Ficool

Chapter 9 - Sebuah Cermin Pembohong

Bab 9: Antara Pantulan dan Kenyataan

Lorong-lorong cermin terbentang tak berujung di hadapan Raina. Setiap langkah yang ia ambil memantulkan ribuan dirinya—semua versi berbeda. Ada yang menangis. Ada yang berlumuran darah. Ada yang... menatapnya dengan penuh benci.

Tapi hanya satu yang nyata: dirinya yang sekarang, dan Reina yang berjalan di sampingnya.

"Ini bukan dunia nyata," desis Raina, napasnya berat."Tentu saja bukan," jawab Reina. "Ini adalah batinmu. Dunia tempat aku tinggal sejak kecil."

Mereka berjalan dalam diam, sampai tiba di tengah ruangan bundar dengan dinding penuh kaca tak berbingkai. Dan di tengahnya, sebuah kursi kayu… kosong.

"Duduklah," kata Reina."Untuk apa?""Karena untuk pertama kalinya, kita akan bicara sebagai dua jiwa dalam satu tubuh."

Raina perlahan duduk. Reina menghadapnya—duduk di seberang, saling memantulkan seperti cermin hidup.

"Apa yang kau inginkan dariku?" tanya Raina.

Reina tidak menjawab langsung. Ia hanya menatap lekat-lekat, seolah sedang membaca isi pikiran Raina.

"Aku ingin hakku. Hak untuk dilihat. Untuk diakui. Kau hidup dalam terang, sementara aku dibuang ke bayang-bayang.""Tapi itu karena aku tak tahu kau ada.""Kau tahu," potong Reina tajam. "Kau hanya menolak. Kau memilih lupa. Seperti Ibu memilih diam. Seperti Ayah memilih pergi."

Raina menggigit bibir. Luka lama mencuat. Tapi ia bertahan.

"Aku terluka, Reina. Tapi aku tak pernah ingin menyingkirkanmu. Aku hanya… tak tahu bagaimana menerima bagian diriku yang gelap."

Reina terdiam.

Untuk pertama kalinya, tatapannya melembut. Dan dari matanya, menetes air bening—bukan air mata. Tapi sesuatu yang lebih berat… seperti racun yang disimpan terlalu lama.

"Jika kau benar-benar ingin menerima aku…" Reina bangkit perlahan."…maka kau harus menatap semua dirimu. Bahkan yang paling kau benci."

Dinding-dinding kaca mulai berubah. Setiap pantulan berubah menjadi momen hidup Raina:

Saat ia memukul dinding kamar karena tak tahan ditekan ibunya.

Saat ia pura-pura tersenyum di sekolah, padahal ingin mati.

Saat ia berkata "Aku baik-baik saja" padahal tidak.

Reina menunjuk satu pantulan:

"Yang itu… saat kau menyalahkan dirimu atas kecelakaan Ayah. Ingat?""Itu bukan salahku!""Tapi kau percaya itu selama 10 tahun."

Raina menutup telinganya. Tapi gema suara Reina tetap menghantamnya dari segala arah.

"Aku hidup dari luka-lukamu, Rain.""Tapi kalau kau benar-benar ingin sembuh… maka kau harus menatapku. Dan peluk aku… seperti kau ingin memeluk dirimu sendiri."

Hening.

Raina bangkit. Mendekati Reina. Tangannya gemetar.

Dan akhirnya—ia memeluk Reina.

Tubuh mereka menyatu dalam pelukan yang hening, rapuh… tapi nyata.

Dan saat cermin-cermin itu pecah satu per satu, tak menyisakan pantulan apa pun…

…hanya satu sosok yang tetap berdiri di sana.

More Chapters