Kala itu, di sebuah taman bunga di tepi hutan roh, aku menemukan seorang wanita—tidak, seorang bidadari. Kecantikannya begitu rupawan, senyumnya menghadirkan kehangatan yang meresap jauh ke dalam hatiku. Aku gugup, tidak tahu harus berkata apa, namun dia justru memberiku sebuah bunga yang baru saja ia petik.
Kehangatannya menembus batas diriku. Dia bukan malaikat, bukan roh, bukan pula dewi. Dia hanyalah seorang manusia. Seorang wanita bernama Cynthia.
Namun, di antara kami terbentang jurang yang dalam, perbedaan yang tidak bisa dipersatukan. Aku adalah seorang dewa, sedangkan dia hanya manusia fana. Selama ini aku membenci manusia—kesombongan mereka, kerakusan mereka, sifat mereka yang haus akan harta membuatku muak. Tapi dia… berbeda.
Cynthia memiliki senyum yang tulus, hati yang murni, dan kebaikan yang tidak pernah aku temui sebelumnya. Untuk pertama kalinya, aku jatuh cinta.
Dan demi cinta itu, aku melanggar hukum dunia. Aku turun dari takhta, menyamar menjadi manusia, dan tinggal di desa tempat Cynthia berada. Aku belajar menjalani kehidupan seperti manusia biasa—menanam, memikul air, bekerja bersama penduduk desa. Semua kulakukan hanya agar bisa berada di sisinya.
Hari demi hari, aku makin dekat dengannya, hingga akhirnya cinta kami bersemi. Dan pada hari itu, kami berdiri bersama di hadapan semua orang—hari pernikahan kami.
Namun takdir begitu kejam.
Langit yang cerah tiba-tiba terbelah. Sekelompok dewa turun dari langit, menginjakkan kaki mereka di tanah fana. Dan di antara mereka… dia ada di sana. Maritus, rival lamaku saat aku masih berada di singgasana para dewa.
Aku segera meraih tubuh Cynthia, memeluknya erat, melindunginya dari tatapan dingin mereka. Tubuhku bergetar—aku sudah tahu hari ini pasti akan tiba, namun aku tidak pernah siap.
"Huh? Lucu sekali," Maritus berbicara dengan suara dingin, matanya penuh penghinaan. "Kau yang dulu membenci manusia, pada akhirnya justru mencintai mereka. Lihatlah dirimu sekarang—hina."
"Maritus… kau…" gumamku, menggenggam tangan Cynthia semakin kuat, seakan-akan hanya itu yang bisa membuatku tetap berdiri.
Aku ingin melarikan diri, membawa Cynthia sejauh mungkin. Aku membuka mulut, "Cynthia… kita harus—"
Namun sebelum sempat menyelesaikan kata-kataku, segalanya terjadi terlalu cepat.
Sebuah pedang menusuk perut Cynthia.
"CYNTHIA!!!"
Aku menjerit, mataku membelalak. Aku segera meraih tubuhnya, darah mengalir hangat di tanganku.
"Tidak… tidak… jangan tinggalkan aku…" suaraku pecah, putus asa. "Aku tidak bisa hidup tanpamu."
Dengan sisa tenaga, Cynthia tersenyum lemah. Bibirnya bergetar, membisikkan kata yang tak pernah kulupakan.
"Aku… mencintaimu…"
Dan cahaya hidupnya pun padam di pelukanku.
Hatiku hancur. Putus asa menelanku bulat-bulat. Dunia seakan runtuh di sekitarku.
Aku meraung, menatap Maritus dengan mata penuh api kebencian.
"MARITUS!!! Mengapa kau melakukannya?! Kenapa kau mengambil satu-satunya kebahagiaan yang kumiliki?! Apakah ini kepuasanmu, hah?! Jawab aku!"
Maritus tersenyum tipis. "Seoja, kau sudah tahu konsekuensi dari melanggar hukum dunia. Kau bukan lagi dewa yang layak. Kau memilih manusia… maka terimalah hukumanmu."
Aku menunduk, menatap Cynthia sekali lagi. Air mataku jatuh di wajahnya yang kini pucat. Aku tidak peduli lagi. Jika dunia ini kejam, biarlah aku hancur bersamanya.
Para dewa merenggut tubuhku, mengikat tanganku dengan rantai ilahi yang tidak bisa diputuskan. Aku tidak melawan. Tidak ada lagi alasan bagiku untuk bertahan.
Aku dibawa kembali ke takhta para dewa, berdiri di hadapan majelis surgawi. Suara mereka menggema, dingin, tak berperasaan.
"Seoja, kau telah mengkhianati hukum ilahi. Kau memilih manusia di atas derajatmu sebagai dewa. Hukumannya adalah eksekusi."
Aku menatap mereka dengan mata merah, lalu mengalihkan pandangan kepada Maritus yang berdiri di sana dengan senyum kaku.
"Maritus…" suaraku parau, penuh amarah dan kesedihan. "Suatu hari, kau akan merasakan apa yang kurasakan. Kau akan tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang kau cintai… dan saat hari itu tiba, kau akan mengerti… bahwa cintaku kepada Cynthia jauh lebih murni daripada kesombonganmu sebagai dewa."
Maritus menatapku tanpa ekspresi. "Cinta tidak berarti apa-apa di hadapan hukum dunia."
Aku tertawa getir, meski tubuhku dirundung putus asa. "Tidak… hukum dunia yang kalian agung-agungkan itu… hanyalah topeng. Yang nyata adalah cinta. Dan aku… aku akan tetap mencintainya bahkan setelah aku musnah."
Dan dengan itu, cahaya eksekusi menelanku, menghancurkan tubuhku perlahan. Namun di dalam hatiku, hanya ada satu nama yang kugenggam erat.
Cynthia.
"Maritus, kau....!" Gumam ku dengan tanpa sadar menggenggam tangan Cynthia dengan kuat sehingga Cynthia sedikit kesakitsekali""aansekali"akan. "Aku juga tidak menyangka dahulu kamu membenci manusia dan sekarang kau