Ficool

Chapter 4 - Bab4: Langkah di Bawah Tanah

Langit Fedarna tidak pernah benar-benar cerah, tapi malam itu... langitnya lebih hitam dari biasanya. Awan menggumpal bagai luka lama yang tak kunjung sembuh, menyembunyikan bulan dan bintang. Suara angin yang menyusup di antara gedung-gedung tua menimbulkan bunyi serupa bisikan yang berulang seolah kota sendiri sedang memperingatkan seseorang.

Abbas menatap peta yang terbentang di meja. Farah duduk di seberangnya, ekspresi tegang tapi terkendali.

"Semua korban terakhir hilang dalam radius ini," kata Farah, menunjuk lima titik merah di peta Distrik Selatan. "Dan jika kita hubungkan jalur antara lokasi terakhir mereka, garisnya membentuk pola…"

Abbas menyipitkan mata. Pola yang terbentuk tidak acak. Bentuknya seperti... simbol.

"Simbol apa ini?"

Farah mengambil catatan kecil. "Itu disebut 'sigil keterikatan'. Sebuah simbol dari ritual kuno yang sering muncul dalam dokumen-dokumen rahasia biasanya berkaitan dengan kontrol mental dan pengorbanan."

Abbas diam. Pikiran dan jantungnya beradu kencang.

"Apa kamu pikir Gakusi sedang... membuat semacam ritual?"

Farah mengangguk perlahan. "Kalau kita lihat laporan masa lalu dari arsip eksperimen, banyak anak-anak seperti dia yang tak hanya dijadikan subjek sosiologis, tapi juga bagian dari eksperimen psikis ekstrem. Aku curiga Gakusi adalah satu dari sedikit yang berhasil membentuk jalinan bawah sadar yang sangat kuat dengan penderitaannya sendiri."

Abbas menggertakkan gigi.

"Dan sekarang dia sedang menggambar luka-lukanya di seluruh kota."

Dua jam kemudian, Abbas berdiri di depan sebuah lubang selokan tua di Distrik Selatan. Penutupnya sudah hilang, dan bau lembab dari bawah seperti mengisap masuk paru-parunya. Farah tidak ikut kali ini. Abbas ingin melangkah sendiri karena semakin dalam ia masuk, semakin ia sadar ini bukan hanya penyelidikan.

Ini adalah pengakuan dosa.

Ia menyalakan senter dan menuruni tangga besi berkarat. Udara di bawah lebih dingin. Langkahnya menggema pelan. Saluran itu bercabang ke berbagai arah, namun salah satu lorong memiliki jejak baru: tanah basah, lumpur, dan... bekas sepatu kecil.

Abbas mengikutinya.

Semakin jauh ia berjalan, dinding menjadi lebih tua. Ada bekas coretan kuno di sana bukan grafiti biasa, tapi seperti mantra. Ia melihat simbol 4.8.3 berulang kali diukir di dinding. Terkadang bersisian dengan kalimat:

"Kau membentukku dari roti dan luka. Maka aku akan memecah dunia dari luka dan roti."

Di ujung lorong, Abbas melihat pintu besi tua yang nyaris tertutup tanah. Ia mendorongnya perlahan, dan suara derit pintu seperti jeritan panjang dari masa lalu.

Di dalam, ruang kecil dan gelap, tapi di tengahnya ada meja kayu reyot.

Di atas meja itu: sebuah lukisan anak-anak, digambar dengan cat merah, menggambarkan seorang pria bertubuh tinggi berdiri di atas panggung, dikelilingi orang-orang tanpa wajah.

Dan di pojok lukisan itu, seorang anak kecil duduk dengan roti di tangan... wajahnya tanpa mata, tapi senyumnya begitu lebar.

Abbas merasakan tubuhnya bergetar.

Kemudian, ia melihat sebuah tape recorder tua di dekat lukisan.

Ia menekan tombol putar.

Dan suara itu terdengar. Suara yang dulu kecil, kini dewasa dan dalam.

"Kau tahu, Abbas, aku tidak membencimu. Aku mengagumimu. Karena hanya orang yang hancur yang bisa menghancurkan. Saat kau memberiku roti, dan menyebutku monster, aku sadar… dunia memang tempat untuk monster. Tapi tidak semua monster lahir. Beberapa... diciptakan."

"Aku ingin kau melihat. Aku ingin kau mendengar. Aku ingin kau memahami bahwa setiap korbanmu, adalah bagian dari lukamu. Dan setiap langkahmu... akan membawamu lebih dekat ke cermin."

Tape berhenti.

Abbas menutup matanya.

Ia merasa ruangan itu mengecil. Seolah dinding bergerak mendekat. Nafasnya berat.

Kemudian, dari balik dinding kayu sebelah kiri, terdengar suara kecil. Seperti langkah kaki anak-anak.

Pelan.

Berirama.

Dan... tawa.

Tawa kecil, seperti milik anak usia lima tahun. Tapi tak ada anak di sana. Hanya ruang kosong, cahaya senter, dan... mainan kayu yang tiba-tiba jatuh dari langit-langit.

Mainan itu berbentuk orang-orangan kecil.

Abbas mendekat dan melihat di punggungnya tertulis:

"483 tidak mati. Ia menulis ulang naskah kehidupan."

Keluar dari selokan, Abbas menemukan dirinya berada di area kosong yang tak dikenalnya. GPS tidak berfungsi. Ia hanya tahu bahwa ia sedang berada di bawah Fedarna, di sebuah wilayah tua yang tidak lagi masuk dalam peta modern.

Ia berjalan ke arah tangga tua yang terbuat dari batu. Dan di ujung tangga itu, ia menemukan sesuatu yang membuat napasnya tercekat:

Tembok penuh gambar masa kecilnya sendiri.

Lukisan tangan anak kecil menggambar Abbas yang sedang duduk, Abbas yang sedang marah, Abbas yang mabuk, dan satu gambar besar: Abbas yang sedang memberi roti kepada Gakusi.

Dan di bawah gambar itu, tertulis:

"Apa yang kau beri padaku, sekarang aku kembalikan kepadamu."

Ketika Abbas akhirnya keluar dari lorong itu, matahari sudah mulai terbit, tapi langit masih kelam. Ia merasa seperti baru saja keluar dari dunia lain.

Ia berjalan perlahan ke markas. Farah menyambutnya dengan tatapan khawatir.

"Kau ke mana saja?"

"Ke masa lalu," jawab Abbas pendek.

Ia menyerahkan tape recorder, mainan, dan foto lukisan kepada Farah.

"Ini bukan tentang hilangnya orang lagi, Farah. Ini tentang panggung. Ini tentang menjebakku dalam drama yang kutulis tanpa sadar dua puluh tahun lalu."

Farah menggigit bibir. "Apa maksudmu?"

Abbas menatapnya dalam-dalam.

"Gakusi tidak hanya menculik. Dia menyusun naskah. Ia sedang menulis ulang hidupku, bab demi bab. Dan aku tahu... akhir dari cerita ini tidak akan membiarkanku keluar hidup-hidup."

More Chapters