Ficool

Rahasia di Balik Meja DUNIABET

Vero_5148
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
54
Views
Synopsis
Nadine Prameswari tak pernah membayangkan bahwa pekerjaannya sebagai sekretaris baru di kantor DUNIABET akan mengubah hidupnya. Dari luar, Adrian Santoso, CEO muda perusahaan itu, terlihat dingin, kaku, dan tak tersentuh. Tapi di balik tatapannya yang tajam, tersimpan rahasia kelam yang perlahan menyeret Nadine ke dalam pusaran emosi tak terduga. Di tengah tumpukan berkas, rapat panjang, dan lembur hingga larut malam, benih cinta mulai tumbuh di antara mereka. Namun, kehadiran Rey Wijaya, sahabat lama Nadine yang diam-diam mencintainya, membuat segalanya semakin rumit. Apalagi gosip kantor mulai menyebar, menguji batas profesionalitas dan perasaan mereka. Antara ambisi, cinta, dan rahasia masa lalu, Nadine harus memilih: bertahan dengan hubungan penuh risiko bersama Adrian, atau melangkah ke arah cinta yang lebih aman bersama Rey. Di balik meja DUNIABET, kisah cinta terlarang itu perlahan mekar—dengan pelukan hangat, ciuman penuh kerinduan, dan keputusan yang bisa mengubah segalanya.
VIEW MORE

Chapter 1 - Rahasia di Balik Meja DUNIABET

Hari Pertama

Pagi itu, langit Jakarta seperti menahan hujan. Awan menggantung rendah, dan kaca-kaca gedung tinggi di SCBD memantulkan warna hijau keemasan dari signage besar bertuliskan DUNIABET. Di depan lobby, taksi online berhenti pelan. Aku menarik napas panjang, merapikan blazer, dan menatap pantulan diriku di pintu otomatis.

"Nadine Prameswari," kubisikkan pada diri sendiri. "Mulai hari ini, jangan takut."

Di dalam, aroma kopi dan pendingin ruangan yang terlalu dingin menyambutku. Lantai marmer mengilap, resepsionis menyungging senyum profesional. Di sisi kanan, sebuah dinding kaca menampilkan slogan perusahaan: "Data, Determinasi, Disiplin." Entah kenapa, tiga kata itu menambah degup di dadaku.

"Selamat pagi. Ada yang bisa dibantu?" tanya resepsionis.

"Nadine. Sekretaris baru Pak Adrian Santoso."

"Silakan isi buku tamu, Mbak Nadine. ID sementara ini… dan ini akses lift privat untuk lantai dua puluh."

Lift privat. Kata-kata yang asing untukku. Saat pintu lift hampir menutup, seseorang menyelipkan tangan, menahannya. Seorang pria tinggi, rapih, dengan kemeja putih dan dasi hijau tua yang senada dengan nuansa kantor. Rahang tegas, mata tajam, ekspresi nyaris tanpa emosi.

"Naik?" tanyanya singkat.

Aku mengangguk. Pintu tertutup. Di ruang sempit itu, bunyi denting angka lantai menyelingi hening. Aku bisa merasakan parfum maskulin yang halus, seperti cedar bercampur citrus. Ketika pandanganku bertemu dengannya di kaca, aku buru-buru menunduk.

Lantai dua puluh menyambut dengan lorong panjang berkarpet, deretan ruang rapat kaca, dan open office yang modern. Seorang perempuan berkerudung pastel menghampiri dengan senyum ramah.

"Nadine?" tanyanya.

"Iya. Mbak…"

"Fitri, HR. Yuk, aku antar ke ruang CEO."

Langkah kami teratur hingga berhenti di depan pintu kaca buram bertuliskan Adrian Santoso — Chief Executive Officer. Fitri mengetuk dua kali.

"Masuk."

Suara itu—dingin, datar, tanpa celah.

Fitri membuka pintu. "Mas, ini Nadine, sekretaris baru."

Pria yang barusan satu lift denganku berdiri di balik meja kerja minimalis, memandangku singkat seperti menilai file. Jadi… Adrian Santoso. CEO DUNIABET. Orang yang selama ini hanya kudengar namanya dari artikel bisnis dan gosip LinkedIn.

"Selamat bergabung, Nadine," ucapnya. "Kau mulai hari ini. Jam sebelas ada rapat dengan tim strategi—pindahkan jadi sebelas tiga puluh. Agenda investor jam tiga tetap. Siapkan berkas onboarding vendor yang kuberi tag urgent."

Aku menelan ludah. "Baik, Pak."

"Di sini tidak ada 'Pak'. Panggil saya Adrian. Formalitas boleh, tapi efisiensi lebih penting."

"Baik, Adrian."

Matanya berhenti sejenak pada jam di pergelangan tanganku. "Kau datang tepat waktu. Pertahankan."

Fitri menepuk bahuku, lalu pamit. Pintu menutup. Dan tinggal aku, Adrian, serta detak jam dinding yang terdengar terlalu keras.

"Mejamu di luar, dekat ruang ini," katanya, kembali menatap monitor. "Kalau butuh akses apa pun, minta ke Rey, manajer IT."

"Rey… Wijaya?" refleks keluar begitu saja. Nama yang familiar. Sahabat kuliah yang lama tak kutemui.

Adrian mengangkat alis. "Kau kenal?"

"Kami pernah satu kampus."

"Bagus. Itu mempercepat koordinasi."

Aku mengangguk, mundur pelan, hendak menutup pintu. Saat itu, Adrian menambahkan—suara lebih rendah, nyaris seperti peringatan.

"Di sini, gosip beredar lebih cepat dari email. Simpan jarak seperlunya. Fokus kerja, Nadine."

"Baik."

Aku menutup pintu dan berusaha menata napas. Di meja baruku, komputer sudah menyala, email masuk berderet, kalender penuh blok warna. Kubiarkan jemariku menari di keyboard, memindahkan rapat, membalas pesan, menandai prioritas. Ada semacam kenikmatan aneh ketika semua hal yang kacau bisa ditata rapi.

Tak butuh waktu lama sampai suara yang kurindukan bertahun-tahun muncul dari belakang.

"Jangan bilang ini mimpi," ucap seseorang.

Aku menoleh. "Rey."

Dia tertawa kecil, menampakkan lesung halus di pipi kiri. Rambutnya sedikit lebih pendek dari terakhir kali kami bertemu, tapi matanya masih sama—hangat, jenaka.

"Kau beneran kerja di sini? Sekretaris Adrian? Gila, dunia sekecil itu, ya."

"Sepertinya," jawabku, ikut tersenyum. "Masih suka begadang? Kau dulu rajanya lembur."

"Sekarang lemburnya dibayar." Ia mengedip. "Butuh akses apa?"

"VPN internal dan folder vendor urgent."

"On it."

Rey duduk di kursi sebelah, mengetik cepat, menjelaskan singkat soal sistem ticketing, protokol komunikasi, hal-hal teknis yang membuatku merasa tidak terlalu tersesat. Sesekali ia melirikku, seolah memastikan aku masih baik-baik saja.

"Kau terlihat tegang," katanya setelah selesai.

"CEO-mu… menegangkan."

Rey tergelak. "Tunggu sampai kau lihat dia saat rapat. Tapi, percaya deh, dia adil. Kalau kau kerja cepat dan tepat, dia bakal jadi tamengmu."

Entah kenapa, kalimat itu menenangkan.

Pukul sebelas tiga puluh, ruang rapat kaca penuh. Adrian memulai tanpa basa-basi. Suaranya tenang, matanya bergeser dari satu slide ke slide lain. Data penjualan, proyeksi, timeline kampanye. Sesekali ia melempar pertanyaan tajam, dan setiap kepala menunduk menyiapkan jawaban.

Di menit ke empat puluh, alarm ponselku bergetar. Pengingat: berkas vendor urgent harus ada di mejanya sebelum rapat dengan investor. Aku berdiri pelan, melangkah keluar, bergegas ke printer di sisi lain open office. Di tengah jalan, tumpukan berkas di pelukanku bergeser.

"Nadine, hati-hati!" seru seseorang dari pantry.

Terlambat. Satu map terlepas, kertas-kertas berhamburan.

Aku reflek berjongkok, mengumpulkan lembaran—tangan gemetar. Dari balik kaca, aku bisa merasakan tatapannya. Adrian. Tentu saja dia memperhatikan. Jantungku makin tak karuan. Saat aku berdiri, sepatu hakku menyenggol tepi karpet, tubuhku limbung.

Sebuah lengan kuat menahan siku, lalu punggungku bersandar pada dada seseorang. Hangat. Kokoh.

"Aku pegang," suara itu rendah.

Adrian.

Untuk sepersekian detik, dunia mengecil. Nafasku terdengar terlalu dekat dengan napasnya. Aroma parfumnya kembali menyergap, lebih tajam. Ia berdiri di belakangku, satu lengan melingkari pinggangku untuk menstabilkan, satu lagi mengambil tumpukan berkas dari tanganku.

Pelukan singkat itu terjadi begitu saja—instingtif, efisien, tapi menimbulkan gelombang aneh di dadaku. Saat ia melepaskan, aku memalingkan wajah terlalu cepat. Dagu kami beradu ringan, dan bibirku—Tuhan—menyentuh garis rahangnya sekilas. Hanya sekelebat, seperti sentuhan sayap kupu-kupu. Tapi cukup untuk membuat pipiku panas.

"Maaf," bisikku.

Wajahnya sulit terbaca. "Fokus. Bawa berkasnya ke ruang saya."

Aku mengangguk, tak berani menatapnya lebih lama. Di sekitar, beberapa karyawan pura-pura tak melihat, tapi aku bisa merasakan sorot mata penasaran menempel di punggungku.

Ruang kerja Adrian senyap saat aku masuk. Kutaruh map di meja, merapikan posisi, berusaha tidak memikirkan pelukan tadi.

"Duduk," katanya, menunjuk kursi seberang.

Aku menurut.

Ia membalik halaman, membaca cepat. "Kau pindahkan rapat dengan strategi tepat tiga puluh menit. Bagus. Vendor ini—kau sudah verifikasi legal dokumennya?"

"Sudah. Ada dua catatan kecil di lampiran. Mereka setuju perbaikan."

Ia mengangguk, menutup map. "Kau belajar cepat."

"Terima kasih."

Adrian bersandar, menautkan jari. "Dengarkan baik-baik, Nadine. Di DUNIABET, kita bergerak seperti mesin presisi. Setiap detik berharga. Kesalahan kecil bisa jadi besar kalau dibiarkan. Tapi aku tidak menghukum orang yang belajar."

Ada jeda. Matanya menatap lurus, meneliti, seakan ingin memastikan kata-katanya masuk ke bawah kulit.

"Tentang insiden di luar," lanjutnya datar, "jangan biarkan itu jadi bahan pembicaraan."

"Baik."

"Dan… jangan jatuh lagi."

Aku hampir tersenyum. "Akan kucoba."

Ia berdiri, nyaris seperti hendak mengakhiri pertemuan. Tapi takdir—atau kebodohanku—memilih momen lain untuk mempermainkan kami. Saat aku bangkit membawa map cadangan, salah satu kertas menyelip, jatuh di sisi meja. Aku merunduk di saat yang sama ketika Adrian melangkah mendekat untuk mengambilnya. Gerak kami bertabrakan—dan kali ini, bukan rahangnya. Bibir kami bersentuhan.

Seketika waktu berhenti.

Ciuman itu bukan ciuman sungguhan; lebih tepatnya benturan lembut yang terlalu dekat, terlalu sunyi, terlalu mengejutkan. Aku terpaku, begitu pula dia. Hanya sepersekian detik—lalu kami sama-sama menjauh, menahan napas.

"Maaf," ucapku lagi, suara nyaris hilang.

Wajah Adrian tetap tenang, tapi ada sesuatu di matanya—retakan kecil di permukaan es. "Itu… kecelakaan," katanya pelan. "Lupakan."

Aku mengangguk terlalu cepat. "Ya. Lupakan."

Ia berdehem, mengambil map, mengembalikan ketegasannya. "Kembali ke meja. Kirimkan notulen rapat barusan ke semua peserta. Pastikan highlight jelas."

"Siap."

Aku melangkah ke pintu, berhenti sejenak, menoleh. Adrian sudah kembali ke monitor, tapi jemarinya terhenti di atas keyboard, seperti menimbang sesuatu yang tak jadi ia katakan.

Di luar, gemuruh obrolan kantor kembali menelanku. Rey muncul dari arah pantry, membawa dua gelas kertas.

"Kopi untuk sekretaris paling sibuk di lantai ini," ujarnya, menyerahkan satu padaku. "Kau kelihatan… merah. Kamu baik-baik aja?"

Aku mengangkat gelas, menutupi pipi. "AC-nya terlalu dingin."

"Bukan dingin, itu gugup." Ia tertawa ringan. "Santai. Hari pertama memang selalu terasa seperti roller-coaster."

"Rey," panggilku sebelum ia pergi. "Terima kasih."

"Untuk kopi?"

"Untuk… tetap jadi orang yang membuat semuanya terasa lebih mudah."

Rey menatapku sejenak, senyum menipis—hangat tapi menyimpan sesuatu. "Selalu."

Ia berlalu, dan aku memandangi punggungnya. Di balik kaca ruang CEO, bayangan Adrian bergerak seperti sosok dalam akuarium: jauh tapi memikat, dingin tapi—anehnya—memberi rasa aman yang belum kumengerti.

Di ponselku, notifikasi masuk dari nomor tak tersimpan: Unknown

Jangan lupa kunci berkas fisik di laci. Dan makan siang. Sekretaris yang pingsan tidak akan membantu siapa pun. —A

Aku menatap layar, bibirku tanpa sadar membentuk senyum kecil. Lalu kuhela napas, menengadah pada langit-langit putih yang memantulkan cahaya hijau keemasan dari logo perusahaan.

Hari pertamaku di DUNIABET baru setengah berjalan, dan sudah ada dua hal yang tak mungkin kulupakan: pelukan singkat yang terasa terlalu nyata… dan ciuman kecelakaan yang mungkin takkan pernah bisa benar-benar disebut kecelakaan.

Jam di dinding kantor menunjukkan pukul delapan malam. Sebagian besar karyawan sudah pulang, menyisakan hanya beberapa meja dengan monitor yang masih menyala. Lampu-lampu ruang kerja terbagi; sebagian redup, menyisakan cahaya hangat dari ruang rapat dan koridor.

Aku masih duduk di kursiku, menatap lembaran notulen yang harus kukirim malam ini. Kopi Rey sudah dingin, kertas bertumpuk di meja, dan mataku terasa berat.

"Masih di sini?" suara berat itu muncul di belakangku.

Aku menoleh. Adrian berdiri di ambang pintu ruangannya, jas sudah dilepas, hanya kemeja putih dengan lengan digulung sampai siku. Rambutnya sedikit acak, dan entah bagaimana, wajahnya terlihat lebih manusiawi tanpa formalitas siang tadi.

"Notulen rapat sore tadi belum rampung," jawabku.

Ia berjalan mendekat, melihat layar laptopku. "Detail. Rapi. Tapi… terlalu kaku. Jangan tulis kata-kata seperti robot. Investor lebih suka ringkasan yang hidup."

Aku menatapnya. "Hidup?"

Sudut bibirnya terangkat tipis. "Coba ganti kalimat ini." Jemarinya menunjuk layar, nyaris menyentuh tanganku. "Bukan 'strategi jangka panjang diproyeksikan meningkat', tapi 'proyeksi pertumbuhan stabil hingga kuartal berikutnya.' Lebih natural."

Aku mengangguk, mengetik ulang. Saat ia masih berdiri di sebelahku, aku bisa merasakan kehangatan tubuhnya meski tak bersentuhan. Jantungku mulai tak karuan.

"Ada kemajuan," katanya. Lalu, seolah sadar jarak kami terlalu dekat, ia mundur setapak. "Kirim sebelum jam sembilan."

"Baik."

Ia hendak kembali ke ruangannya, tapi tiba-tiba lampu open office berkedip dua kali. Lalu mati.

Gelap.

Aku terlonjak. "Listrik padam?"

Dari jauh, generator darurat menyala, tapi hanya menyalakan sebagian lorong dan lift. Open office tetap gelap. Hanya cahaya samar dari jendela kota Jakarta yang menembus kaca.

"Jangan panik." Suara Adrian terdengar tenang. "Aku tahu jalan ke pantry. Ada emergency light di sana."

Aku mengikuti langkahnya, meniti lorong gelap. Suara detak sepatu kami terdengar lebih jelas daripada biasanya. Aku merasakan degup jantungku makin keras setiap kali kami nyaris bersentuhan.

Sampai akhirnya, cahaya redup dari pantry menyambut kami. Emergency light kecil memantulkan warna hijau pucat di dinding.

Adrian membuka kulkas, mengeluarkan sebotol air mineral, lalu menyerahkannya padaku. "Minum. Wajahmu pucat."

Aku menerimanya, tangan kami hampir bersentuhan. "Aku baik-baik saja… hanya tidak suka gelap."

Ia menatapku sejenak, lalu tanpa banyak kata, meraih sisi lengan bajuku dan menarikku duduk di kursi pantry. "Gelap tidak berbahaya. Pikiranmu sendiri yang membuatnya menakutkan."

Aku ingin tertawa, tapi suaranya begitu serius. "Kau bicara seperti psikolog."

"Tidak. Hanya seseorang yang pernah melewati masa sulit."

Aku menoleh. Cahaya hijau samar membuat garis wajahnya terlihat lebih lembut, matanya redup tapi penuh rahasia. Untuk pertama kalinya, aku melihat sisi rapuh dari pria yang selalu terlihat dingin itu.

"Apa yang kau takutkan, Adrian?" pertanyaanku lolos begitu saja.

Ia terdiam lama. Hanya bunyi pendingin kulkas yang terdengar. Lalu ia menjawab, lirih: "Kehilangan orang yang sudah aku lindungi dengan segenap tenaga."

Aku menahan napas. Ada luka yang dalam di balik kalimat itu.

Tanpa sadar, aku menyentuh tangannya yang tergeletak di meja pantry. Sentuhan ringan, tapi cukup untuk membuatnya menoleh cepat ke arahku.

"Maaf, aku—"

Belum sempat kutarik, Adrian justru menahan tanganku. Hangat. Tegas.

"Jangan minta maaf," katanya, suaranya lebih dalam.

Waktu seakan berhenti. Lalu, dalam hening itu, ia berdiri, mendekat, hingga wajahnya hanya sejengkal dariku. Aku bisa merasakan napasnya di pipiku, aroma kopi bercampur parfum kayu.

Dan ketika matanya menatap mataku begitu dekat, aku tahu aku tak bisa mengalihkan diri.

Pelan-pelan, Adrian menunduk. Bibirnya menyentuh bibirku.

Lembut. Ragu-ragu, seolah bertanya. Tapi cukup untuk membuat tubuhku bergetar.

Aku tak sadar kapan aku membalasnya—tapi aku melakukannya. Mengizinkan ciuman itu bertahan lebih lama, lebih dalam.

Sampai akhirnya ia menjauh, menatapku dengan mata yang lebih hangat daripada sebelumnya.

"Mulai sekarang," bisiknya, "kau tak boleh lagi bilang hubungan kita hanya 'profesional'."

Aku terdiam. Nafasku tersengal. Kata-katanya menusuk, tapi juga… membuatku terseret lebih jauh ke dalam sesuatu yang berbahaya.

Sesuatu yang tak mungkin bisa kurelakan begitu saja. 

Gosip Kantor & Rey yang Cemburu

Keesokan paginya, suasana kantor DUNIABET tampak biasa saja. Suara keyboard, panggilan telepon, dan bunyi mesin fotokopi mengisi udara. Tapi langkah-langkah kecil, bisikan pelan, dan tatapan curi pandang terasa lebih menusuk dari biasanya.

Aku bisa merasakannya sejak masuk lift. Dua staf marketing menatapku, lalu buru-buru menunduk sambil cekikikan. Di pantry, seorang karyawan HR pura-pura sibuk membuat kopi, tapi jelas memperhatikan saat aku menuang air minum.

"Pagi, Nadine."

Aku tersentak mendengar suara akrab itu. Rey berdiri di pintu pantry, kemeja biru muda digulung rapi di lengan, senyum khasnya masih sama. Ia mendekat, mengambil mug dari rak.

"Kau kelihatan… kurang tidur," ujarnya, menatapku penuh selidik.

Aku berusaha tenang. "Tugas menumpuk. Kau tahu sendiri."

Rey terkekeh, mengaduk kopinya. "Atau mungkin… tugas plus sesuatu?"

"Apaan sih," jawabku cepat, terlalu defensif.

Ia menatapku lebih lama, matanya menyipit. "Nadine, aku tahu kau. Sejak kuliah, ekspresimu nggak pernah bisa bohong."

Aku menelan ludah, memilih diam.

Sebelum suasana makin canggung, pintu pantry terbuka. Adrian masuk. Kemeja putih dan dasi hijau tua itu kembali membuat aura ruangan berubah. Semua orang refleks menegakkan punggung.

Matanya sempat berhenti padaku, hanya sedetik. Tapi sedetik itu cukup membuat darahku berdesir.

"Meeting dengan tim IT jam sepuluh. Pastikan presentasi siap." Suaranya datar, ditujukan pada Rey.

"Siap, Adrian," jawab Rey, nada suaranya lebih dingin dari biasanya.

Aku bisa merasakan ketegangan tipis di antara mereka.

Sepuluh menit sebelum rapat, aku membantu Adrian mempersiapkan dokumen. Ruang CEO terasa hening, hanya suara printer yang bekerja. Aku menaruh map di mejanya, berusaha fokus.

"Bagaimana tidurmu?" tanyanya tiba-tiba.

Aku terhenti. "Normal."

Tatapannya menusuk. "Aku tidak ingin sekretarisku jatuh sakit karena lembur."

Aku menggenggam map erat. "Aku baik-baik saja."

Ia bersandar di kursinya, lalu mengucapkan kalimat yang membuat napasku tercekat.

"Malam tadi… bukan sesuatu yang bisa dilupakan, Nadine."

Aku menunduk, pura-pura sibuk merapikan pena di meja. "Adrian… kalau orang kantor tahu—"

"Terlalu banyak orang di sini yang sibuk dengan gosip. Kita tidak hidup untuk mereka."

Aku ingin menjawab, tapi pintu diketuk. Rey muncul, laptop di tangan. Matanya bergeser dari Adrian ke aku, lalu berhenti sedikit lebih lama dari yang seharusnya.

"Maaf, mengganggu," katanya singkat.

Adrian hanya mengangguk. "Masuk. Kita mulai review presentasi."

Rapat berjalan tegang. Adrian mengajukan banyak pertanyaan tajam, dan Rey menjawab dengan profesional meski jelas sedang menahan sesuatu. Sesekali, tatapan Rey melirik ke arahku. Aku hanya bisa menunduk, mencatat poin-poin rapat.

Sampai akhirnya rapat selesai, Rey menghampiriku saat semua orang sudah keluar.

"Nadine." Suaranya pelan, tapi tegas.

Aku berhenti di depan pintu rapat. "Ya?"

"Aku nggak bodoh. Aku tahu ada sesuatu antara kau dan Adrian."

Aku terdiam, darahku serasa berhenti mengalir.

"Aku nggak akan tanya detailnya," lanjutnya. "Tapi… hati-hati. Dia bukan tipe pria yang gampang dimengerti."

"Rey…"

Ia tersenyum tipis, tapi matanya penuh luka. "Aku cuma nggak mau lihat kau terluka lagi. Itu aja."

Aku ingin menjawab, tapi kata-kata menguap di tenggorokanku. Rey berbalik, meninggalkanku sendiri di lorong.

Dari kejauhan, kulihat Adrian berdiri di depan ruangannya, memperhatikan kami. Tatapannya sulit dibaca—dingin, tapi ada bara di dalamnya.

Dan aku sadar… gosip mungkin baru permulaan. Konflik sesungguhnya baru saja dimulai.

Pertemuan Rahasia di Ruang Kerja

Suasana kantor terasa berbeda sejak pagi. Bisikan-bisikan makin jelas terdengar setiap kali aku melewati lorong. Beberapa karyawan menunduk pura-pura sibuk, tapi aku bisa merasakan mata mereka mengikutiku.

"Katanya semalam Nadine lembur sama Pak Adrian…""Aku lihat lampu ruang CEO masih nyala jam sembilan malam.""Wajar sih kalau dia cepat naik jabatan…"

Potongan obrolan itu membuat perutku mual. Aku mempercepat langkah, berusaha tak mendengar.

Di meja, layar laptopku menyala dengan puluhan email masuk. Tanganku gemetar saat mencoba membalas satu per satu. Tiba-tiba sebuah pesan masuk ke ponselku:

Adrian: Masuk ke ruanganku. Sekarang.

Aku menelan ludah, berdiri, lalu melangkah ke pintu kaca besar itu. Saat kututup pintu di belakangku, suasana hening langsung melingkupi.

"Duduk." Suaranya datar, tapi matanya menatap tajam.

Aku menuruti.

"Gosip menyebar lebih cepat dari yang kukira," katanya, tangannya mengetuk meja pelan. "Kau dengar juga?"

Aku mengangguk pelan. "Aku… tidak tahu harus bagaimana."

Adrian berdiri, berjalan ke arah jendela besar yang menampilkan panorama kota Jakarta. Cahaya matahari pagi memantulkan siluetnya, membuatnya terlihat lebih jauh sekaligus lebih rapuh.

"Aku sudah terbiasa dengan gosip. Tapi kau… aku khawatir."

Jantungku berdegup kencang. "Aku bisa menanggungnya. Aku hanya… takut ini akan merusak reputasimu."

Ia berbalik, melangkah mendekat. "Kau lebih peduli pada reputasiku dibanding dirimu sendiri?"

Aku terdiam. Bibirku membuka tapi tak ada kata keluar.

Tiba-tiba, Adrian mencondongkan tubuh, kedua tangannya bertumpu di meja, wajahnya hanya beberapa inci dari wajahku. "Katakan, Nadine. Apa yang sebenarnya kau takutkan?"

Aku bisa merasakan panas wajahku. "Aku takut… aku akan terlalu jauh jatuh untukmu."

Hening.

Sampai akhirnya ia mengangkat tanganku, menggenggam erat. "Kalau kau jatuh… maka aku juga akan ikut jatuh bersamamu."

Sebelum sempat aku menjawab, pintu diketuk keras. Kami berdua segera melepaskan diri.

Fitri dari HR muncul, wajahnya canggung. "Maaf, Adrian, ada tamu dari investor menunggu di lobby."

Adrian mengangguk singkat. "Saya turun sebentar."

Begitu Fitri keluar, Adrian menatapku sekali lagi, kali ini lebih lembut. "Kunci pintu setelah aku pergi. Jangan biarkan siapa pun masuk. Kita bicara lagi nanti."

Aku hanya bisa mengangguk. Saat pintu menutup, dadaku masih bergemuruh.

Di luar sana, gosip makin berkembang. Tapi di dalam ruang kerja ini… ada rahasia yang semakin sulit kusembunyikan. 

Rey Mengungkapkan Perasaan

Siang itu, kantor DUNIABET terasa lebih ramai dari biasanya. Beberapa orang dari tim marketing mondar-mandir membawa proposal. Aku mencoba fokus pada layar laptop, tapi setiap kali membuka email, pikiranku kembali ke tatapan Adrian di ruang kerjanya tadi pagi.

Satu pesan baru masuk:

Adrian: Jangan pulang cepat hari ini. Kita perlu bicara setelah semua orang pergi.

Aku menggigit bibir, cepat-cepat mengunci ponsel. Belum sempat bernapas lega, Rey muncul di samping meja, membawa dua gelas kopi.

"Pekerja keras seperti biasa," katanya sambil meletakkan kopi di mejaku.

"Terima kasih," jawabku singkat.

Ia menatapku lekat, seakan mencoba membaca isi kepalaku. "Nadine, aku ingin bicara sebentar. Bisa di pantry?"

Aku ragu, tapi akhirnya mengangguk. Pantry sore itu sepi, hanya ada aroma kopi dan suara mesin pendingin. Rey bersandar di meja, menyilangkan tangan di dada.

"Aku nggak suka basa-basi," katanya pelan. "Aku tahu ada sesuatu antara kau dan Adrian. Semua orang bisa lihat dari cara dia menatapmu."

Aku tercekat. "Rey—"

"Tunggu dulu." Ia mengangkat tangan. "Aku nggak akan memaksamu menjelaskan. Tapi aku harus jujur, Nadine. Sejak kuliah, aku sudah jatuh cinta sama kamu."

Dadaku langsung sesak. Aku memalingkan wajah, menatap jendela pantry. "Rey, kita sahabat. Aku nggak mau—"

"Aku capek jadi 'sahabat'. Bertahun-tahun aku diam, berharap kau akan sadar. Dan sekarang… aku lihat kau mungkin akan memilih pria yang menurutku nggak bisa benar-benar membahagiakanmu."

Aku menoleh, matanya berkaca-kaca tapi suaranya tegas. "Adrian mungkin CEO hebat, tapi dia penuh rahasia. Aku takut dia hanya akan melukai hatimu."

Aku tak bisa menjawab. Bagian dari diriku tahu Rey tulus, tapi bagian lain sudah terikat pada Adrian dengan cara yang sulit dijelaskan.

Rey mendekat, jaraknya hanya sejengkal. Tangannya terulur, menyentuh ujung jemariku. "Berikan aku satu kesempatan, Nadine. Satu saja. Biarkan aku yang melindungimu, bukan dia."

Aku ingin menarik tangan, tapi tubuhku kaku. Jantungku berdegup kencang. Dan di saat itulah—

"Rey."

Suara berat itu membuat kami sama-sama menoleh. Adrian berdiri di pintu pantry, wajahnya tenang tapi matanya menyala dingin.

Suasana mendadak membeku.

Rey tak melepas tanganku, justru menggenggamnya lebih erat, seolah menantang. "Kita cuma bicara, Adrian."

Tatapan Adrian pindah ke tanganku, lalu ke wajah Rey. "Kalau kau memang ingin bicara," katanya pelan tapi tajam, "jangan gunakan tanganku sebagai medianya."

Rey mendengus, akhirnya melepaskan genggamannya. "Aku tidak takut padamu."

Adrian menatapnya datar. "Bagus. Karena aku tidak ingin karyawan yang penakut."

Rey meninggalkan pantry tanpa menoleh, menyisakan aku dan Adrian dalam hening yang mencekik.

Adrian melangkah mendekat, menatapku lama. "Apa yang dia katakan padamu?"

Aku menunduk. "Dia… hanya jujur tentang perasaannya."

Adrian mendekat lagi, jaraknya terlalu dekat. "Dan kau? Apa yang kau rasakan?"

Aku membuka mulut, tapi tak ada suara yang keluar. Hanya napas yang tersengal.

Adrian menatapku lebih dalam, lalu berbisik, "Ingat satu hal, Nadine. Aku tidak suka berbagi."

Kata-katanya menusuk, sekaligus membuatku semakin terjebak dalam permainan perasaan yang berbahaya ini. 

Pertengkaran Besar & Rahasia Adrian

Hari-hari berikutnya di kantor DUNIABET semakin menegangkan. Gosip tak kunjung reda, Rey semakin menjaga jarak tapi tatapannya selalu penuh emosi, dan Adrian… semakin sering memanggilku ke ruangannya dengan alasan pekerjaan.

Hari itu, rapat dengan klien baru berlangsung panas. Salah satu presentasi vendor gagal, membuat Adrian naik pitam.

"Data yang kau sajikan tidak akurat," suaranya menghantam ruangan rapat yang hening. "Bagaimana mungkin kita bisa percaya pada partnership kalau detail sekecil ini saja kalian abaikan?"

Setelah rapat bubar, aku mengikutinya ke ruang CEO dengan map di tangan. Kututup pintu pelan, lalu berkata, "Kau terlalu keras pada mereka. Itu bisa merusak hubungan kerja."

Adrian menoleh cepat, sorot matanya tajam. "Di dunia ini, kesalahan kecil bisa menghancurkan segalanya. Aku tidak butuh orang lemah di sekelilingku."

"Apa itu juga berlaku untukku?" pertanyaanku lolos begitu saja.

Ia mendekat, wajahnya begitu dekat dengan wajahku. "Kenapa kau menanyakan itu?"

"Karena aku… aku takut. Setiap kali aku di dekatmu, aku merasa tidak cukup kuat. Aku merasa hanya akan jadi beban."

Adrian menarik napas dalam, lalu tiba-tiba membalik meja, membuat map jatuh berserakan. Suaranya meninggi, penuh amarah yang jarang kutemui.

"Kau pikir mudah bagiku membiarkanmu masuk dalam hidupku? Aku sudah kehilangan seseorang sekali, Nadine. Aku tidak akan mengulanginya!"

Aku terdiam, shock. Kata-katanya menusuk. "Kehilangan… siapa?"

Ia terdiam, lalu memalingkan wajah. Rahangnya menegang. "Aku pernah menikah. Dia… pergi. Dan aku tidak bisa melindunginya."

Aku menutup mulut dengan tangan. Rahasia itu—yang selama ini hanya berupa bisikan gosip di koridor—ternyata nyata.

"Kenapa kau tidak pernah bilang?" suaraku bergetar.

"Karena aku tidak ingin kau melihatku sebagai pria yang gagal."

Air mataku nyaris pecah, tapi aku menahannya. "Adrian… aku tidak peduli masa lalumu. Aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya kau rasakan. Untukku."

Ia menatapku dalam, lalu melangkah maju. Tangannya menggenggam bahuku kuat, seolah takut aku menghilang.

"Aku takut kehilanganmu," katanya lirih. "Lebih dari apa pun."

Aku membalas tatapannya, dan saat itu juga, tanganku terangkat, menyentuh pipinya. "Kalau begitu… berhenti mendorongku menjauh."

Adrian menunduk, bibirnya menemukan bibirku lagi. Kali ini bukan kecelakaan, bukan ragu—ciuman itu penuh emosi, marah, takut, cinta yang tertahan terlalu lama.

Aku membalasnya, air mata akhirnya jatuh di pipiku, bercampur dengan kehangatan yang ia berikan.

Ketika akhirnya kami terpisah, napas kami terengah. Adrian menunduk, dahinya bersandar di dahiku. "Aku tidak bisa berjanji semuanya akan mudah. Tapi aku janji satu hal—aku tidak akan membiarkanmu pergi."

Aku mengangguk pelan, meski di dalam hati tahu… kata-kata itu hanya awal dari badai yang lebih besar.

Di luar ruang CEO, aku bisa melihat bayangan seseorang berdiri diam di balik kaca buram. Rey.Dan dari tatapannya yang dingin, aku tahu—konflik ini baru akan semakin rumit.

Tantangan Rey & Dilema Nadine

Suasana kantor DUNIABET semakin panas. Gosip soal kedekatanku dengan Adrian sudah jadi rahasia umum, meski tak pernah ada yang berani mengatakannya langsung. Tatapan curiga dan bisikan makin sering kudengar.

Aku berusaha tetap bekerja seperti biasa, tapi beban itu semakin berat. Terlebih sejak rahasia Adrian terungkap padaku: pernikahannya yang gagal, dan ketakutannya kehilangan orang yang dicintai.

Siang itu, aku sedang membawa map ke ruang CEO ketika Rey menghampiriku di koridor. Wajahnya serius, tanpa senyum seperti biasanya.

"Kita perlu bicara," katanya.

"Aku sibuk, Rey. Adrian sedang menunggu—"

"Justru karena itu." Ia meraih lenganku, menuntunku ke ruang rapat kosong. Suaranya menegang. "Aku nggak bisa diam lagi, Nadine. Aku tahu kau sudah terlibat terlalu jauh dengannya."

Aku terdiam, menatapnya bingung. "Rey…"

"Aku nggak bisa pura-pura lagi." Matanya tajam, penuh rasa sakit. "Aku mencintaimu sejak lama. Aku ingin kau bersamaku, bukan dengan Adrian. Kau tahu dia berbahaya untukmu."

Dadaku sesak. "Berbahaya?"

Rey mendekat, suaranya rendah. "Dia pria dengan masa lalu yang kelam. Kau pikir dia bisa memberi kau kebahagiaan? Tidak, Nadine. Dia hanya akan menyeretmu ke dalam luka yang sama yang dia bawa."

Aku menggigit bibir, tak bisa menyangkal bahwa aku memang takut. Tapi di sisi lain, aku tak bisa memungkiri getaran yang kurasakan setiap kali bersama Adrian.

Sebelum sempat menjawab, suara langkah berat terdengar. Pintu rapat terbuka. Adrian berdiri di sana.

Tatapannya menusuk Rey, lalu pindah padaku. "Apa yang kalian bicarakan?"

Rey berdiri tegak, tidak gentar. "Aku hanya mengatakan yang seharusnya Nadine dengar. Dia pantas mendapatkan seseorang yang benar-benar bisa menjaganya, bukan seseorang dengan beban masa lalu yang bisa menghancurkannya kapan saja."

Ketegangan membungkam ruangan. Adrian melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. Suaranya tenang, tapi ada bara di baliknya. "Kalau kau pikir aku akan mundur hanya karena kau mengatakan itu, kau salah besar."

Rey membalas tatapannya, penuh tantangan. "Maka biarkan Nadine yang memilih."

Aku terperangah. "Apa?"

Keduanya menatapku bersamaan. Rey dengan tatapan penuh harapan, Adrian dengan tatapan menuntut keyakinan.

"Nadine," suara Rey bergetar, "pilih aku. Aku selalu ada untukmu, sejak dulu."

Adrian menambahkan, suaranya rendah namun tegas. "Atau pilih aku. Aku tidak sempurna, tapi aku tidak akan membiarkanmu pergi."

Aku berdiri di antara mereka, jantungku berdetak begitu keras hingga seakan bisa terdengar seluruh ruangan.

Dan untuk pertama kalinya, aku benar-benar sadar… apa pun pilihan yang kuambil, hidupku tak akan pernah sama lagi.

Malam Pengakuan & Keputusan

Hari itu terasa panjang. Setelah perdebatan sengit di ruang rapat antara Rey dan Adrian, kepalaku tak berhenti berputar. Aku mencoba bekerja seperti biasa, tapi konsentrasi buyar. Email terbengkalai, laporan menumpuk.

Sore menjelang malam, sebagian besar karyawan sudah pulang. Lampu kantor DUNIABET menyisakan cahaya redup dari lorong. Aku masih duduk di meja, menatap layar kosong.

Suara langkah mendekat. Aku mendongak. Rey.

"Nadine," katanya pelan. "Aku nggak mau menekanmu. Tapi aku harus jujur. Aku mencintaimu. Kalau kau beri aku kesempatan, aku akan menjaga kau lebih baik dari siapa pun."

Aku menelan ludah, hatiku sakit mendengarnya. Rey adalah sahabat yang selalu ada, lelaki baik yang tak pernah mengecewakan.

Tapi sebelum sempat menjawab, bayangan lain muncul di lorong. Adrian berdiri di sana, jas sudah dilepas, hanya kemeja putih dengan kancing atas terbuka. Wajahnya serius, tatapannya lurus padaku.

"Rey," suaranya dingin, "tinggalkan kami."

Rey menoleh ke arahku, matanya memohon. "Kalau dia membuatmu menangis, aku yang akan mengambilmu kembali." Setelah itu, ia pergi, meninggalkan kami berdua.

Hening.

Adrian mendekat, langkahnya berat, hingga jaraknya hanya satu meja dariku. "Aku tidak akan meminta maaf atas apa yang terjadi tadi siang. Aku tidak menyesal."

Aku berdiri, menatapnya langsung. "Adrian… aku bingung. Rey begitu tulus, begitu aman. Sementara kau…"

Aku terhenti, dadaku sesak.

"Aku apa?" tanyanya, suaranya serak.

"Kau membuatku takut sekaligus ingin. Kau membuatku marah sekaligus rindu. Kau… membuatku merasa hidup, tapi juga terancam."

Adrian mendekat, meraih tanganku, menggenggam erat. "Karena aku tidak pura-pura. Aku tidak bisa jadi aman seperti Rey. Tapi aku bisa jadi nyata untukmu."

Air mataku menetes tanpa bisa kutahan. "Dan kalau aku terluka?"

Ia menyentuh pipiku, ibu jarinya menyeka air mata itu. "Maka aku akan terluka bersamamu. Aku tidak janji bisa membuat dunia lebih mudah, tapi aku janji tidak akan pergi."

Aku terdiam. Lalu, tanpa sadar, aku menutup jarak itu. Bibirku menyentuh bibirnya—kali ini bukan kebetulan, bukan karena emosi. Tapi karena aku memilihnya.

Ciuman itu panjang, dalam, penuh pengakuan yang tak sempat terucap. Dalam pelukan Adrian, semua ketakutanku mencair, meski aku tahu badai belum benar-benar reda.

Saat kami berpisah, napasku terengah. Adrian menatapku, matanya bersinar hangat untuk pertama kalinya.

"Mulai malam ini, Nadine," katanya, suaranya berat, "kau bukan lagi hanya sekretarisku. Kau adalah bagian dari hidupku."

Dan di tengah kantor DUNIABET yang sunyi, aku tahu—keputusan itu sudah kuambil. 

Rahasia Masa Lalu yang Kembali

Hubungan kami tak lagi sama sejak malam itu. Aku dan Adrian mulai sering menghabiskan waktu berdua setelah jam kerja, meski harus hati-hati agar tak menimbulkan lebih banyak gosip.

Namun, semakin aku dekat dengannya, semakin terasa ada dinding yang ia sembunyikan. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar kegagalan pernikahan.

Pagi itu, saat aku tiba di kantor, suasana sudah tak biasa. Beberapa karyawan berbisik-bisik sambil menatap layar ponsel mereka. Fitri dari HR mendekatiku dengan wajah cemas.

"Nadine… sudah tahu?"

"Apa?" tanyaku.

"Berita pagi ini. Tentang Adrian."

Aku buru-buru membuka ponsel. Judul headline langsung menusuk mataku:

"Adrian Santoso, CEO DUNIABET, Digugat Mantan Istri Terkait Skandal Keuangan."

Darahku seakan berhenti mengalir.

Aku segera menuju ruang Adrian. Ia duduk di balik meja, wajahnya tegang, tangannya meremas map laporan. Di layar monitornya, artikel berita yang sama terpampang.

"Adrian…" suaraku lirih.

Ia menoleh, matanya gelap. "Jangan percaya semua yang mereka tulis."

"Apa ini benar?" tanyaku, suaraku bergetar.

Ia terdiam sejenak, lalu berdiri, berjalan mendekat. "Aku tidak pernah mencuri sepeser pun dari perusahaan. Tapi… ada sesuatu yang memang belum aku ceritakan padamu."

Aku menahan napas.

"Pernikahanku dulu… bukan hanya gagal karena aku tak bisa menjaganya. Dia—mantan istriku—pernah bekerja sama dengan pihak luar untuk menjatuhkanku. Aku menutupinya karena aku tidak ingin siapa pun, terutama kau, melihat sisi terburuk hidupku."

Aku tertegun. "Kenapa tidak kau ceritakan dari awal?"

"Karena aku takut kau akan pergi," jawabnya jujur. "Dan sekarang… semua orang tahu. Termasuk Rey."

Seolah dipanggil oleh namanya, pintu tiba-tiba terbuka. Rey berdiri di sana dengan wajah marah.

"Aku sudah bilang padamu, Nadine," katanya tajam. "Dia bukan orang yang bisa kau percayai. Kau lihat sendiri sekarang."

Aku menoleh ke Adrian, lalu ke Rey. Keduanya berdiri di depanku, seperti dua kutub berlawanan yang sama-sama menarikku.

Hatiku berdebar keras, dipenuhi ketakutan dan cinta sekaligus. Dan untuk pertama kalinya, aku benar-benar bertanya pada diriku sendiri… apakah aku memilih jalan yang benar?

Pertengkaran Terbesar

Sejak pagi, kantor DUNIABET seperti sarang lebah yang diguncang. Semua karyawan sibuk membicarakan berita tentang Adrian, bahkan rapat-rapat kecil berubah jadi arena gosip. Setiap kali aku berjalan melewati koridor, tatapan orang-orang menusuk seperti jarum.

Aku mencoba bertahan, tapi tekanan semakin berat. Hingga akhirnya sore itu, aku tak tahan lagi. Kulempar map ke meja, lalu melangkah cepat ke ruang Adrian.

"Kenapa kau tidak pernah jujur padaku sejak awal?" suaraku bergetar begitu pintu tertutup.

Adrian mengangkat kepalanya dari tumpukan dokumen. Wajahnya letih, tapi matanya masih setajam biasa. "Aku sudah bilang, aku tidak mencuri. Semua ini hanya permainan mantan istriku."

"Bukan itu masalahnya!" aku meninggikan suara, untuk pertama kali padanya. "Masalahnya kau menyembunyikan semuanya dariku! Aku berada di sisimu, Adrian. Aku punya hak tahu, bukan malah mendengar semuanya dari media dan gosip kantor!"

Ia berdiri, menghantam meja dengan telapak tangannya. "Aku ingin melindungimu!"

"Apa dengan berbohong bisa disebut melindungi?" aku menatapnya, air mataku mengalir. "Aku sudah cukup dengan gosip, cukup dengan tatapan orang-orang. Sekarang aku bahkan tak tahu apakah aku bisa percaya padamu."

Adrian terdiam, rahangnya mengeras. "Jadi itu maksudmu? Kau ingin pergi?"

Dadaku sesak. "Mungkin… iya. Mungkin aku memang harus pergi dari DUNIABET sebelum semua ini menghancurkan aku juga."

Wajah Adrian berubah. Ada ketakutan yang jarang kulihat, tersembunyi di balik dinginnya tatapan. Ia mendekat cepat, tangannya meraih lenganku, suaranya parau.

"Jangan katakan itu. Jangan pernah."

Aku berusaha menarik diri. "Lepaskan, Adrian."

Tapi genggamannya justru semakin erat. "Aku tidak bisa. Aku sudah kehilangan sekali, Nadine. Aku tidak akan kehilangan lagi."

Air mataku jatuh semakin deras. "Kalau kau benar-benar mencintaiku… maka lepaskan aku saat aku ingin pergi."

Kami berdua terdiam, hanya ada suara napas berat dan degup jantung yang saling bersahutan. Adrian akhirnya melepaskan lenganku, tapi tatapannya penuh luka.

"Kalau kau keluar dari pintu ini," katanya lirih, "maka kau juga keluar dari hidupku."

Tanganku gemetar saat meraih gagang pintu. Hatiku koyak.

Di luar, aku bisa melihat Rey berdiri di ujung lorong, wajahnya penuh kekhawatiran.

Dan untuk pertama kalinya… aku benar-benar berada di ambang pilihan yang bisa mengubah segalanya. 

Hujan, Pelukan, dan Ciuman Penuh Keputusasaan

Langkahku terasa berat ketika meninggalkan ruang CEO. Air mataku masih membasahi pipi, tapi aku tak peduli lagi. Aku hanya ingin keluar, menjauh, menenangkan diriku dari semua ini.

Lift terbuka, aku masuk tanpa menoleh. Rey berusaha memanggil, tapi aku mengangkat tangan, memberi tanda agar ia tidak mendekat.

Begitu sampai di lobby, hujan deras sudah turun mengguyur Jakarta. Langit gelap, suara guntur bersahutan. Aku berdiri di depan pintu kaca besar, menatap jalanan yang basah.

Apa ini akhirnya? pikirku. Apa aku benar-benar harus pergi dari DUNIABET… dan dari Adrian?

Tiba-tiba suara langkah cepat terdengar dari belakang. Pintu lobby terbuka keras. Adrian. Kemeja putihnya sudah basah, rambutnya berantakan, tapi tatapannya hanya tertuju padaku.

"Nadine!"

Aku memalingkan wajah, menahan tangis. "Adrian, cukup. Aku nggak kuat lagi."

Tapi sebelum aku sempat keluar, tangannya menarik pergelangan tanganku, memaksaku berbalik. Tubuhku langsung jatuh ke dalam pelukannya.

"Jangan pergi," suaranya parau di telingaku. "Aku mohon, jangan tinggalkan aku."

Air mataku semakin deras. "Kau menyakitiku, Adrian. Aku nggak tahu harus percaya atau tidak."

Ia memegang wajahku dengan kedua tangannya, menatapku dalam. Mata itu… bukan mata CEO dingin, tapi mata seorang pria yang ketakutan.

"Aku memang salah. Aku menyembunyikan banyak hal. Tapi satu hal yang tak pernah kusingkapkan hanya untuk melindungi diriku sendiri—aku mencintaimu, Nadine. Aku butuh kau di sisiku."

Hujan di luar semakin deras, dan entah bagaimana aku sudah ikut terhanyut.

Seketika bibirnya menyentuh bibirku—panas, penuh rasa putus asa, seolah ciuman itu adalah cara terakhirnya untuk menahan dunia agar tidak runtuh.

Aku membalas, tubuhku gemetar di pelukannya. Ciuman itu pahit dan manis sekaligus, penuh amarah, ketakutan, dan cinta yang tak bisa lagi dipungkiri.

Ketika akhirnya ia menjauh, keningnya masih menempel di keningku. Napas kami sama-sama tersengal.

"Aku tidak sempurna," bisiknya. "Tapi kalau kau memberi aku kesempatan… aku akan berjuang seumur hidupku untukmu."

Aku terdiam, air mata bercampur dengan tetesan hujan yang masuk dari pintu lobby yang terbuka.

Di kejauhan, aku bisa melihat Rey berdiri di bawah payung, menatap kami dari luar. Wajahnya tak bisa kusebut marah, tapi jelas penuh luka.

Dan di saat itu juga, aku sadar… apa pun pilihanku, seseorang pasti akan tersakiti.

Pilihan

Hari-hari setelah hujan deras itu berjalan lambat, penuh ketegangan. Aku jarang bicara dengan Rey; ia memilih menjaga jarak, meski sesekali aku bisa merasakan tatapannya dari jauh.

Sementara Adrian… ia berubah. Lebih terbuka, lebih sering membiarkanku melihat sisi rapuhnya. Ia bercerita tentang masa lalunya, tentang mantan istri yang menjeratnya dalam kasus palsu, tentang ketakutannya kehilangan. Semua luka yang dulu ia tutup rapat, kini perlahan ia bagikan padaku.

Dan di balik semua itu, aku mulai menemukan jawabanku.

Suatu malam, setelah semua karyawan pulang, aku berdiri di ruang CEO. Adrian menatapku dengan gelisah, seolah takut akan kata-kata yang akan keluar dari mulutku.

"Aku sudah berpikir panjang," kataku lirih. "Tentang kau… tentang Rey… tentang aku sendiri."

Adrian berdiri, berjalan mendekat, tapi berhenti setengah langkah, menunggu.

Aku menarik napas panjang. "Aku memilih… bertahan di sini. Denganmu."

Tatapannya melembut, seolah seluruh beban dunia runtuh dari pundaknya. Ia meraih tanganku, mencium punggungnya dengan khidmat. "Terima kasih, Nadine."

Aku tersenyum samar. "Tapi ada satu syarat."

"Katakan."

"Jangan sembunyikan apa pun lagi dariku. Aku lebih baik tahu kebenaran yang pahit daripada hidup dalam kebohongan yang manis."

Adrian mengangguk, matanya berkaca. "Kau akan tahu segalanya. Aku janji."

Ia memelukku erat, hangat dan menenangkan. Tidak ada lagi ciuman penuh keputusasaan, hanya pelukan sederhana yang sarat janji.

Di luar kaca besar, cahaya kota Jakarta berkilauan, logo hijau keemasan DUNIABET memantul gagah. Untuk pertama kalinya, aku merasa kantor ini bukan sekadar tempat kerja. Di sinilah aku menemukan luka, cinta, gosip, air mata, sekaligus keberanian untuk memilih jalanku sendiri.

Beberapa minggu kemudian, gosip kantor perlahan mereda. Rey akhirnya dipindahkan ke cabang luar kota, dengan alasan proyek IT besar. Sebelum pergi, ia sempat menghampiriku.

"Aku kalah, Nadine," katanya tenang. "Tapi aku harap kau bahagia dengan pilihanmu."

Aku hanya bisa memeluknya, menahan air mata. "Terima kasih, Rey. Kau akan selalu jadi bagian penting dalam hidupku."

Ia tersenyum tipis, lalu pergi.

Dan di ruang CEO malam itu, aku duduk di kursi seberang Adrian. Ia sibuk menandatangani dokumen, lalu menatapku dengan senyum yang jarang kulihat.

"Aku baru sadar," katanya. "Cinta itu seperti perusahaan: ada risiko, ada kerugian, tapi kalau kita berani berinvestasi, hasilnya bisa jadi tak ternilai."

Aku tertawa kecil, lalu menggenggam tangannya di atas meja. "Maka mari kita berinvestasi, Adrian. Bersama."

Ia menatapku, lalu mencium tanganku dengan lembut.

Dan aku tahu, rahasia di balik meja DUNIABET akhirnya bukan lagi tentang luka, melainkan tentang cinta yang akhirnya menemukan tempatnya.

Tamat