Ficool

Chapter 2 - bab 1

Aku mencoba untuk membuka kedua kelopak mataku. Aku terbangun karena mendengar suara orang berbincang di ruangan ini. Tapi setelah aku membuka mataku, tidak ada siapa-siapa di sini. Mungkin mereka sudah meninggalkan ruangan ini. Lalu aku mencoba untuk menutup kedua kelopak mata ku agar aku bisa tertidur lagi. Entah kenapa aku hanya ingin tidur saat ini untuk membunuh rasa bosan karena aku hanya sendirian di sini. Sebelum tertidur, aku mendengar suara pintu ruangan ini terbuka. Aku mendengar ada suara langkah kaki memasuki ruangan ini. Sebenarnya aku tidak ingin membuka mata ku, tapi sayup-sayup aku mendengar suara seseorang menangis.

"Mom, jangan menangis, kumohon!" Ucap ku setelah aku berhasil membuka kedua mataku.

"Bagaimana aku tidak menangis?" Mom menjeda kalimatnya karena berusaha untuk menelan salivanya. Selang beberapa detik Mom kembali berbicara. "Dokter bilang kamu harus segera mendapatkan pendonor untuk jantung mu, tapi sekarang...." Mom mulai terisak lagi. "Belum ada seorang pun yang bisa mendonorkan jantungnya untuk mu." Sekarang Mom mulai menyeka air matanya menggunakan sapu tangan yang sedari tadi ia genggam.

"Semuanya akan baik-baik saja, Mom. Jangan khawatir. Aku yakin aku pasti akan sembuh, percayalah." Aku berusaha tersenyum tipis untuk menenangkan wanita yang telah melahirkanku ini. Walaupun sesungguhnya aku tidak terlalu yakin pada kondisi kesehatan ku saat ini. 

"Semua ini kesalahan Mom. Seandainya dulu Mom merawat mu dengan lebih baik, kamu pasti tidak akan jadi seperti ini. Mom terlalu memikirkan pekerjaan dari pada kamu. Mom bukanlah ibu yang baik." Mom mulai menggenggam tangan ku.

Aku dapat melihat ada rasa penyesalan pada raut wajah Mom. Ini bukanlah seratus persen kesalahan Mom. Aku juga turut andil dengan kondisi tubuh ku yang sekarang. Di saat kedua orang tua ku sibuk dengan urusan pekerjaan mereka, aku malah merusak tubuh ku karena salah pergaulan. Aku setiap hari selalu berkumpul bersama teman-teman ku yang tidak baik. Mereka mengajakku untuk menghabiskan waktu istirahat ku pada dunia malam. Alkohol, rokok dan obat-obatan terlarang menjadi kebutuhan ku. Bahkan aku selalu bergadang untuk bersenang-senang dengan teman-temanku. Dan beberapa bulan yang lalu aku mengalami kecelakaan karena pengaruh alkohol. Setelah melakukan pemeriksaan, dokter menemukan sesuatu yang salah pada jantung ku. Aku terkena penyakit jantung koroner. Dokter menyarankan agar aku segera melakukan transplantasi jantung. Tapi, siapa yang mau mendonorkan jantungnya untuk ku?

"Bagaimana keadaanmu hari ini?" Seorang perawat pria masuk kedalam ruangan ku.

Sudah lebih dari sebulan aku di rawat di Rumah Sakit ini. Aku bosan disini. Aku seperti di penjara, dengan alat-alat medis yang menempel di seluruh tubuh ku ini, aku rasanya ingin mencabut semuanya. Tapi seketika aku teringat dengan Mom, dia pasti akan sedih kalau terjadi sesuatu padaku.

"Buruk. Sepertinya aku mau mengakhiri semua ini." Ucapku asal padanya.

"Hei, kau jangan berkata seperti itu. Kau masih bernafas hingga saat ini itu karena Tuhan masih menginginkan kau untuk tetap hidup. Kau seharusnya rajin berdoa. Cobalah minta kepada Tuhan agar kau segera diberikan kesembuhan." Ceramah juru rawat ini padaku.

"Aku tidak mungkin sembuh. Hanya sebuah keajaiban yang bisa menyembuhkan ku." Jelasku padanya.

Pria ini adalah perawat yang merawat aku. Dia sering datang untuk memeriksa kondisi ku. Seperti sekarang dia sedang memeriksa tekanan darah ku menggunakan alat medis yang tidak aku ketahui namanya. Setelah menuliskan sesuatu pada sebuah catatan yang selalu ia bawa, perawat pria ini mulai berjalan ke arah infus yang tergantung di atas tempat tidurku.

"Aku percaya suatu saat pasti akan ada pendonor jantung untuk mu. Kamu harus yakin kalau mukjizat itu nyata." Dia berbicara sambil menatap wajah ku.

Aku merasa sedikit tenang saat dia mengatakan hal itu pada ku. Seketika aku sangat mengharapkan bahwa sebuah mukjizat akan datang menghampiri ku. Secara perlahan aku dan perawat pria ini menjadi akrab. Sesekali aku mencoba untuk mencari informasi tentang dirinya. Teryata dia sudah menikah. Aku merasa sedikit cemburu padanya. Karena dia tidak akan pernah merasa kesepian dirumah.

"Kenapa tidak ada jantung yang sama dengan ukuran jantung ku?" Karena penasaran maka aku bertanya kepada perawat ini. Aku pernah mendengar percakapan dokter dengan Mom yang mengatakan bahwa hasil dari jantung yang telah mereka periksa tidak cocok untuk ku.

"Apa maksud mu?" Perawat ini mulai bingung dengan pertanyaan ku.

"Aku belum melakukan transplantasi jantung karena mungkin jantung yang mereka temukan dari pendonor tidak ada yang sebesar dengan ukuran jantungku. Atau mungkin terkadang dokter menemukan jantung yang terlalu besar dari jantungku." Aku menjelaskan kepadanya. Karena selama ini hanya itu yang terlintas di kepala ku tentang kecocokan yang di butuhkan untuk ku dalam hal melakukan operasi transplantasi jantung.

Seketika dia tertawa terpingkal-pingkal, ia bahkan memegang perutnya. Aku menjadi kesal karena sikapnya itu. Bagaimana bisa dia tertawa di hadapan pasien yang sedang kritis seperti ku? Setelah puas tertawa perawat itu mulai menetralkan suaranya dengan berdehem.

"Hmm. Kamu ini sudah berusia dua puluh lima tahun, tapi kenapa kelakuan mu seperti anak kecil?" Dia berbicara sambil tersenyum geli melihatku.

"Okay, jangan tersinggung. Biar aku jelaskan. Kecocokan untuk tranplantasi organ manusia, baik itu jantung, mata, hati, ginjal, dan lainnya bukan di cocokan melalui bentuk maupun ukurannya. Kecuali untuk anak-anak, karena mereka akan terus bertumbuh. Jadi mungkin akan ada perubahan ukuran. Tapi itu tidak berlaku untuk orang dewasa. Semuanya di tes atas kecocokan golongan darahnya. Walaupun ada yang cocok, terkadang tubuh si penerima pendonor juga bisa menolak organ tersebut. Maka dari itu, saat si penerima donor organ sudah menjalani transplantasi, maka pasien itu masih harus di bawah pengawasan tim medis." Penjelasannya sungguh membuatku malu.

"Hey, bukan salahku kalau menyimpulkan hal seperti itu. Dokter tidak menjelaskan secara rinci kepadaku. Lagi pula aku kan tidak pernah belajar tentang hal-hal medis." Kataku untuk menutupi rasa malu ku.

"Dokter pasti menjelaskannya, hanya saja ia menjelaskan pada keluarga pasien. Karena apa pun hasil dari pemeriksaan yang menyangkut pasien pihak rumah sakit tetap harus berdiskusi kepada keluarga pasien." Terangnya lagi kepadaku.

Dia menyuntikkan cairan ke dalam tabung infus ku. Lalu dia menyentuh selang infus yang tergantung di atas ranjang ku. Aku tidak mengerti apa yang dia lakukan pada selang infus ku.

"Aku berharap kamu akan segera mendapatkan pendonor yang cocok. Dan kamu sudah membuka pikiran ku hari ini." Dia berbicara sambil merapikan peralatan medis yang ia bawa tadi.

"Apa maksudmu? Aku membuka pikiranmu?" Tanyaku heran. Apa karena caraku menilai kecocokan tranplantasi tadi membuatnya tersadar akan sesuatu hal?

"Ya, kau membuatku sadar akan satu hal. Bahwa banyak orang lain yang sedang menunggu mukjizat dari Tuhan." Katanya saat ia telah selesai merapikan peralatannya.

"Semua orang tahu kalau mukjizat itu datangnya dari Tuhan, lalu apa hubungan dengan membuat pikiranmu terbuka?" Tanyaku padanya yang mulai menatap ke arah tabung infus ku.

"Aku ingin memberikan kesempatan untuk hidup kepada orang lain di saat aku telah kehilangannya." Perawat itu berkata seraya tersenyum padaku, lalu berjalan keluar dari ruangan ini.

Aku masih bingung dengan ucapannya. Saat ia sedang bertugas untuk memeriksa keadaan ku seperti biasanya, aku menanyakan kepada pria itu tentang apa maksud perkataannya tempo hari. Tapi dia tidak pernah memberikan penjelasan kepada ku. Dia hanya mengatakan 'lupakanlah saja tentang hal itu' dan itu membuat ku kesal.

#Bersambung#

More Chapters