Malam telah merayap dengan sunyi nya, menyelimuti desa Sunyi dengan jubah gelap penuh rahasia. Kabut tipis turun perlahan, menyelimuti bumi dengan dingin yang menusuk tulang. Di sela-sela ranting dan dedaunan rimbun hutan kecil yang menjadi tempat persembunyian sementara, seorang pemuda berjubah sederhana duduk bersila di atas batu besar yang terhampar di tepi sungai. Cahaya rembulan yang redup menembus celah-celah pohon, menoreh pola berkelap-kelip di wajahnya yang penuh tekad namun jelas menunjukkan bekas kelelahan.
Li Chen menarik napas panjang, merasakan hembusan hawa malam yang segar masuk ke paru-parunya, mencoba menenangkan denyut jantung yang masih berdebar kencang akibat pertempuran beberapa hari lalu. Di tangannya, batu pusaka ibu yang berpendar lemah memancarkan aura hangat, seolah ikut menenangkannya. Meski pesan dari Master Yun begitu jelas: "Qi mengalir lembut, bukan dipaksa," pikiran Li Chen tetap dipenuhi oleh ketakutan akan ancaman Sekte Hitam yang tidak pernah jauh.
Guru kultivasi tua itu duduk berjarak beberapa langkah, matanya yang tajam penuh kebijaksanaan terus mengawasi dengan penuh perhatian. Suaranya lembut namun bergetar dengan kepastian, membelah sunyi nya malam, "Li Chen, kau harus memahami bahwa setiap getaran Qi tidak berbeda dengan aliran sungai yang lembut namun tak terhentikan. Jika kau memaksakan aliran, Qi akan terbuang sia-sia atau bahkan menyakitimu sendiri."
Li Chen mengangguk, membuka matanya yang memancarkan tekad membara, "Aku mengerti, Master Yun. Namun, bagaimana aku bisa menghilangkan rasa takut ini? Ancaman mereka terasa begitu nyata."
Master Yun tersenyum tipis, wajahnya memancarkan kehangatan, "Takut itu wajar, anak muda. Namun ketakutan harus diubah menjadi bahan bakar untuk melangkah maju. Ingat, kekuatan terbesar bukan hanya datang dari Qi dalam tubuhmu, tapi juga dari ikatan dan kepercayaan yang kau rajut dengan orang-orang di sekitarmu. Tak ada yang bisa bertahan sendiri dalam dunia yang kejam ini."
Seketika, dari balik semak-semak, langkah kaki lembut terdengar mendekat. Seorang gadis muda dengan jubah berwarna biru gelap melangkah keluar, wajahnya bersinar penuh keberanian dan keteguhan hati. Matanya yang cerah menatap Li Chen dengan rasa empati dan keberanian yang tulus.
"Aku mendengar suara pertempuran beberapa hari yang lalu, Li Chen," ucapnya dengan suara lembut namun tegas. "Aku Xia Mei, dan aku takkan membiarkanmu menghadapi bahaya sendirian."
Li Chen terkejut, namun senyum kecil terukir di bibirnya. Perasaan hangat mengalir dalam dadanya, seolah keberadaan Xia Mei menjadi cahaya di tengah gelap yang melingkupi hidupnya. "Terima kasih, Xia Mei. Jalan yang akan kutempuh penuh dengan luka dan rintangan, aku benar-benar butuh rekan seperjalanan."
Keduanya duduk bersama di tepi sungai, membiarkan gemericik air mengisi keheningan sejenak. Mereka saling berbagi cerita, tentang kehidupan sunyi di desa kecil, mimpi-mimpi dan gelora kegiatan dalam jiwa mereka yang jauh melampaui batas sunyi desa. Saat itulah, di detik-detik yang sederhana namun berharga itu, benih ikatan persahabatan mulai tumbuh. Persahabatan yang akan menjadi pilar kekuatan, fondasi yang sanggup menopang hati yang rapuh dalam menghadapi segala badai yang akan datang.
Namun di atas mereka, kegelapan langit terasa seperti menyimpan sebuah rahasia yang tak ingin terungkap. Bayangan hitam bergerak cepat di antara pepohonan gelap, membawa kabar bahwa Sekte Hitam belum melupakan Li Chen—bahkan, mereka tengah merencanakan langkah selanjutnya yang akan membuat bumi di bawah langit ini bergetar.
Li Chen membuka matanya lebar-lebar, menyadari perjuangannya baru saja dimulai. Dunia yang ia kenal tadi tampak jauh berubah; setiap langkah yang diambil, setiap tarikan napas yang dihembuskan kini berisi janji pertempuran, kemenangan, dan yang terpenting, harapan akan keabadian.
Dada Li Chen berdebar bukan hanya karena ketakutan, tapi karena tekad yang semakin kuat tak tertandingi. Ia tahu, di dunia kultivasi yang keras ini, hanya mereka yang berani dan kuat yang akan meninggalkan jejak abadi.