Ficool

Chapter 4 - Tangga Langit Yang Terbalik

Setelah melewati tujuh wilayah Dunia Bawah, Hu Tian Ji berdiri di hadapan sesuatu yang bahkan para dewa enggan sebutkan dalam doa-doa mereka—tangga cahaya yang menggantung terbalik dari pusaran realitas: Tangga Langit yang Terbalik (逆天梯).

Ia bukan sekadar jalur, tapi luka dalam eksistensi, terbentuk dari kehendak mereka yang pernah menolak nasib namun gagal. Tapi kini, ia terbuka… hanya bagi satu orang yang telah menolak segalanya—kehidupan, kematian, bahkan makna dari eksistensi itu sendiri.

> "Ini bukan jalan naik... ini jalan menyeret langit turun ke bawah," gumam Tian Ji.

Langkahnya pertama terasa ringan. Tapi semakin tinggi ia melangkah, semakin berat dunia menggantung di pundaknya. Di setiap anak tangga, muncul wajah-wajah dari masa lalu—ayah dan ibunya yang gugur, teman masa kecil yang terkubur api, bahkan wajah-wajah musuh yang mati dalam kebencian.

Setiap tatapan bukan sekadar ilusi. Mereka hidup dalam kenangan, menyalahkan… bertanya… menuntut.

> "Kenapa kau tidak menyelamatkan kami?" "Apa kau benar-benar ingin menjadi dewa… atau monster?"

Namun Hu Tian Ji tidak menjawab. Ia tahu, suara-suara itu bukan dari roh yang telah mati, tapi dari dirinya sendiri—dari luka yang belum sembuh, dari beban yang belum diakui.

Saat ia mencapai pertengahan tangga, ruang dan waktu mulai retak. Bintang-bintang menghilang, cahaya membeku. Di kejauhan, langit itu sendiri mulai mengerut seolah takut akan apa yang akan datang.

---

Di Atas Langit

Istana Celestial Terbalik menggantung di tengah kehampaan. Bukan terletak di atas dunia, tapi justru menggantung terbalik, seperti akar dari pohon purba yang menusuk langit.

Tujuh lapisan surgawi mengelilingi istana itu, masing-masing dijaga oleh entitas yang tidak bisa mati—Penjaga Takdir, makhluk yang ditulis langsung dari hukum semesta.

Di ruang tak bernama di tengah istana, duduklah Para Dewa Inti. Mereka tidak memiliki wajah. Tidak berbicara dengan suara. Karena eksistensi mereka adalah konsep, bukan makhluk.

Namun hari ini, mereka bergetar.

> "Hu Tian Ji akan segera tiba," kata Dewa Pertama, suaranya berupa deru waktu. "Bukan sebagai pemberontak, tapi sebagai ancaman terhadap struktur keberadaan."

Di hadapan mereka terbentang Cermin Akhir, yang memantulkan masa depan terburuk siapa pun yang menatapnya. Dan di balik cermin itu, berdiri Hukum Awal—tulisan kuno yang menjadi dasar dari seluruh hukum kehidupan, kematian, dan langit itu sendiri.

> "Dia tidak boleh menyentuhnya," kata Dewa Kedua. "Jika Mantra Pembalik Kehendak menyentuh Hukum Awal… maka segala sebab-akibat akan runtuh."

---

Kembali ke Tangga

Tian Ji mulai berdarah. Tapi bukan dari tubuhnya—dari ingatan. Setiap kenangan yang pernah ia tolak, setiap rasa bersalah yang ia kubur, kini mencuat dan memeluknya.

Tangga itu bukan jalur menuju kemenangan. Tangga itu adalah uji keutuhan jiwa.

Di anak tangga ke-999, Tian Ji berhenti. Di depannya berdiri seseorang—bukan musuh, bukan dewa. Tapi dirinya sendiri, saat masih kecil.

Mata anak itu bersinar. Tak ada kekuatan. Tak ada kebencian. Hanya ketulusan, dan harapan.

> "Kalau aku tahu kita akan menjadi seperti ini… apakah aku tetap ingin hidup?"

Tian Ji berlutut. Ia tidak menjawab. Ia hanya menatap bocah itu… dan memeluknya.

Dan bocah itu perlahan menghilang. Digantikan oleh kekuatan baru—bukan dari luar, bukan dari gulungan hitam, tapi dari dalam: kekuatan menerima semua bentuk dirinya… tanpa menyangkal apa pun.

Ia melangkah ke anak tangga terakhir. Dan dunia terbuka.

---

Langit terbelah. Tangga Langit yang Terbalik menusuk surga. Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah… pintu langit terbuka dari bawah.

> "Langit bukan rumah para dewa." "Langit adalah sangkar." "Dan aku… datang untuk membukanya."

Langkah Hu Tian Ji mengguncang tujuh lapisan surgawi. Penjaga Takdir bangkit. Para Dewa Inti menyiapkan kehendak terakhir mereka.

Dan di balik pintu istana, waktu itu sendiri menunggu.

More Chapters