Ficool

Chapter 3 - Bab 1

Namaku Aulia.

Aku bukan ustadzah. Bukan pula perempuan dengan ilmu yang luas.

Aku cuma seseorang… yang sedang belajar pulang.

Hijrahku tak megah. Tak ada momen dramatis atau kisah viral.

Hanya ada hati yang lelah dikejar dunia,

dan tubuh yang gemetar saat sujud malam pertama setelah sekian lama lupa.

Di sisi lain, ada sahabatku—*Putri*.

Orangnya tenang, kalem, dan selalu jadi tempatku bertanya.

Dia yang dulu pertama kali mengajakku ikut kajian.

Yang pertama kali bilang,

"Kalau kamu nggak kuat, jangan sendiri. Yuk bareng-bareng belajar."

Kami berdua berjalan pelan. Kadang dia duluan, kadang aku yang semangat.

Tapi yang pasti, kami sepakat:

*jalan ini tidak akan kami tempuh sendirian.*

Namun, pelan-pelan aku sadar…

bahwa menjaga semangat hijrah tak semudah niat awalnya.

Godaan datang dari arah tak terduga.

Lelah mulai terasa saat orang-orang mulai menjauh.

Bahkan kadang, yang terasa asing… justru diri sendiri.

Dan saat aku mulai goyah,

aku hanya berharap:

Putri masih di sana.

Untuk menggenggamku… dan membisikkan,

"Aulia, jangan pergi terlalu jauh."

"Kalau kamu jatuh… jangan lepasin Allah. Karena hanya Dia yang bisa angkat kita berdua kembali."

Dan di antara gemuruh hujan di luar musholla, aku menangis pelan.

Tidak karena sedih—tapi karena masih ada yang mau genggam aku,

saat aku hampir melepas segalanya.

Hari itu, hujan turun sejak subuh. Langit abu-abu, mirip hatiku yang hari itu entah kenapa terasa berat.

Aku dan Putri duduk di sudut musholla pesantren, sehabis halaqah rutin. Biasanya, kami akan pulang dengan tawa kecil dan bincang ringan soal materi. Tapi kali ini aku hanya diam, menatap jemariku yang saling menggenggam.

Putri melirikku. "Lia, kamu kenapa?"

Aku menunduk. Lama. Sampai akhirnya suara itu keluar juga.

*"Put, kenapa ya… makin aku niat berubah, makin berat rasanya?"*

Putri tersenyum. Bukan senyum mengejek atau menggurui. Tapi senyum seseorang yang pernah merasa jatuh dan tahu rasanya.

"Karena kamu lagi berjalan ke arah yang benar, Lia. Setan nggak akan biarkan kamu tenang. Dunia juga enggak." Ia menepuk tanganku. "Tapi Allah tahu. Dan Dia nggak tinggal diam."

Mataku mulai hangat. Ada yang terasa mengganjal di dada sejak seminggu terakhir. Rasa capek. Bosan. Bahkan ingin menyerah. Bukan karena aku tak ingin dekat dengan Allah. Tapi karena jalan ini ternyata penuh kerikil yang menusuk.

"Kalau aku jatuh, kamu masih mau genggam aku, kan?"

Putri menarik napas. "Selama aku masih bisa berjalan, aku akan cari kamu, Lia. Tapi janji satu hal…"

Aku mengangkat wajah. "Apa?"

---------------

Malamnya, aku membuka mushaf yang sempat beberapa hari tak kusentuh. Tanganku gemetar saat membuka halaman demi halaman, hingga akhirnya mataku berhenti pada satu ayat yang seolah menatap hatiku:

_"Dan barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapati di bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak…"_ (QS. An-Nisa: 100)

Aku mengulang ayat itu dalam hati. Berkali-kali. Sampai rasanya hangat mengalir ke dada. Seolah Allah sedang bicara langsung padaku:

"Aulia, jangan takut. Jalan ini tak akan sia-sia."

Tak lama, chat dari Putri masuk.

Putri: "Sudah baikan, Lia? Malam ini sepertiga malamnya jangan dilewatkan, ya. Nangis sekalian di hadapan Allah. Dia nggak pernah capek dengar kamu curhat."*

Aku senyum kecil.

Bukan karena semua masalah selesai,

tapi karena aku ingat—aku nggak sendiri.

Ada Allah.

Dan ada Putri, sahabat yang tak hanya hadir saat aku kuat,

tapi juga saat aku limbung.

Malam itu aku sujud lebih lama.

Tak semua kata bisa kuucap. Tapi air mataku tahu arah pulangnya.

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian waktu,

aku berani minta pada Allah dengan suara lirih:

"Kalau aku jatuh lagi, jangan biarkan aku sendiri. Kirimkan seseorang untuk genggam aku… kembali."

Beberapa hari setelahnya, langkahku terasa lebih ringan. Bukan karena ujian hidup menghilang, tapi karena hatiku mulai belajar menerima: bahwa perjuangan tidak selalu harus terlihat kuat di mata orang. Kadang cukup dengan tidak menyerah hari ini, itu sudah bentuk keberanian.

Putri menepati janjinya. Dia tetap ada—dengan sapaan kecil, ajakan kajian, atau sekadar mengingatkanku untuk shalat tepat waktu. Ia tak pernah menggurui. Justru sering kali, dalam diamnya, aku belajar lebih banyak tentang ketulusan.

Suatu sore, ia berkata, "Lia, tahu gak? Allah itu kalau sayang sama kita, Dia kasih rasa lelah. Biar kita berhenti bergantung sama dunia, dan mulai kembali bersandar ke Dia."

Aku hanya mengangguk. Karena sore itu, kata-katanya menampar lembut hatiku yang sempat keras kepala.

Perjalanan ini belum usai. Dan mungkin masih akan panjang. Tapi aku tahu satu hal—selama aku masih dikelilingi oleh doa, oleh sahabat yang ikhlas, dan oleh harap yang dijaga dalam sujud—maka aku tak benar-benar jatuh.

Karena meski terpeleset,

masih ada tangan yang akan menggenggam.

Dan tangan itu… bukan hanya milik sahabat,

tapi milik Tuhan yang tak pernah tidur.

**"Jika aku jatuh, genggam aku kembali…meski hanya lewat doa, atau lewat cahaya yang membuatku sadar:

aku harus pulang."**

More Chapters