Karena hari sudah berganti menjadi larut malam, aku segera berjalan lebih cepat menuju toko antik itu. Aku membuka pintu dan memasuki pintu dengan alas berkarpet merah.
Kriing
Di saat aku memasuki toko antik itu, bunyi lonceng berbunyi.
Rasanya sangat sepi sepadahal toko ini adalah toko antik terbesar yang sering dibicarakan oleh teman sekelasku. Aku memasuki ruangan ini dengan tujuan menghangatkan diriku ── dari udara yang dingin diluar.
Aku melihat jam dinding yang besar dan berdetak bagaikan suara jantung. Tidak hanya satu ── melainkan ada banyak, masing-masing dari mereka memberi refleksi akan cerminan bayangan. Ada yang berwarna silver, corak merah kekuningan serta emas murni.
Di sempurnakan dengan dinding berwarna merah kecerahan seperti buah ceri, aku tidak melihat adanya penghuni. Jadi aku memutuskan untuk duduk di sofa yang berada di tepi toko, menunggu badai salju turun.
Akan tetapi seisi toko antik ini membuatku makin penasaran, ada lebih banyak alat dan aksesoris. Bukan sekedar jam dinding, atau jam tangan. Mereka memiliki mannequin ballet dan patung berbentu rusa.
Aku merasa takjub dengan karya seni yang mereka miliki, seakan-akan toko ini tidak ada duanya di dunia ini.
Karena merasa penasaran dengan ruang-ruang yang belum kuperiksa. Dari ruang penerima tamu, setidaknya aku bisa melihat sepuluh pintu yang memiliki motif berbeda-beda di setiap ruangnya.
Naga, peri, vampir, siluman, malaikat, iblis, siren, orc, bayangan dan terakhir manusia. Semua pintu memiliki warna dengan pola yang sama. Hitam dan putih, bergantian setiap pintu.
Aku merasa bersalah karena ingin memasuki salah satu dari 10 pintu itu. Lagipula, toko antik seperti ini ── memang bertujuan untuk memamerkan sebuah barang.
Aku berjalan dan menyelusuri tiap pintu, anehnya aku tidak melihat adanya gagang pintu. Apakah setiap pintu ini memiliki kunci?
────────────
Tanpa berpikir panjang, aku berencana memasuki salah satu pintu yang menaruh minat kepada diriku.
Bayangan.
Pintu urutan ke-9 itu tidak jauh dari jangkauanku. Denyut jantungku berdetak dengan lambat, memikirkan segala cara untuk membuka pintu ini.
"Pria muda, apa yang kau cari?"
Sontak, aku membalikkan badanku dan berpura-pura tidak ada yang terjadi. Walaupun terus terang aku berusaha membobol masuk.
"Ruangan ini ── tidak, pintu ini. Apakah ada maksud di baliknya?"
Aku mengatakannya sembari membalik badanku. Tidak lain, orang yang memanggilku adalah hantu bertopeng putih dengan tubuh seorang Kakek menggunakan jas hitam, dan sepatu rak tinggi.
Ia menggenakan kacamata berlensa satu dengan gantungan berwarna emas.
Aku melihat label namanya dengan nama Richard Richardolos. Ia sepertinya penghuni lama di kota ini.
"Sayangnya kami tidak tahu mengenai pintu-pintu ini,"
Ujarnya sembari memegang kacamata berlensa satu itu. Ia berjalan lebih dekat menuju ke arah sampingku.
"Akan tetapi, ada sejarah di balik pintu-pintu ini. Dahulu, pemilik toko selalu memberitahukan untuk tidak membuka pintu itu. Pintu yang tak pernah terbuka puluhan tahun lamanya, karena kami tidak memiliki kunci akses untuk masing-masing pintu"
Masuk akal jika kulihat lagi, masing-masing pintu itu sudah berdebu. Akan tetapi tidak ada tanda kerapuhan sedikitpun. Seperti, ada magis yang melindungi setiap pintu ini.
"Apakah kau sudah tinggal cukup lama disini?"
"Kurang lebih 20 tahun."
20 tahun? Itu adalah waktu yang tepat untuk menanyakan kejadian kelam itu, walaupun aku ragu jika dia mengetahuinya.
"Apakah aku boleh bertanya?" Tanyaku.
"Tentu saja, mari duduk di ruang penerima tamu. Akan kusediakan teh karena kau adalah tamu pertama yang ada dalam kurun hari ini."
Aku mengangguk dan berjalan sembari menggunakan tongkat krek,
Aku duduk di salah satu sofa berwarna putih kecoklatan. Sofanya sangat empuk dan lembut, seperti lembutnya kukis maroon. Ia memberikan secarik teh jasmine dan aku menghirup bau daun jasmine itu sendiri.
Sangat menenangkan,
Aku meminum secangkir teh itu dan menatapnya yang sedari tadi sedang membersihkan rak antik.
"Apakah kau pernah mengetahui kasus pembunuhan atau menghilangnya Paman John? Aku memiliki fotonya."
Aku menyodorkan foto pria berambut pirang dan berjenggot lebat itu. Sayangnya Kakek tua itu menggeleng-geleng. Lagi-lagi aku tidak mendapatkan sekutip informasi.
"Dalam waktu 10 atau 20 tahun ini. Ada banyak kasus di dalam kota ini, aku tidak memperhatikan secara detail."
Jawabnya sembari mengusap rak piring berhias dekor natal kaus kaki berwarna merah dan putih. Serta hiasan permen cane, begitu aku menyadarinya. Ternyata toko-toko lain juga memiliki dekorasi natal.
"Apakah hari ini hari natal?"
"Bukan pria muda, besoklah hari perayaannya."
Sontak, aku merasa tak heran akan keadaan toko-toko yang sepi dan orang ramai menghias dekorasi penuh. Berserta dengan pohon-pohon yang memuncak tingginya.
"Ah! Aku terlalu sibuk hingga tidak menyadarinya."
Aku terkekeh,
"Aku juga tidak menyangka akan kehadiran tamu, apakah kau tinggal disini sendirian?"
"Tidak, aku masih memiliki keluarga."
Dia menjawab dengan mengangguk. Yah, walau aslinya satu-satunya keluarga yang kumiliki adalah kucing oranye. Akan tetapi ia tidak kerap mengunjungiku seperti biasanya.
Aku membawa tongkat krek dan beranjak bangun dari sofa lembut dan tipis itu.
"Maaf, dan terimakasih sudah memberikanku sekucup teh ini."
"Tidak apa-apa, nikmati hari natalmu."
Jawabnya sembari memegang cangkir antik berwarna biru berlian itu. Aku menjawab dengan anggukan tipis dan segera membuka pintu berwarna putih itu dan menutupnya kembali.
Ingin ku akui walau mereka hantu, mereka benar-benar berbicara selayaknya para manusia. Esok adalah hari natal, dan aku benar-benar sendirian. Dinginnya cuaca ini membuat warna hidung dan tanganku semerah buah ceri.
Dingin, akan tetapi takjub.
Gemerlapnya langit malam dan berbintang itu seakan-akan memberi tahuku bahwa harapan tetap ada. Dan kita tinggal mencari tahu cara mendapatkannya.
Tidak ingin menyerah, aku tetap melanjutkan penyelidikan terhadap kasus Paman John. Pertama, aku harus mencari tahu keberadaan rumah yang mungkin sudah tidak berpenghuni sekarang.
Anehnya, alih-alih tidak ada yang mengingat Paman John. Aku merasa bahwa mereka sengaja menutupinya, atau ada orang yang membuat mulut mereka rapat.
Kota ini penuh dengan hal yang bersifat magis.
Aku harap Frederick masih hidup, karena jika iya. Dia adalah orang pertama yang akan merasa takjub dengan cerita ── yang mungkin terdengar seperti bualan ini.
Aku duduk di kursi coklat sebelah toko antik itu dan meletakkan tongkat krek yang sedari tadi tepat berada di sampingku.
Jika waktu bisa terulang, apakah aku bisa menyelamatkan kota ini?
Tiba-tiba, secercah salju jatuh di hidungku. Dingin, seperti debu yang menghilang begitu saja. Apakah itu pertanda bahwa kata yang ku ucapkan kemungkinan berhasil?
Aku bergurau dengan sendirinya, mencoba menghibur diri.
Toh, mau waktu di putar sampai kapanpun. Akhir sebuah cerita, tidak akan ada jauh bedanya.