Langit Auralis berubah warna.
Bukan lagi biru lembut atau ungu waktu. Tapi kelabu kehijauan, seperti noda pada lukisan yang rusak.
Bintang-bintang mulai jatuh satu per satu, berubah menjadi titik-titik bayangan di tanah.
Waktu merintih.
Dimensi mendesah kesakitan.
Dan di pusat semuanya… berdiri sosok berjubah hitam, tubuhnya memancar aura kenangan yang membusuk.
> “Aku adalah yang ditolak.
Aku adalah kenangan yang kalian buang.
Kini aku menuntut ruang.”
---
Rania berdiri di balkon utama istana, tubuhnya bergetar.
Ia tak tahu nama makhluk itu. Tapi ia tahu… makhluk itu berasal dari dirinya.
> Dari kenangan yang ia lepaskan.
Dari rasa yang ia kubur demi menyelamatkan dunia.
Dan sekarang, entitas itu mulai menghapus identitas orang-orang di sekitarnya.
---
Hari pertama, Reina lupa siapa ayahnya.
Hari kedua, Alendra lupa caranya menggunakan sihir waktu.
Hari ketiga, beberapa penjaga istana lupa bahkan nama mereka sendiri.
Hari keempat…
> Kaen lupa nama Rania.
---
“Siapa… kamu?” bisik Kaen, saat Rania masuk ke kamarnya.
Rania membeku.
Wajah Kaen masih sama. Mata itu masih mata yang sama. Tapi… kosong. Tidak mengenali. Tidak mengingat.
“Kaen… ini aku. Rania.”
Kaen memegang kepalanya. “Rania… Rania…”
Ia terlihat kesakitan. Tapi kenangan itu tak kunjung muncul.
> Karena entitas itu—makhluk tanpa nama itu—telah menyusup ke dalam inti memorinya.
Rania gemetar. Tapi ia tak menyerah.
Ia duduk di samping Kaen. Menggenggam tangannya.
“Dengar… mungkin kau tak mengingatku sekarang. Tapi hatimu akan tahu.
Karena cinta… bukan cuma kenangan. Ia juga detak, tatapan, cara memanggil nama.”
Kaen menunduk. Ia menggenggam tangan Rania pelan.
“Aku tak tahu siapa kamu… tapi… saat kamu bicara… dadaku terasa berat. Seperti rindu yang tak tahu asalnya.”
Rania tersenyum di balik air mata.
> “Itu cukup, Kaen. Itu cukup untuk kupercaya… kau masih mencintaiku.”
---
Malam itu, entitas menyerbu istana.
Ratusan bayangan melayang, menyusup ke ruang-ruang ingatan penduduk. Mereka tidak membunuh—mereka menghapus.
Menghapus siapa dirimu, dari mana asalmu, dan siapa yang kau cintai.
Rania berdiri di pelataran utama, ditemani Reina dan Elvaron yang mulai kehilangan sebagian ingatannya juga.
> Tapi ia masih ingat segalanya.
Karena ia… penjaga waktu.
Dan karena ia tak lagi punya kenangan untuk dicuri.
“Dia tak bisa menyentuhku,” gumam Rania.
“Tapi dia bisa menghancurkan semua yang kucintai.”
Maka ia mengambil keputusan.
> Ia harus kembali ke inti waktu—ke Sumber Dimensi, tempat awal mula waktu Auralis diciptakan.
Di sanalah ia akan menghadapi entitas itu.
Bukan dengan pedang.
Tapi dengan hati.
---
Kaen, meski samar, ikut bersamanya.
Di sepanjang perjalanan, ia tak ingat kenapa ia ikut. Tapi setiap kali Rania tersandung, ia meraih tangan gadis itu.
Dan di tengah kabut waktu, ia berbisik tanpa sadar:
> “Kau… terasa seperti rumah.”
Rania menggenggam tangannya lebih erat.
> “Dan kau… tetap hatiku, meski dunia mencabut namaku dari kepalamu.”
---
Di dalam Sumber Dimensi, cahaya membentuk lingkaran emas.
Rania berdiri di tengahnya.
Entitas muncul di seberang. Tubuhnya berkilau, tapi kosong.
“Kau datang sendiri,” katanya.
“Aku datang dengan cinta,” jawab Rania.
“Cinta yang kau buang.”
“Bukan kubuang… kubayar.”
Entitas itu melayang mendekat. “Apa kau ingin aku pergi?”
Rania menggeleng.
“Aku ingin kau kembali menjadi bagian dariku. Bukan musuh. Tapi luka yang kuakui.”
Ia membuka kedua tangan.
> “Kalau memang aku harus merasakan sakitnya cinta yang tak sempat utuh…
Maka biarlah aku ingat semuanya—baik, buruk, perih, bahagia.”
> “Karena itulah manusia.
Karena itulah… aku.”
Entitas itu terdiam.
Lalu perlahan… berubah menjadi Rania sendiri.
Versi dirinya yang dulu: polos, penuh harap, penuh rindu pada sosok yang bahkan belum ia kenali.
Dan dalam sekejap…
> Entitas itu larut ke dalam tubuhnya.
---
Cahaya menyelimuti ruang sumber.
Kaen terjatuh, menggenggam kepalanya. “Aku… ingat sesuatu…”
Rania berlari padanya. “Kaen?!”
Kaen memeluknya erat. Napasnya memburu.
> “Aku ingat. Kau. Di ruang jam pertama. Menatapku.
Kau… wanita yang kucintai.”
Rania menangis dalam pelukannya.
> Akhirnya… semuanya kembali.
---
Auralis diselamatkan.
Waktu kembali stabil.
Reina mengingat kembali namanya. Alendra kembali mengontrol sihir. Penduduk kembali mengenal anak-anak mereka.
Dan di balkon istana, saat matahari Waktu Keempat terbit… Kaen dan Rania duduk berdampingan.
“Aku ingat semuanya sekarang,” bisik Kaen.
Rania memejamkan mata. “Dan aku… tak pernah melupakannya di hati, meski pikiranku sempat hilang.”
> Cinta mereka tidak sempurna. Tapi cinta mereka utuh.
Karena mereka memilih untuk mengingat…
…meski harus melewati luka dan kehilangan.
---
Bab 50 TAMAT