Ficool

Chapter 4 - Bab 2

"Aulia, kamu nggak ikut kajian sore ini?"

Suara Putri menyapaku lewat chat yang belum kubalas.

Hari ini aku memilih berdiam di kamar. Entah kenapa, semangat yang sempat tumbuh itu seperti layu. Rasanya… ada hari-hari di mana hati tak lagi peka, doa terasa hampa, dan semuanya seperti kehilangan makna.

Padahal aku sudah mulai rutin ikut kajian. Sudah mulai belajar menundukkan pandangan, menjaga ucapan. Tapi kenapa tetap merasa kosong?

Aku takut. Takut perasaanku ini adalah tanda bahwa aku sedang mundur. Bahwa semua yang aku bangun pelan-pelan, mulai runtuh kembali.

Sore itu, langit mendung. Aku duduk di pojok tempat tidur, memandangi dinding kamar yang kosong. Lalu HP-ku bergetar.

*Putri:* *"Kalau kamu lelah, nggak apa-apa. Tapi jangan berhenti. Capek itu wajar, bahkan Rasul pun pernah merasa berat. Tapi beliau nggak menyerah."*

Air mataku jatuh begitu saja. Kata-kata itu… masuk terlalu dalam.

Lalu satu pesan lagi muncul:

Putri:"Kita ini bukan sedang berlomba siapa yang paling sempurna. Kita cuma sedang berusaha jadi lebih baik, semampunya. Dan kalau kamu lupa arah, aku bakal ingatkan lagi, pelan-pelan. Bareng-bareng ya, Lia. Allah nggak pernah ninggalin kita."

Aku memeluk lututku. Berdoa dalam hati.

**"Ya Allah… jika hari ini aku goyah,

tolong kuatkan hatiku untuk tidak pergi."**

Dan di balik hujan yang turun perlahan sore itu,

aku kembali berdiri.

Pelan-pelan, aku balas pesan Putri:

*"Aku ikut. Tunggu aku di depan musholla."*

Karena sejauh apa pun melangkah menjauh,

akan selalu ada doa yang menarikku pulang.

Dan akan selalu ada sahabat…

yang menggenggam erat,

saat aku hampir hilang.

Langkahku menuju musholla sore itu terasa berat, tapi ada kelegaan. Seperti seseorang yang tersesat lalu menemukan jalan pulang, walau harus terseok.

Di depan pintu, Putri sudah menunggu. Wajahnya seperti biasa—tenang dan meneduhkan. Begitu melihatku datang, ia tersenyum.

"Pelan-pelan aja, Lia. Yang penting kamu datang," bisiknya, tanpa banyak tanya.

Di dalam musholla, suasana hening. Kajian sudah dimulai. Sang ustadzah berbicara lembut, tapi tegas. Kalimatnya menghantam langsung ke titik rapuhku:

*"Hidayah itu bukan hanya tentang awal yang indah, tapi tentang siapa yang tetap bertahan sampai akhir. Yang tidak hanya jatuh cinta pada proses, tapi juga sabar saat tak ada kemudahan."*

Hatiku bergetar.

Mata berkaca.

Dan dada sesak oleh rasa bersalah, sekaligus syukur.

Usai kajian, Putri menggandeng tanganku. Kami duduk berdua di teras musholla, angin sore menyapu pelan jilbab kami.

"Aku juga sering loyo, Lia," ucapnya tiba-tiba.

"Sering ngerasa kosong, sepi, gak semangat. Tapi aku pikir, kalau aku berhenti sekarang… aku nggak tahu apakah aku masih sempat balik lagi nanti."

Aku menatapnya. Diam.

Tak perlu banyak kata. Karena kadang, kehadiran dan kejujuran seseorang sudah cukup untuk menyembuhkan luka.

Sore itu, aku belajar sesuatu:

Ternyata iman memang naik turun,

dan itu bukan tanda gagal.

Itu tanda… kita manusia.

Yang penting, saat turun, kita gak lepas genggaman.

Karena Allah tak pernah melepas.

Dan sahabat yang sejati… tak pernah membiarkanmu jatuh sendirian.

More Chapters