Malam itu, kota perbatasan terbakar habis. Api menjilat langit, menelan rumah, istal, dan tubuh-tubuh yang tak lagi bergerak.
Asap hitam menutup bintang, menyisakan langit merah darah.
Di tengah kobaran itu, seorang prajurit muda melangkah sendirian.
Pedang di tangannya meneteskan darah segar, menetes ke tanah yang sudah basah oleh genangan merah.
Dialah Kael Varin.
Tidak ada ketakutan di wajahnya, hanya tatapan dingin yang kosong.
Prajurit lain di belakangnya berbisik, suaranya nyaris tertelan kobaran api.
"Dia… tidak normal."
"Kenapa dia tidak gentar sama sekali?"
Kael tidak peduli. Dia maju, menembus kerumunan musuh seorang diri.
Setiap ayunan pedangnya merobek daging, setiap tebasannya mengakhiri hidup. Tak ada belas kasihan. Tak ada keraguan.
Musuh yang melihatnya bergidik ngeri. Mereka berbisik seolah sedang menyaksikan iblis yang menyamar sebagai manusia.
Namun Kael terus bergerak, maju, dan maju, hingga tubuhnya dipenuhi noda darah yang bukan miliknya.
Di kejauhan, api memantulkan bayangan istana musuh yang masih berdiri tegak. Kael berhenti sejenak, menatapnya.
Senyum tipis terukir di wajahnya—senyum yang tak pantas muncul di medan perang.
"Suatu hari… semuanya akan runtuh. Dan aku akan berdiri di atas abu mereka."
Saat kata-kata itu terucap, sebuah bisikan gelap menyusup ke telinganya.
Bukan suara manusia. Bukan pula suara hati nuraninya.
"Bunuh lebih banyak… bakarlah semua… Aku akan memberimu kekuatan."
Kael menutup mata, membiarkan suara itu menyatu dalam pikirannya.
Dan untuk pertama kalinya, dia menjawab bukan dengan pedang, tapi dengan kata-kata.
"Aku mendengar-Mu."