlahan.
Pakaiannya sama. Wajahnya identik. Tapi sorot matanya kosong—tajam dan dingin seperti logam.
"Kau masih berpikir ini hanya permainan?" tanya Reina."Tubuh ini bukan milikmu sendiri, Raina. Kita terikat. Dan sekarang, aku tak mau lagi dibalik kaca."
Raina melangkah mundur. Jantungnya berdebar cepat. Ia berusaha lari ke pintu… tapi tak ada gagang. Tak ada jalan keluar.
"Apa maumu?""Kau ingin hidup sepenuhnya? Ambil saja. Tapi kenapa sekarang?"
Reina tertawa pelan. Bukan tawa senang. Tapi tawa seperti seseorang yang sudah tahu jawaban dari awal.
"Karena kau mulai ingat.""Karena trauma membuatmu retak… dan aku keluar dari celah itu."
Raina terduduk di lantai. Ingatan-ingatan lama terus menyerbu.
Suara ibunya menangis di kamar sebelah.
Bayangan dirinya kecil yang bicara pada pantulan.
Hari ketika ia ditemukan terkunci dan tak mengenali siapa pun.
Selama ini, ia menyangkal bahwa ada bagian dirinya yang… terbelah.
"Apa kau... aku?""Atau kau... sesuatu dari luar?"
Reina menatapnya lama, lalu berbisik:
"Aku adalah kamu… yang memilih bertahan. Saat kau memilih lupa."
"Kau menyingkirkanku karena kau ingin sempurna. Ingin diterima. Tapi manusia tak bisa menolak bayangannya selamanya, Raina."
Tiba-tiba, dinding kamar mulai bergoyang. Cahaya memudar. Cermin mulai pecah dari dalam—membentuk lorong kaca tak berujung.
Dan Reina melangkah maju.
"Kita mulai permainan terakhir.""Siapa yang paling layak hidup di dunia ini—kau, atau aku?"