Kegelapan menyambut Hu Tian Ji saat ia melangkah lebih dalam ke celah retakan yang menganga di tanah Luoying. Dunia di baliknya tak memiliki cahaya, namun bukan berarti ia buta—yang menyinari tempat ini bukanlah matahari, melainkan kesadaran.
Ia telah memasuki Dunia Bawah.
Udara di sekelilingnya seperti memiliki bentuk, membelit tubuh, dan menyusup ke dalam pikirannya. Tanah yang ia injak terasa seperti daging, lembek dan hangat, namun tak meninggalkan jejak apa pun. Di atasnya—bukan langit—melainkan pusaran mata tak terhitung jumlahnya, menatap dari segala arah, tanpa berkedip.
> “Tempat ini… adalah cermin dari kehendak terdalam.”
“Dan kehendakku… belum pernah utuh.”
Hu Tian Ji melangkah masuk ke wilayah pertama—Lembah Tanpa Nama. Dataran sunyi tanpa suara, di mana pepohonan tumbuh dalam bentuk manusia terbalik, dan bayangan tak mengikuti cahaya, melainkan rasa takut.
Suara-suara samar membisikkan nama-nama yang terlupakan. Mungkin itu nama para pemberontak terdahulu yang pernah datang ke tempat ini—dan gagal. Bahkan tanah pun tampak mengingat mereka, memunculkan wajah-wajah samar dari permukaannya.
Dari kejauhan, sebuah siluet berdiri. Sosok itu tinggi, kurus, jubahnya sama persis seperti Tian Ji. Rambut panjang, mata gelap. Tapi matanya kosong… dan mulutnya terus berbisik dalam bahasa yang tak dimengerti.
Saat ia mendekat, Tian Ji merasakan sesuatu yang aneh: resonansi.
> “Kau…” bisiknya, “adalah aku.”
Sosok itu tersenyum. Bukan senyuman hangat—tapi senyuman yang menusuk seperti belati dingin.
> “Aku adalah keraguanmu. Aku dilahirkan dari saat kau ingin menyerah. Dari detik ketika kau hampir tunduk.”
“Dan di Dunia Bawah, bahkan kehendak yang kau buang… hidup.”
Tiba-tiba, sosok itu menyerang.
Gerakannya sama persis seperti Hu Tian Ji. Gaya bertarungnya, kecepatan, bahkan tekniknya identik. Tapi ada satu perbedaan—sosok ini tidak punya rasa takut. Ia bertarung tanpa ragu, tanpa menahan, karena ia tidak ingin hidup.
> “Kau ingin membalikkan dunia?”
“Tapi bahkan sekarang… kau masih membawa luka.”
“Aku akan mewakilimu… dengan lebih baik.”
Pertarungan berlangsung cepat. Ruang bergetar. Tanah terbelah. Kabut tersibak oleh ayunan tangan mereka. Tapi Tian Ji… mulai kalah.
Setiap tebasan musuhnya terasa seperti pukulan terhadap dirinya sendiri—bukan tubuh, tapi jiwa. Karena tiap gerakan lawannya membawa bukan kekuatan, melainkan kebenaran yang ingin ia lupakan.
> “Kau tak bisa mengalahkanku,” bisik sosok itu, kini berdiri di atas tubuh Tian Ji.
“Karena aku… adalah bagian darimu yang paling jujur.”
Namun tepat saat bayangan itu mengangkat tangan untuk memberi pukulan terakhir, Tian Ji menatapnya—dan untuk pertama kalinya dalam pertempuran itu… tersenyum.
> “Kalau kau bagian dariku… maka kau juga tahu satu hal.”
Tiba-tiba, gulungan hitam di tangan Tian Ji terbuka. Simbol-simbol berdengung, bukan untuk menyerang… tapi untuk menyatu.
> “Mantra Pembalik Kehendak bukan hanya senjata. Tapi jembatan. Aku tak akan mengusirmu…”
“…karena aku akan menjadikanmu bagian dari jalanku.”
Dalam sekejap, bayangan itu menyatu ke dalam tubuh Tian Ji—melengking, berteriak, lalu hilang. Dan dari matanya, kilatan baru muncul—bukan hanya kekuatan, tapi penerimaan total atas dirinya sendiri.
Untuk pertama kalinya, Hu Tian Ji tidak lagi takut pada dirinya sendiri.
> “Lembah ini… sudah kulewati.”
Dan di kejauhan, kabut membuka jalan menuju wilayah kedua:
Danau Tak Berpantulan.