Ficool

Chapter 4 - KEPILUAN

Sierra tergesa-gesa, dia tidak melihat kearah jalan yang dia lalui, sehingga dia tidak melihat bahaya yang sedang mengintai dirinya..

Saat Sierra tersadar, dia sedang di ikuti. Langkahnya terus berjalan cepat, melihat ke kanan dan ke kiri.

"Kamu tidak akan bisa lari dari kami." Ujarnya, menatap Sierra sinis.

"Untuk apa kalian mengangguku, saya tidak kenal dengan kalian!" Sierra berjalan mundur, menghindar dari mereka yang berjumlah cukup banyak.

"Ya, tapi kami kenal siapa dirimu!" ujarnya, dengan senyuman menyeringai.

Sierra berlari menjauhi mereka, tapi sayangnya.. Langkah Sierra ter-susul.

"Kau tidak akan bisa lari dari kami." Mereka tersenyum sinis, seolah-olah akan mendapatkan suatu hal yang besar.

"Jangan harap! Saya tidak akan menyerahkan diri kepada para bajingan seperti kalian!" hardik Sierra.

Sierra melawan semua preman itu, bukan lawan satu persatu, tapi semua dia lawan.

 Sierra kehabisan tenaga, dia terjatuh.

"Kau tidak akan bisa lari dari kami," ucapnya dengan tatapan sinis.

Napas Sierra ter-engah-engah..

Saat mereka akan melukai Sierra, sontak saja ada yang menolong Sierra.

"Dor"

Satu pistol melenyapkan semua orang yang akan melukai Sierra.

"Berani-beraninya dengan wanita, dasar pengecut!"

Dia menaruh kembali senjata api yang dia pakai, lalu dia menolong Sierra.

"Terima kasih sudah menolong saya," ucap Sierra, tanpa melihat siapa orang yang sudah menolong dirinya.

"Saya berhutang nyawa denganmu, dan saya tidak suka itu, sekarang kita impas," ujarnya.

Mendengar suara itu, Sierra merasa tidak asing.. Lalu dia melirik kearahnya.

"Kamu.."

"Ya, saya tidak sengaja melihat kamu sedang melawan mereka semua," ujar Zane dengan mimik wajah yang dingin.

"Saya permisi dulu," pamit Sierra, dia tidak biasa ber-basa-basi dengan orang asing.

"Tunggu.." Zane menarik tangan Sierra dengan lembut.

Sierra langsung melepaskan tangan Zane.

"Kita tidak mempunyai urusan apa pun," ungkap Sierra.

"Ada yang ingin saya tanyakan denganmu," ucap Zane.

Sierra membalikan tubuhnya, lalu menatap kearah Zane.

"Ada apa? Saya tidak mempunyai banyak waktu, untuk berbincang dengan orang asing," kata Sierra.

"Dasar wanita angkuh," batin Zane kesal.

"Hello, kenapa bengong?" ujar Sierra.

"Kenapa kamu dikejar mereka?" tanya Zane.

"Saya tidak tahu, bahkan saya tidak mengenal mereka," jawab Sierra ketus.

Mendengar jawaban Sierra, Zane tidak lagi menanyakan apa pun.

"Hari sudah malam, biar saya antarkan pulang," kata Zane,

"Perempuan tidak baik sendiri saat malam seperti ini," lanjut Zane.

"Tidak, terima kasih, saya sudah biasa hidup sendiri, tanpa bantuan siapa pun," jawab Sierra, menolak ajakan Zane.

Mendengar tolakan dari Sierra, Zane merasa geram.

"Masuk!" titah Zane.

Sierra menatap sorot mata Zane merasa seram, karena dia tidak biasa akan hal itu.

"Saya tidak mau punya hutang balas budi denganmu, makanya saya memastikan kalo kamu baik-baik saja sampai ke rumah," ujar Zane kesal.

Sierra hanya menghela napas, dia tidak mau berurusan dengan siapa pun, termasuk dengan Zane.

"Saya terima tawaran anda," kata Sierra, dia langsung masuk kedalam mobil milik Zane.

Zane tersenyum sinis, dia bisa menaklukan seorang perempuan yang keras kepala seperti Sierra.

Di dalam mobil, keduanya hening, tanpa mengeluarkan suara, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.

Tapi, suara tembakan dari arah luar, membuyarkan lamunan mereka.

"Cih, sial.. Mereka benar-benar bajingan!" gumam Zane kesal.

"Siapa mereka?" tanya Sierra, tapi tidak ada raut wajah panik.

"Kamu diam, dan jangan keluar dari mobil," ucap Zane.

Sierra hanya mengangguk, Sierra melihat kearah Zane..

"Siapa pria itu, kenapa aku seperti pernah bertemu," batin Sierra, matanya tidak lepas dari sosok Zane.

Tapi, Sierra tidak tega melihat Zane melawan beberapa orang asing itu, Sierra keluar dari mobil, tapi sebelum dia benar-benar keluar, Sierra membawa satu pistol yang tergeletak dibawah tempat duduknya.

"Dor"

"Dor.."

Sierra berhasil melumpuhkan musuh Zane, yang akan melukai dirinya.

Zane cukup kaget dengan apa yang Sierra lakukan, dia tidak menyangka kalo Sierra mempunyai kemampuan menembak musuh dengan tepat, dan cepat.

"Ayo cepat masuk kedalam mobil, sepertinya mereka membawa rombongan lain," kata Sierra, dia menarik Zane, masuk ke dalam mobil.

Zane langsung bergegas, meninggalkan tempat tersebut, bukannya dia tidak mampu melawan musuhnya, tapi karena dia sedang bersama Sierra, perempuan asing.

"Tembakanmu tepat sasaran, kamu belajar dimana?" tanya Zane penasaran.

"Aku tidak belajar, mungkin tadi cuman reflek saja," jawab Sierra.

Zane hanya mengangguk, belum tepat waktunya untuk menanyakan masalah pribadi Sierra.

 Akhirnya keduanya sampai di depan rumah Sierra, rumah minimalis impian Sierra sedari dia kuliah.

"Terima kasih sudah mengantarkan saya pulang dengan selamat," ucap Sierra tersenyum.

Zane mengangguk, dia tersenyum menatap Sierra.

Lalu, Sierra berpamitan, dia akan masuk ke dalam rumah, tapi..

"Tunggu."

Sierra membalikan tubuhnya, lalu menatap Zane.

"Mungkin lucu rasanya, kalo kita tidak berkenalan," ujar Zane.

"Xavier Zane Alveric.."

Dia tersenyum, mengulurkan tangannya kearah Sierra.

Lalu, Sierra menerima uluran tangan Zane.

"Queen Nara Sierra."

"Semoga kita bertemu kembali, esok, lusa, atau selamanya kita akan terikat," ujar Zane tersenyum menyeringai.

Sierra hanya menjawab dengan senyuman, tanpa menjawab ucapan Zane.

"Dia benar-benar perempuan beda," batin Zane.

Setelah memastilan Sierra masuk kedalam rumah, baru Zane meninggalkan Sierra.

***

Sedangkan disisi lain..

"Dasar anak kurang ajar, Lo selalu mempermalukan keluarga ini!.."

"Alleta yang malang," batin wanita itu, dengan sinis.

"Cukup bu, jangan menyiksa aku terus," ucap Alleta, memohon kepada sang ibu tiri, yang selalu menyiksa dirinya.

Setelah ibunya meninggal, beberapa tahun yang lalu, serangan jantung karena mengetahui sang suami berselingkuh dengan wanita lain, sampai mempunyai anak.

"Jangan panggil saya ibu, saya bukan ibumu. Ibumu sudah mati," teriak wanita tua itu.

Setiap Alleta pulang ke rumah, pasti dia akan kena omelan atau pukulan dari ibu tiri dan adik tirinya.

Wajah Alleta sudah memar, karena mendapatkan pukulan dari wanita tua itu, Alleta tidak punya cukup tenaga melawan ibu tirinya yang jahat itu.

Sang ayah? Dia tidak membela Alleta, karena alasan tidak mau kehilangan istrinya.

"Ibu, kita usir saja dia, kenapa masih tinggal disini," ucap Karina, sang adik tiri.

"Benar kata kamu sayang, lagian dia tidak menguntungkan bagi kita!"

Karina mengangguk, dia tersenyum sinis menatap kearah Alleta.

"Segera kemasi barang-barangmu, dan tingggalkan rumah ini!"

"Aku akan pergi, tapi tidak sekarang, ini sudah malam," ucap Alleta, dia mengeluarkan suaranya meskipun takut.

 Tapi, ibu dan adik tirinya tidak mempunyai iba sedikit pun, mereka tetap kekeh dengan keputusannya.

"Ayah," ucap Alleta, dia menatap karah sang ayah, berharap akan mendapatkan belaan dari sang ayah.

"Pergi dari rumah ini, dan jangan kembali kesini, kau bukan anakku!"

"Duar"

Rasanya sesak sekalu, meskipun perlakuan sang ayah selama ini tidak baik, tapi tetap saja rasanya sesak, saat sang ayah mengatakan demikian.

"Pergi.."

***

More Chapters