Ficool

Chapter 9 - Luka Anak Pertama

Bab 9: Panggung yang Membuka Luka

Ruangan auditorium itu besar dan megah. Mahasiswa dari berbagai negara duduk rapi, wajah mereka penuh antusias. Kamera merekam, mikrofon menyala, dan sorot lampu menyoroti podium di tengah panggung.

Nayla berdiri di balik tirai, memeluk naskah pidatonya. Keringat dingin membasahi telapak tangannya.

Dari layar monitor di samping, ia bisa melihat wajah-wajah asing yang siap mendengarkan. Tapi lebih dari itu, ia mendengar suara dari dalam dirinya sendiri:

"Kalau kamu bicara, jangan terlalu jujur.""Jangan buka aib keluarga.""Jangan bikin malu."

Namun suara lain, yang selama ini tumbuh dalam keheningan luka, menjawab dengan tenang:

"Jika aku tidak bicara… siapa yang akan menyuarakan kami?"

Lampu menyala.

Namanya dipanggil.

Nayla melangkah ke depan podium. Kakinya bergetar. Tapi matanya tenang.

Ia mulai bicara. Suaranya pelan, namun jelas:

"Nama saya Nayla Putri. Saya berasal dari Indonesia. Dan saya adalah anak pertama."

Ruangan hening.

"Saya ingin berbicara bukan sebagai mahasiswa berprestasi, bukan sebagai penerima beasiswa… tapi sebagai anak pertama yang terlalu sering diminta menjadi kuat."

"Sejak kecil, saya diberi peran yang tidak saya minta. Saya harus menjadi kakak, pengganti orang tua, pelindung adik, penyambung harapan keluarga."

"Tapi tidak ada yang pernah bertanya… apa kabar saya?"

Beberapa peserta mulai terdiam lebih dalam. Di antara hadirin, ada yang mulai mengangguk perlahan.

"Saya pernah merasa bersalah karena ingin bahagia. Karena ingin hidup bukan hanya untuk orang lain. Tapi sekarang saya tahu… memilih bahagia bukan berarti durhaka."

"Anak pertama juga manusia. Kami punya batas. Kami punya luka. Tapi kami juga punya hak untuk sembuh."

Tepuk tangan menggema.

Nayla terdiam sejenak. Di layar besar di belakangnya, sebuah gambar masa kecilnya muncul—ia kecil, memeluk adiknya, sambil mencuci piring di dapur.

Ia menghela napas.

"Saya di sini bukan karena saya paling kuat. Tapi karena saya akhirnya belajar untuk berhenti memendam semuanya sendiri."

"Hari ini… saya berdiri bukan sebagai anak pertama yang terluka, tapi sebagai seseorang yang akhirnya memilih untuk hidup."

Sorak dan tepuk tangan membahana. Beberapa penonton berdiri. Bahkan juri yang duduk di meja depan mengusap mata mereka.

Nayla tersenyum. Bukan karena ia telah sembuh sepenuhnya, tapi karena… ia sudah berani bicara.

More Chapters