Bab 5: Ayah yang Tak Pernah Bicara
Pagi di rumah itu biasanya diisi suara-suara: suara piring beradu, adik yang merengek, Ibu yang memerintah.
Tapi pagi ini, sunyi. Hening yang bukan menenangkan—melainkan menakutkan.
Nayla duduk di meja makan. Di hadapannya, Ayah duduk diam, membaca koran seperti biasa. Tapi Nayla tahu, koran itu tidak benar-benar dibaca. Hanya pelindung dari semua kata-kata yang tidak ingin diucapkan.
Ibu mondar-mandir di dapur, tak berkata apa-apa sejak semalam. Seakan Nayla sudah menjadi tamu di rumah sendiri.
"Yah..." suara Nayla pelan."Aku mau bicara."
Ayah menurunkan koran. Matanya sayu. Mata seorang pria yang sudah terlalu lama hidup dalam diam.
"Aku... keterima beasiswa ke Jepang," lanjut Nayla."Aku tahu ini berat. Tapi... aku mau ambil kesempatan itu."
Ayah diam. Lalu menghela napas panjang. Nayla menunggu. Bahkan napasnya pun terasa tertahan.
"Kamu tahu, Nay... dulu Ayah juga pernah punya mimpi," kata Ayah akhirnya.
Nayla mengerutkan dahi. Ini pertama kalinya Ayah bicara seperti itu.
"Ayah ingin jadi pelukis. Tapi waktu Kakek sakit, Ayah harus kerja. Harus bantu keluarga. Ayah pikir... pengorbanan itu bagian dari hidup."
"Dan sekarang?"
"Sekarang Ayah sadar... hidup nggak sekadar soal berkorban. Kadang kita harus milih luka mana yang mau kita bawa: luka karena meninggalkan, atau luka karena bertahan."
Nayla menatap Ayahnya. Matanya mulai berkaca.
"Kalau kamu tanya Ayah... Ambil kesempatan itu, Nay."
Ibu yang mendengarkan dari dapur tiba-tiba bersuara:
"Jadi, kamu dukung anakmu ninggalin rumah?!"
Ayah menatap istrinya. Bukan dengan marah. Tapi dengan ketegasan yang tak pernah Nayla lihat sebelumnya.
"Aku dukung anak kita untuk hidup. Bukan sekadar bertahan."
Ibu terdiam. Nayla tak percaya pada apa yang baru saja ia dengar. Untuk pertama kalinya... ia merasa didukung. Dilihat.
Dan ketika ia menoleh ke arah Ayahnya, sang lelaki itu tersenyum kecil.
"Nayla... Hidup itu cuma sekali. Jangan jadi hantu di hidupmu sendiri."