Bab 5: Kata yang Tak Pernah Diucapkan
Sudah hampir sebulan sejak Diah resmi tinggal di rumah itu. Meski prosesnya perlahan, benih-benih kehangatan mulai tumbuh. Raka kini sering membantu di dapur, dan Nadine… meski masih dingin, tak lagi menghindar sepenuhnya. Ia bahkan mulai menyahut pendek saat Diah bertanya.
Andra pun memperhatikan perubahan itu.
"Raka cerita kamu masakin roti cokelat tiap Senin," ucapnya saat makan malam. "Dan Nadine… dia gak pernah mau sarapan, tapi tadi makan dua porsi."
Diah tersenyum malu. "Aku hanya ingin mereka merasa rumah ini hangat, Mas."
Andra mengangguk. Tapi di matanya, ada sesuatu yang tak terucap.
Malam itu, Andra memandangi foto mendiang istrinya yang terpajang di ruang tamu. Tatapannya sendu. Diah berdiri tak jauh darinya.
"Aku gak minta kamu menggantikan dia, Diah," katanya pelan. "Tapi aku juga gak pernah nyangka kamu bisa membuat rumah ini terasa hidup lagi."
Diah menunduk. "Aku hanya melakukan yang bisa aku lakukan."
Andra mengangguk. "Aku tahu."
Lalu, tanpa sadar, ia menambahkan, "Kalau dia masih ada… mungkin dia akan berterima kasih."
Kalimat itu membuat dada Diah sesak. Bukan karena cemburu. Tapi karena penghargaan yang selama ini diam-diam ia harapkan akhirnya muncul… bahkan dari bayangan seseorang yang tak akan pernah ia gantikan.
Keesokan harinya, sebuah insiden terjadi di sekolah.
Nadine pulang dalam keadaan marah. Ia menghempaskan tasnya ke sofa.
"Aku muak!" teriaknya.
Diah, yang sedang mencuci piring, langsung berlari ke ruang tamu.
"Ada apa, Nadine?"
"Ada anak di kelas yang bilang aku punya 'ibu tiri palsu'. Mereka bilang kamu pasti manipulatif, kayak di sinetron. Mereka pikir kamu cuma pura-pura baik!"
Diah terdiam. Nadine berdiri dengan mata berkaca-kaca, antara marah dan sedih.
"Aku tahu kamu gak jahat… Tapi kenapa orang-orang harus menghakimi?"
Diah duduk di sampingnya. "Karena mereka belum kenal aku seperti kamu sudah mulai mengenalku."
Hening sejenak.
"Aku gak peduli kata mereka. Tapi aku capek, Bu…"
Itu pertama kalinya Nadine memanggilnya "Bu", meski tanpa sadar.
Diah mengusap kepala Nadine perlahan. "Kalau kamu capek, istirahatlah. Di sini, kamu aman. Aku janji."
Malam itu, Diah menulis di buku hariannya:
"Mereka mulai memanggilku Ibu. Bukan karena darah. Tapi karena cinta yang kutanam, satu hari dalam diam."