Ficool

Chapter 3 - 100 Hari Bersamamu

Chapter 3: Saat 100 Hari Mulai Mengungkapkan Kebenaran

Hari ketujuh puluh. Aria terbangun dengan perasaan yang berbeda. Waktu terasa semakin berjalan cepat, dan meskipun ia sudah berusaha untuk menikmati setiap hari yang ia jalani bersama Vino, ada sesuatu yang mengganjal. Sesuatu yang ia tak tahu apakah itu adalah harapan atau ketakutan, tapi ia bisa merasakannya, seperti bayangan yang terus mengikuti langkahnya.

100 hari. Satu per tiga tahun. Sepertinya terlalu singkat untuk membangun sesuatu yang baru, apalagi setelah sekian lama mereka terpisah. Tapi perasaan yang tumbuh di antara mereka, meskipun sederhana, mulai memberi ruang di hati Aria. Setiap detik yang ia habiskan bersama Vino membuka keping-keping kenangan yang dulu sempat terlupakan—kenangan akan kebahagiaan yang dulu pernah ada.

Namun, ada sesuatu yang tak bisa ia lupakan—sesuatu yang sangat penting, dan ia tahu ia harus menghadapinya.

Di ruang tamu yang hangat, Vino duduk dengan secangkir kopi, matanya menatap Aria dengan penuh perhatian.

"Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Vino, seakan mengetahui ada yang mengganggu pikirannya.

Aria tersenyum tipis, meski senyum itu tidak sampai ke matanya. "Aku… hanya berpikir, apakah kita benar-benar bisa memulai lagi? Atau ini hanya ilusi waktu?"

Vino menatapnya, mata itu penuh pengertian. "Kita sudah melewati banyak hal dalam 70 hari ini, Aria. Bukan hanya kebahagiaan, tetapi juga keheningan, ketakutan, dan keraguan. Tapi kita masih di sini, bersama. Itu sudah lebih dari cukup, bukan?"

Aria menggigit bibirnya, sedikit ragu. "Tapi 100 hari… waktu yang sangat terbatas. Apakah ini cukup untuk kita mengenal satu sama lain lagi? Apakah cukup untuk menghapus semua luka yang ada?"

Vino mendekat, dan dengan lembut ia menggenggam tangan Aria. "Aria, cinta itu bukan tentang waktu yang kita miliki, tapi tentang apa yang kita lakukan dengan waktu itu. Dan dalam waktu yang kita punya, aku ingin membuat setiap detik berarti. Aku ingin kita tahu bahwa apa yang kita lakukan, meskipun singkat, memiliki makna yang lebih besar."

Aria menunduk, merasa ada kehangatan yang muncul di hatinya. "Aku ingin itu, Vino. Tapi aku takut… aku takut jika aku memberikan semuanya, aku akan terluka lagi."

Vino menarik nafas dalam-dalam. "Aku mengerti. Tapi kamu tidak perlu takut, Aria. Aku di sini, dan aku akan menunggu sampai kamu siap untuk melangkah lebih jauh."

Aria menatapnya, untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, melihat kedalaman di matanya. Ada kesungguhan dalam setiap kata yang Vino ucapkan. Ia tahu, meskipun 100 hari terasa singkat, selama itu mereka bisa saling mendalami satu sama lain—mengenali sisi-sisi yang tak pernah mereka lihat dulu.

Namun, ada hal lain yang membuat Aria takut. Meskipun Vino memberinya harapan, ia tahu bahwa dalam 100 hari ini, ada kebenaran yang harus diungkap. Kebenaran yang selama ini ia hindari, bahkan mungkin ia tidak siap untuk mendengarnya.

Pagi itu, Aria memutuskan untuk berbicara dengan Vino. Ia ingin membuka hati mereka berdua, agar tidak ada lagi yang tersisa di antara mereka—semua ketakutan, semua perasaan yang belum terungkap.

Saat Vino kembali ke rumah setelah seharian bekerja, Aria memanggilnya dengan suara yang lembut, "Vino, ada yang perlu aku katakan."

Vino menatapnya dengan perhatian, tanpa berkata apa-apa, memberikan ruang bagi Aria untuk berbicara.

"Aku tahu, kita sudah melewati banyak hal bersama dalam 70 hari ini, dan aku merasa kita mulai lebih dekat. Tapi ada satu hal yang aku takutkan," kata Aria, menggenggam tangan Vino. "Aku takut kita tidak cukup waktu untuk benar-benar mengenal satu sama lain. Aku takut, kalau kita melanjutkan ini tanpa mengetahui apakah kita siap untuk cinta yang lebih besar, kita akan terluka lagi."

Vino menatapnya, tidak tergesa-gesa untuk memberi jawaban. Ia tahu bahwa Aria membutuhkan waktu untuk membuka hatinya. "Aria, aku tidak akan pernah memaksamu untuk melangkah lebih cepat dari yang kamu mau. Tapi satu hal yang perlu kamu tahu, kita tidak perlu sempurna. Kita hanya perlu cukup berani untuk menjalani hari ini bersama."

Aria menatapnya, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa ketakutannya mulai memudar. Mungkin cinta ini tidak perlu sempurna. Mungkin cinta ini hanya perlu diberi waktu untuk tumbuh.

Ketika 100 hari mereka hampir berakhir, Aria menyadari bahwa ia tidak lagi takut. Ia tidak lagi merasa terjebak dalam bayang-bayang masa lalu. Ia sudah memberi dirinya kesempatan untuk merasa bahagia. Ia sudah memberikan dirinya izin untuk mencintai kembali, untuk mengizinkan seseorang—Vino—masuk dalam hidupnya.

Hari itu, Vino dan Aria berdiri di teras rumah, memandang matahari yang mulai tenggelam. Mereka tahu, waktu mereka bersama tidak akan pernah cukup untuk menghapus semua luka, tetapi mereka juga tahu bahwa cinta mereka telah tumbuh, meskipun dalam waktu yang terbatas.

Dan dalam hati Aria, ia tahu satu hal: 100 hari mungkin singkat, tapi cukup untuk mengubah segalanya.

More Chapters