Ficool

Chapter 1 - Tinta Merah di Atas Mimpi

"Terlalu puitis, tidak realistis."

Dua frasa itu, diucapkan dengan nada bariton yang datar dan dingin, terasa lebih menusuk daripada pisau. Suara itu milik Revan Wijoyo, pria yang duduk di ujung meja rapat, matanya yang tajam menatap lurus ke arah Serena seolah ia adalah masalah matematika yang menjengkelkan. Di layar monitor raksasa, garis merah tebal mencoret tepat di jantung desain yang telah Serena rawat seperti bayinya sendiri selama tiga bulan terakhir. Mahakaryanya, sebuah menara apartemen ramah lingkungan bernama "Oase Hijau", kini ternoda oleh coretan digital berwarna merah darah.

Serena merasakan puluhan pasang mata di ruangan itu tertuju padanya, namun tidak ada yang benar-benar menatapnya. Mereka menatap kursi, meja, atau ujung sepatu mereka sendiri. Sebuah simpati bisu yang tidak berguna. Pak Budi, arsitek senior yang duduk di sebelahnya, bahkan sedikit meringis seolah ikut merasakan sakitnya. Revan memiliki efek seperti itu pada orang-orang—kemampuannya untuk membuat sebuah ruangan penuh profesional berpengalaman terasa seperti sekumpulan murid sekolah yang takut dihukum.

"Klien kita, Pak Wijoyo, butuh bangunan yang menghasilkan uang, bukan monumen untuk menyelamatkan pohon," lanjut Revan, nadanya tidak berubah sedikit pun. Ia bahkan tidak memanggil Serena dengan namanya, seolah ia hanyalah perpanjangan tangan dari proyek yang gagal. "Konsep taman vertikal di setiap tiga lantai akan membengkakkan biaya perawatan. Sistem daur ulang air hujanmu terlalu kompleks untuk implementasi skala besar. Ulangi semuanya dari awal. Saya mau lihat konsep baru yang lebih komersial di meja saya besok pagi."

Besok pagi. Kata-kata itu menggantung di udara, terasa absurd dan kejam. Amarah panas bergejolak di dada Serena, bercampur dengan rasa lelah yang menusuk tulang dan keputusasaan yang dingin. Ia ingin membantah, mengeluarkan semua data riset yang mendukung gagasannya, meneriakkan bahwa visinya bukan sekadar "puitis" tapi juga sebuah solusi untuk masa depan kota ini. Namun, ia tahu itu sia-sia. Berdebat dengan Revan Wijoyo sama seperti mencoba melunakkan baja dengan tangan kosong.

Jadi, yang keluar dari mulutnya hanyalah dua kata lirih yang terasa seperti pengkhianatan pada dirinya sendiri, "Baik, Pak."

Malam itu, kantor di lantai tiga puluh terasa seperti sebuah kapal hantu yang berlayar di lautan cahaya Jakarta. Hanya Serena yang tersisa, ditemani dengung server yang monoton dan aroma kopi basi dari cangkir ketiga yang diseduhnya. Dari jendela kaca raksasa, ia bisa melihat kerlip lampu kota yang tak pernah tidur, sebuah pemandangan yang biasanya memberinya inspirasi, namun malam ini justru terasa mengejek kesendiriannya.

Jari-jarinya bergerak lamban di atas tablet gambar, mencoba memanggil kembali percikan kreativitas yang tadi siang telah dipadamkan secara brutal. Mengapa Revan begitu anti-pati pada setiap ide yang memiliki jiwa? Serena tahu ia bukan arsitek kemarin sore. Karyanya punya dasar yang kuat. Tapi di bawah tatapan dingin Revan, semua gagasannya seolah menguap menjadi angan-angan kekanakan.

Pukul sebelas malam, saat matanya sudah perih dan otaknya terasa buntu, sebuah notifikasi email muncul di layarnya. Pengirimnya: Revan Wijoyo. Judulnya: "Referensi Proyek."

Jantung Serena berdebar sedikit lebih cepat, mengantisipasi rentetan kritik lanjutan. Dengan napas tertahan, ia membuka email itu. Isinya bukan caci maki atau daftar tuntutan baru. Hanya ada satu baris kalimat pendek: "Pelajari ini," dan sebuah tautan di bawahnya.

Tautan itu membawanya ke sebuah portal berita arsip dari tujuh tahun yang lalu. Judul beritanya terpampang besar-besar: "Jembatan Harapan Ambruk, Mimpi Warga Desa Terkubur." Serena membaca artikel itu dengan napas tercekat. Berita itu mengulas sebuah proyek jembatan ambisius di daerah terpencil yang runtuh beberapa minggu sebelum diresmikan karena kesalahan perhitungan struktur akibat kondisi tanah yang labil. Proyek filantropi itu dipimpin oleh seorang arsitek muda yang namanya membuat Serena terdiam.

Revan Wijoyo.

Jadi, di balik fasad sedingin es dan logika tanpa kompromi itu, ada hantu kegagalan. Sebuah trauma dari niat baik yang berakhir menjadi bencana. Rasa benci Serena yang tadinya membara, perlahan mendingin, digantikan oleh sesuatu yang baru dan membingungkan. Sesuatu yang terasa seperti... pemahaman. Ia sekarang mengerti mengapa Revan sangat membenci "puisi" dalam arsitektur. Pria itu pernah mencoba membangun sebuah puisi dari baja dan beton, dan puisi itu runtuh di depan matanya.

Tepat saat ia merenungkan hal itu, ponselnya bergetar hebat di atas meja. Sebuah pesan grup masuk dari kepala divisi, ditujukan ke seluruh tim inti "Oase Hijau". Huruf-huruf kapital di dalamnya seolah melompat dari layar dan menampar wajah Serena.

"PERUBAHAN MENDADAK. KLIEN MEMPERCEPAT JADWAL. PRESENTASI FINAL HARUS SIAP DALAM 48 JAM. REVAN DAN SERENA AKAN MENJADI KETUA BERSAMA. GAGAL BERARTI PROYEK BATAL DAN KONTRAK DENGAN KLIEN DIPUTUS."

Serena membaca pesan itu tiga kali. Matanya terpaku pada namanya yang bersanding dengan nama Revan. Ketua bersama? Dengan pria yang baru saja menghancurkan hasil kerjanya? Dalam tenggat waktu yang mustahil? Ia mengangkat wajahnya, menatap nanar ke arah pintu kaca ruangan Revan di ujung koridor. Lampunya ternyata masih menyala. Ini bukan lagi sekadar pekerjaan.

Ini adalah misi bunuh diri yang dirancang dengan sempurna.

More Chapters