Bab 2: Yang Ikut Kembali
Raka duduk diam di ranjang. Nafasnya masih terasa aneh—terlalu ringan, seolah paru-parunya tak sepenuhnya miliknya lagi.
Di cermin tua di sudut kamar, pantulan dirinya tampak sedikit... berbeda.
Wajah itu memang wajahnya. Tapi mata—mata itu tampak lebih dalam, lebih gelap, seolah menyimpan sesuatu yang bukan berasal dari dunia ini.
Tiba-tiba, cermin itu berembun dari dalam.
Raka berdiri perlahan dan melangkah ke depan. Di balik pantulan kabur, samar-samar tampak bayangan lain, berdiri persis di belakangnya—meski ketika ia menoleh, tak ada siapa pun di sana.
"Kau kembali... tapi bukan sendiri..."
Kalimat itu terulang lagi, tapi kali ini terdengar jelas. Suaranya berat, dalam, dan bergema… seakan berasal dari dalam tubuhnya sendiri.
Pagi harinya, warga desa gempar.
Raka yang sudah dikubur secara adat ternyata tidak pernah benar-benar dikuburkan.Karena, anehnya, tubuhnya tidak pernah membusuk. Para tetua desa memutuskan menyimpan jasadnya di ruangan khusus, berharap akan ada "tanda dari langit".
Dan kini, ia benar-benar bangkit.
Nenek Raka menangis memeluknya. Tapi pelukannya kaku, seolah tubuh cucunya dingin seperti batu.
"Ra... kamu dengar suara apa sebelum pingsan?" tanya sang nenek dengan suara gemetar.
Raka diam sejenak. Kemudian menjawab, lirih:
"Dia memanggil namaku. Tapi bukan suara manusia."
Sejak saat itu, hal-hal aneh mulai terjadi.
Cermin di rumah selalu berembun meski udara kering.
Setiap malam, terdengar langkah kaki dari atap rumah—padahal tidak ada siapa pun di sana.
Raka mulai bicara sendiri dalam tidur, menggunakan bahasa Jawa kuno yang bahkan tidak pernah ia pelajari.
Dan yang paling menyeramkan...
Ia menemukan bekas telapak kaki basah di lantai kamarnya setiap pagi. Tapi kaki itu… hanya empat jari.
Suatu malam, Raka bermimpi. Ia berdiri di tengah hutan, dikelilingi kabut. Di depannya, seorang wanita berjubah hitam berkata:
"Kau mencuri waktu dari alam seberang. Sekarang... waktumu harus dikembalikan."
Raka terbangun dengan tubuh basah kuyup, meskipun jendela tertutup dan kamarnya kering.Tangannya gemetar.
Dan di balik pintu, samar-samar… terdengar suara nyanyian Jawa kuno, dilantunkan dengan nada pilu:
"Suro tiba... nyowo pinanggih…"(Suro datang… nyawa berpindah…)