Ficool

Rahasia Cinta di Bangku Belakang

KotaGGSegeraHadir
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
99
Views
VIEW MORE

Chapter 1 - Rahasia Cinta di Bangku Belakang

Bab 1: Kursi Kosong

Hari pertama masuk sekolah setelah libur panjang selalu penuh kejutan. Siswa-siswi kelas XI KOTAGG berlarian masuk ke kelas, berebut tempat duduk favorit mereka.

Di sudut belakang, Alya—siswi pendiam yang lebih suka mengamati daripada ikut ramai—sudah duduk manis dengan buku catatan di tangannya. Ia selalu memilih bangku belakang, jauh dari sorotan guru, dan lebih nyaman mengamati dunia dari kejauhan.

Namun pagi itu, sesuatu berbeda. Bangku kosong di sebelahnya tiba-tiba terisi oleh seseorang yang tak pernah ia bayangkan.

"Sorry, aku duduk sini ya. Depan udah penuh semua," suara berat itu terdengar.

Alya menoleh, jantungnya berdetak lebih cepat. Rian—cowok populer di kelas, jago basket, sekaligus terkenal karena senyumnya yang bisa bikin cewek-cewek heboh—duduk santai di sebelahnya.

Alya buru-buru menunduk, pura-pura membaca bukunya. Kenapa harus dia? pikirnya panik.

Hari itu pelajaran terasa berjalan lebih cepat dari biasanya. Setiap kali guru memanggil nama Rian, otomatis semua kepala menoleh, termasuk Alya. Tapi berbeda dengan cewek-cewek lain yang terang-terangan mengagumi, Alya hanya bisa melirik diam-diam dari sudut matanya.

Dan yang mengejutkan, beberapa kali Rian ketahuan sedang menatapnya.

"Kenapa kamu selalu serius banget?" tanya Rian saat jam istirahat, sambil menyenderkan badan ke kursi.

Alya tersentak. "A-apa?"

Rian tersenyum tipis. "Kamu. Dari tadi nunduk terus. Nggak capek?"

Pipinya memanas. Ia ingin menjawab, tapi lidahnya kelu. Untung bel masuk berbunyi, menyelamatkannya dari rasa malu.

Namun sejak saat itu, Alya sadar satu hal:Bangku belakang yang dulu terasa sunyi, kini menyimpan rahasia kecil—sebuah rahasia yang bisa saja mengubah seluruh hidupnya.

Bab 2: Percakapan yang Tak Terduga

Hari-hari berikutnya berjalan lebih ramai bagi Alya. Sejak Rian duduk di sebelahnya, bangku belakang tak pernah lagi terasa sunyi.

"Pinjem pensil, dong," ucap Rian suatu pagi.

Alya mengangkat wajahnya, sedikit bingung. "Lupa bawa?"

Rian terkekeh. "Biasa. Aku kan nggak serajin kamu."

Dengan ragu, Alya menyerahkan pensilnya. Saat jari mereka bersentuhan, jantungnya berdetak kencang. Kenapa aku jadi deg-degan begini?

Pelajaran demi pelajaran lewat, dan entah bagaimana, Rian selalu saja mencari cara untuk berbicara dengan Alya.

"Alya, kamu ngerti soal ini?""Alya, kamu nulis catatan nggak? Boleh aku lihat?""Alya, kalau istirahat biasanya makan di mana?"

Awalnya Alya merasa canggung. Ia bukan tipe yang suka jadi pusat perhatian, apalagi berbicara dengan cowok populer seperti Rian. Tapi semakin lama, ia mulai terbiasa. Bahkan tanpa sadar, ia menanti-nantikan momen ketika Rian akan menyapanya lagi.

Suatu sore setelah jam olahraga, Rian kembali ke kelas lebih dulu. Keringat masih menempel di dahinya, seragamnya agak kusut, tapi senyum santainya tetap sama.

"Alya," panggilnya pelan.

Alya yang sedang merapikan buku menoleh. "Hm?"

"Kenapa kamu selalu duduk di belakang? Biar bisa sembunyi dari guru?" tanyanya sambil duduk malas.

Alya tersenyum tipis, lalu menjawab lirih, "Aku suka lihat semuanya dari jauh. Rasanya lebih aman."

Rian menatapnya cukup lama, lalu mengangguk. "Unik, ya. Kebanyakan orang pengen diperhatiin. Tapi kamu… malah pengen nggak kelihatan."

Alya menunduk, pipinya hangat. Ia tak menyangka Rian memperhatikan hal kecil itu.

Di saat itulah, Alya mulai sadar: rasa kagum yang dulu hanya sebatas "cowok populer di kelas" kini berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam.

Bangku belakang bukan lagi tempat untuk bersembunyi, tapi tempat di mana hatinya perlahan mulai terbuka.

Bab 3: Gosip yang Mengguncang

Hari itu kelas XI KOTAGG lebih ramai dari biasanya. Alya baru saja duduk ketika sahabatnya, Dina, tiba-tiba menyenggolnya sambil berbisik.

"Nad, kamu sadar nggak? Semua orang lagi ngomongin kamu sama Rian."

Alya membelalakkan mata. "Hah? Ngomongin apa?"

Dina tersenyum geli. "Ya… sejak dia pindah duduk sebelahmu, kalian tuh kelihatan akrab banget. Katanya sih, 'bangku belakang sekarang jadi kursi pasangan.'"

Pipi Alya langsung panas. Ia buru-buru menunduk, tapi telinganya tetap menangkap bisik-bisik dari teman sekelas.

"Eh, lihat deh, Rian sama Alya lagi ngobrol lagi tuh.""Cieee, yang katanya pendiem ternyata bisa luluhin Rian.""Fix, bakal jadian sebentar lagi!"

Alya merasa kepalanya berat. Kenapa gosip bisa muncul secepat ini?

Saat itu, Rian baru masuk kelas setelah dipanggil guru. Ia berjalan santai ke bangkunya, lalu mendapati Alya menunduk dalam.

"Kamu kenapa?" tanyanya.

Alya menggigit bibir. "Mereka… lagi gosipin kita."

Rian hanya terdiam sejenak, lalu mengangkat bahu. "Biarin aja. Kalau mereka ngomong, berarti mereka punya waktu buat mikirin kita."

Alya mendongak, kaget dengan jawabannya. "Kamu nggak malu?"

Rian tersenyum santai. "Malu kenapa? Emangnya aku salah kalau sering ngobrol sama kamu?"

Kalimat itu sederhana, tapi cukup untuk membuat hati Alya bergetar hebat.

Namun gosip itu tidak berhenti. Justru semakin hari, semakin banyak teman yang menggoda mereka terang-terangan.

Saat jam istirahat, beberapa cowok menggoda Rian."Eh, kalau nanti jadian, traktir kita, ya!""Rian, jangan lupa undang kita ke resepsi!"

Rian hanya tertawa, menepuk bahu mereka tanpa membantah. Tapi Nadia? Ia hanya bisa menunduk, hatinya penuh rasa panik bercampur bahagia.

Kalau gosip ini makin besar… apa Rian akan tetap duduk di sampingku?

Bab 4: Menjauh, tapi Ditahan

Sejak gosip mulai merebak, Alya merasa semakin tidak nyaman. Ia mulai berusaha menjaga jarak. Kalau biasanya ia dan Rian pulang bersamaan, kali ini Alya memilih cepat-cepat keluar kelas lebih dulu. Kalau biasanya ia mau meminjamkan catatan, kini ia pura-pura sibuk agar tidak terlalu banyak berinteraksi.

Namun semua itu tidak luput dari perhatian Rian.

"Kenapa kamu berubah?" tanyanya suatu siang ketika kelas sepi.

Alya menunduk, pura-pura sibuk merapikan bukunya. "Aku nggak berubah kok. Aku cuma… nggak mau orang-orang salah paham."

Rian menyilangkan tangan, menatapnya lekat. "Kamu takut sama gosip?"

Alya terdiam, lalu mengangguk pelan. "Iya. Aku nggak mau jadi bahan omongan. Aku… nggak terbiasa diperhatiin."

Beberapa detik hening. Lalu tiba-tiba, Rian mencondongkan tubuhnya ke arah Alya, cukup dekat hingga membuat gadis itu terkejut.

"Kalau aku nggak peduli sama gosip itu, kenapa kamu harus peduli?" suaranya tenang, tapi tegas.

Alya membelalakkan mata. "Tapi—"

Rian memotong cepat, senyum tipis muncul di bibirnya. "Aku justru seneng duduk di samping kamu. Jadi jangan jauhin aku, ya."

Ucapan itu membuat dada Alya bergetar hebat. Ia tak tahu harus menjawab apa. Hanya bisa menunduk, mencoba menyembunyikan wajahnya yang sudah memerah.

Hari berikutnya, Alya mencoba tetap menjaga jarak, tapi sulit. Rian selalu menemukan cara untuk mendekat.

"Buku kamu jatuh, sini aku ambilin.""Kamu udah makan? Kalau belum, ayo ke kantin bareng.""Kamu ngerti soal ini kan? Jelasin ke aku, ya."

Semakin Alya mencoba menghindar, semakin pula Rian menahannya dengan sikap-sikap kecil yang penuh perhatian.

Dan tanpa sadar, di balik rasa takutnya pada gosip, Alya merasakan sesuatu yang tak bisa ia pungkiri:Mungkin… ia sebenarnya tidak ingin menjauh sama sekali.

Bab 5: Hujan di Bangku Belakang

Sore itu, hujan deras mengguyur halaman sekolah. Petir sesekali menyambar, membuat suasana sedikit mencekam. Banyak siswa sudah pulang, tapi Alya memilih menunggu hujan reda di kelas. Ia tak bawa payung, dan jalan pulang masih jauh.

Di bangku belakang, ia duduk sendiri sambil menatap jendela. Rintik hujan menari di kaca, seakan mengiringi detak jantungnya yang berdebar tanpa alasan.

Tiba-tiba pintu kelas terbuka. Rian masuk dengan seragam agak basah di bahu. Ia membawa tas dan, tentu saja, sebuah payung lipat yang tergantung di tangannya.

"Kamu belum pulang?" tanyanya.

Alya buru-buru menggeleng. "Aku nunggu hujan reda. Nggak bawa payung."

Rian berjalan ke arahnya, duduk di bangku sebelah. "Kebetulan. Aku bawa satu, tapi kalau dipakai sendiri, payungnya bakal terasa sempit. Jadi… kita bareng aja."

Wajah Alya memanas. "Aku… nggak mau merepotkan."

Rian menatapnya, kali ini lebih lembut. "Alya, aku nggak pernah anggap kamu repot."

Hening sesaat. Hanya suara hujan yang terdengar. Alya menunduk, menggenggam erat buku catatannya.

"Kenapa kamu selalu baik sama aku, Rian?" tanyanya akhirnya, suara hampir tenggelam oleh derasnya hujan.

Rian terdiam sebentar, lalu tersenyum samar. "Mungkin karena aku ngerasa… duduk di bangku belakang jadi lebih berarti sejak ada kamu."

Kata-kata itu membuat dada Alya bergetar. Jantungnya berpacu lebih cepat dari suara hujan.

Beberapa menit kemudian, hujan mulai mereda. Mereka pun berjalan keluar kelas bersama, payung kecil menaungi mereka berdua. Meski jalanan masih basah, langkah Alya terasa ringan.

Di bawah payung itu, hanya ada mereka berdua—dan rahasia kecil yang semakin sulit disembunyikan.

Bab 6: Gosip Payung

Keesokan paginya, suasana kelas XI KOTAGG berbeda. Begitu Alya masuk, beberapa pasang mata langsung menoleh ke arahnya. Ada yang berbisik, ada yang tersenyum penuh arti.

Dina langsung menarik tangannya ke kursi. "Nad! Kamu pulang sama Rian kemarin, ya? Di bawah payung lagi! Aku dengar dari anak kelas sebelah, lho."

Alya langsung pucat. "A-apa? Siapa yang bilang?"

"Semua orang ngomongin itu sejak pagi," jawab Dina sambil menahan tawa. "Kamu jadi trending topic kelas."

Sepanjang hari, bisik-bisik itu tak berhenti."Eh, romantis banget, pulang bareng satu payung.""Cocok banget, pasangan bangku belakang.""Fix, nggak mungkin cuma gosip doang."

Alya hanya bisa menunduk, wajahnya panas menahan malu. Ia ingin menjelaskan, tapi apa pun yang ia katakan pasti hanya akan menambah gosip.

Siang itu, saat jam istirahat, Rian masuk kelas dengan santai. Semua tatapan otomatis beralih ke arahnya.

"Eh, Rian, payungnya aman nggak? Jangan-jangan udah dipake berdua terus ya?" goda salah satu teman cowok.

Kelas pun meledak dengan tawa.

Rian hanya tersenyum, lalu menoleh ke arah Alya yang duduk kaku di kursinya. Tanpa ragu, ia berkata lantang,"Kenapa? Memang salah kalau aku pulang bareng Alya? Dia kan temen sebangkuku."

Hening sejenak, lalu riuh kelas makin ramai. Semua makin yakin ada sesuatu di antara mereka.

Alya makin menunduk, wajahnya hampir merah seluruhnya. Tapi di balik rasa malunya, ada sedikit kehangatan yang tak bisa ia tolak: Rian tidak berusaha menyangkal.

Sore itu, ketika kelas mulai sepi, Alya memberanikan diri bertanya."Kenapa kamu nggak bantah gosip itu?"

Rian menatapnya, lalu tersenyum tipis. "Karena aku nggak ngerasa ada yang salah. Lagian… siapa tahu gosip itu suatu hari jadi kenyataan."

Ucapan itu membuat jantung Alya seakan berhenti berdetak. Ia tak bisa berkata apa-apa, hanya bisa merasakan wajahnya semakin memanas.

Bab 7: Perlindungan di Tengah Ejekan

Sejak gosip payung menyebar, Alya semakin jadi pusat perhatian. Bukan hanya bisik-bisik, kini beberapa siswi yang diam-diam menyukai Rian mulai terang-terangan menyindir.

Suatu siang di kantin, Alya baru saja membeli makanan ketika tiga siswi menghampirinya.

"Eh, ini kan si pendiem bangku belakang," kata salah satunya dengan nada mengejek."Katanya udah jadian sama Rian ya? Kok bisa sih? Nggak level banget.""Jangan-jangan kamu cuma manfaatin gosip biar terkenal."

Alya tercekat, tangannya gemetar memegang nampan. Ia ingin membela diri, tapi suaranya seakan terkunci.

Tiba-tiba, suara tegas memecah suasana."Cukup."

Semua menoleh. Rian berdiri di belakang mereka, tatapannya dingin. Ia berjalan mendekat, lalu berdiri di samping Alya.

"Kalian salah kalau ngeremehin Alya. Dia lebih pintar dan lebih tulus dari banyak orang di kelas ini," katanya lantang. "Dan kalau kalian punya masalah sama dia, hadapi aku."

Kantin mendadak hening. Gadis-gadis yang tadi mengejek hanya bisa terdiam, wajahnya memerah malu sebelum akhirnya pergi.

Alya menunduk, hatinya berdebar kencang. "Rian… kenapa kamu—"

Rian menoleh, senyum hangat menggantikan wajah tegasnya. "Karena aku nggak tahan lihat kamu diperlakukan kayak gitu. Dari awal aku duduk di sebelah kamu, aku tahu kamu beda. Dan aku suka itu."

Wajah Alya memanas, air matanya hampir jatuh—bukan karena sedih, tapi karena lega. Selama ini ia selalu merasa bangku belakang hanyalah tempat bersembunyi. Tapi ternyata, bangku itu justru menjadi tempat di mana rahasia cintanya akhirnya terungkap.

"Rian…" suara Alya bergetar, namun kali ini ia berani menatap matanya. "Aku juga suka kamu."

Sorakan kecil terdengar dari beberapa teman yang diam-diam menyaksikan. Namun Alya tidak peduli lagi. Untuk pertama kalinya, ia berani mengucapkan perasaannya, dan untuk pertama kalinya pula, ia tahu bahwa perasaan itu terbalas.

Bangku belakang yang dulu sepi, kini menjadi saksi cinta yang lahir dari rahasia kecil—sebuah rahasia yang akhirnya tidak lagi perlu disembunyikan.