Ficool

Chapter 5 - Bab5: Nama yang Tertulis di Dinding

Pagi di markas kepolisian Fedarna berjalan seperti biasa atau setidaknya seperti biasa sejak kasus orang hilang menjadi penyakit tetap kota ini. Tapi pagi itu, saat Abbas masuk melewati pintu utama, suasana terasa berbeda.

Semua mata menoleh padanya. Beberapa petugas saling berbisik. Farah berdiri di depan mejanya dengan raut wajah murung.

"Ada yang harus kamu lihat," katanya, tanpa basa-basi.

Abbas mengikuti Farah ke ruang rapat kecil. Di sana, sebuah amplop cokelat besar tergeletak di atas meja. Tidak ada pengirim. Hanya namanya tertulis dengan huruf kapital: ABBAS.

Abbas membuka amplop itu perlahan. Di dalamnya ada tiga hal:

Sebuah foto rumah tua,

Sebuah daftar nama,

Sebuah kertas kecil bertuliskan kalimat tunggal:

"Kau mengenal mereka lebih dari siapa pun."

Abbas menatap daftar nama itu. Tangannya mulai gemetar.

1. Farah L.

2. Riko Han(teman lamanya dari akademi)

3. Shira Elva(mantan tunangannya)

4. Dito Mazen(anak pemilik warung di bawah apartemennya, sering memberinya kopi)

5. ...dan namanya sendiri, paling bawah: Abbas F.

Farah menatapnya penuh tanya. "Itu… namaku?"

Abbas mengangguk. Perlahan. Wajahnya memucat.

"Dia mengincar kita," gumamnya. "Gakusi ingin menunjukkan bahwa permainan ini bukan lagi tentang angka. Ini tentang aku. Tentang hidupku. Tentang mereka yang... masih tersisa."

Farah menutup mulutnya dengan tangan. "Kita harus lindungi mereka semua. Segera."

Sore itu, Abbas dan tim kecil yang ia bentuk memulai operasi pengamanan diam-diam terhadap kelima nama dalam daftar itu

termasuk dirinya sendiri. Ia mengutus petugas ke rumah Riko, ke tempat kerja Shira, dan bahkan ke warung kecil milik keluarga Dito.

Namun ketika tim sampai ke rumah Shira Elva, semuanya sudah terlambat.

Pintu depan terbuka. Lampu menyala. Tapi tidak ada suara.

Di dalam rumah, semuanya terlihat rapi. Terlalu rapi. Di ruang tamu, di atas meja kaca, terdapat sehelai gaun putih milik Shira yang disusun melingkar. Di tengah lingkaran itu, ada sebuah roti—persis seperti yang pernah Abbas berikan kepada Gakusi bertahun-tahun lalu.

Dan di dinding ruang tamu, tergores dengan darah:

"Dia tak menghilang. Dia hanya menari di atas panggungmu, Abbas."

Beberapa jam kemudian, Abbas menatap layar rekaman dari CCTV di sekitar rumah Shira. Kamera jalanan menangkap sosok seseorang mengenakan mantel panjang dan topi hitam, berjalan pelan melewati gang kecil dekat rumah Shira. Ia tidak membawa senjata. Tidak tergesa. Tapi sesuatu di cara jalannya... dingin dan penuh percaya diri.

"Dia tahu semua kamera," kata Abbas pelan. "Dan dia membiarkan dirinya tertangkap karena itu bagian dari panggung."

Farah menatap Abbas. "Apa yang dia inginkan darimu sebenarnya?"

Abbas berdiri. "Dia tidak ingin ditangkap. Dia ingin dikenang. Dia ingin aku menderita. Tapi lebih dari itu… dia ingin aku mengerti."

Malam hari, Abbas kembali ke apartemennya. Ia tidak bisa tidur. Kepalanya penuh dengan bayangan Shira seseorang yang dulu hampir ia nikahi, namun ia tinggalkan karena pekerjaannya terlalu gelap. Ia pergi karena ingin menyelamatkannya dari dunia Abbas.

Dan kini... dunia itu menariknya kembali. Dengan cara yang paling kejam.

Di meja, Abbas menyusun ulang foto-foto korban dan simbol-simbol dari selokan bawah tanah. Lalu, satu per satu ia menulis nama dari daftar itu di dinding: Farah, Riko, Shira (disilang), Dito... dan terakhir, namanya sendiri.

Ia menyadari bahwa Gakusi menciptakan permainan seperti lingkaran. Seperti sandiwara klasik. Dan dalam sandiwara itu, peran Abbas adalah penyesal, saksi, dan korban.

Tiba-tiba ponselnya berdering.

Nomor tak dikenal.

Abbas menjawab dengan cepat. "Gakusi?"

Tak ada suara.

Lalu, tawa pelan.

"Shira sangat cantik malam ini. Gaunnya masih hangat. Tapi matanya kosong, Abbas. Seperti matamu saat kecil. Kau ingat? Di bawah jembatan itu? Dunia menyiksamu, dan kau menyiksiku. Kini kita seimbang."

Klik.

Abbas ingin melempar ponsel itu ke dinding. Tapi ia tahu amuk tak akan menolong.

Ia duduk kembali.

Menyalakan tape recorder. Mengulang pesan lama dari Gakusi.

"Aku tidak membencimu... Aku mengagumimu..."

Abbas menarik napas panjang. Kepalanya terasa berat. Matanya menatap lukisan anak kecil yang ia temukan di ruang bawah tanah. Gambar pria tinggi dikelilingi orang-orang tanpa wajah.

Pria itu adalah dirinya.

Orang-orang tanpa wajah... adalah mereka yang telah hilang.

Dan kini... satu wajah mulai dikenali: Shira.

Keesokan paginya, Farah menyerahkan laporan baru.

"Kita temukan simbol baru di sebuah taman di Distrik Barat."

Abbas menatap foto yang diperlihatkan. Di rerumputan taman itu, seseorang menggunakan serbuk kapur putih membentuk simbol besar: lingkaran ganda dengan titik di tengah, mirip mata.

Dan di bawahnya tertulis:

"Perlihatkan akhir panggungmu, maka aku akan menutup tirai."

Abbas meremas foto itu pelan.

Dia ingin aku melakukan sesuatu. Menutup cerita ini.

Dengan satu cara saja: menghadapinya.

More Chapters