Ficool

Chapter 4 - Chapter 4

Malam itu sunyi, hanya suara hujan rintik di luar jendela kamar.

Asuka terbangun dengan perlahan, matanya menyipit saat jam di dinding menunjuk tepat pukul 12 malam.

Dia duduk di tempat tidur, mengusap wajah dengan tangan, lalu bangkit tanpa suara.

Kakinya melangkah ringan ke kamar mandi, pintu berderit pelan saat dibuka.

Setelah selesai, Asuka menarik napas dalam dan melangkah keluar dengan langkah pelan.

Di koridor, Asuka berhenti di depan kamar Ichigo.

Lampu kamar masih menyala, mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka.

Dia mengerutkan alis, penasaran, lalu berjalan mendekat dan mengintip masuk.

Dalam kamar gelap yang hanya diterangi layar monitor, Ichigo terlihat sibuk.

Tangan kanannya memainkan mouse, tangan kiri mengetik di laptop.

Asuka mengerutkan kening, bibirnya bergerak pelan, “Multitasking sekali, ya dia?”

Mata ungunya menatap tajam ke arah layar komputer.

Jari-jarinya mengepal pelan, berusaha menahan rasa ingin tertawa.

Dia menyandarkan tubuh ke dinding, suara nafasnya terdengar ringan.

Dalam hati, ia bertanya-tanya kenapa Ichigo tak terlihat mengantuk.

“Kenapa kau tidak tidur, ya?” pikir Asuka diam-diam.

“Pasti karena kemampuan ‘Immune to Anything’-nya,” gumamnya sambil tersenyum tipis.

“Peluang seratus persen, pasti kemampuan itu yang bikin dia kuat begini.”

Asuka mencondongkan kepala ke depan sedikit, memperhatikan layar dengan cermat.

Dia melihat beberapa baris kode dan game yang sedang Ichigo mainkan dengan serius.

Tiba-tiba, Ichigo menengok ke arah pintu kamar, seolah merasakan ada yang mengintip.

Matanya bertemu dengan Asuka yang masih berdiri di sana, dan dia tersenyum kecil.

“Kau ngintip dari tadi?” tanyanya santai, tanpa mengubah ekspresi.

Asuka menarik napas, lalu menutup pintu pelan-pelan.

“Nggak lah, cuma lewat saja,” jawabnya sambil berbalik pergi.

Namun, langkah Asuka tak langsung menjauh, dia berhenti sejenak.

Memandang ke arah pintu kamar yang baru saja ia tutup.

“Kalau aku yang punya kemampuan ‘Touch of Death’, mungkin sudah ku sentuh,” pikirnya.

Ia tersenyum kecil, lalu berbalik dan melangkah menuju kamarnya sendiri.

Suara hujan di luar masih setia menemani malam yang panjang.

Kamar Ichigo kembali gelap, hanya layar komputer yang menyala.

Di sana, dia terus bekerja, mengetik dan bermain tanpa lelah.

“Bagaimana bisa kau tetap segar seperti ini?” Asuka berbisik dalam hati.

Mungkin memang tak ada yang bisa melukainya, pikir Asuka.

Sebuah misteri yang membuatnya semakin penasaran tentang pria di kamar itu.

Sementara itu, di kamar sendiri, Asuka membuka jendela kecil.

Angin malam yang dingin masuk, menyentuh wajah pucatnya.

Ia memandang ke langit yang gelap dan bertanya dalam hati.

“Apa yang sebenarnya membuat kau terus berjuang, Ichigo?”

Dengan senyum samar, ia menutup jendela perlahan.

Lalu ia merebahkan tubuhnya, menatap langit-langit kamar.

Pikirannya berkeliaran tentang pria yang tak pernah lelah itu.

Keheningan malam menjadi saksi bisu rasa penasaran dan kekagumannya.

Malam itu, sebuah ikatan tak terlihat mulai menguat di antara mereka.

Dan hujan tetap turun, tak peduli apa yang sedang terjadi di dalam kamar.

---

Pagi hari itu jam 05:15 dia awali dengan

Suara ketukan pelan terdengar di pintu kamar Asuka.

“Asuka, bangun. Sudah pukul lima lewat lima belas,” ujar Ichigo dari luar.

Gadis berambut ungu pucat itu menggeliat di bawah selimut.

Tangan kirinya terjulur mencari bantal untuk ditimpa ke wajah.

“Kau kejam sekali, Ichigo…” gumamnya sambil menguap panjang.

Pintu terbuka sedikit, suara Ichigo terdengar lagi, datar dan tanpa beban.

“Ayo, kuantar kau pulang. Kita harus sekolah nanti, ingat? Kau tak bawa pakaian ganti.”

Asuka membuka sebelah mata, menatap langit-langit sambil mendengus.

“Jadi ini yang namanya pengusiran secara halus?” ucapnya malas.

“Dan kau tahu? Ini masih pagi sekali, Ichigo…” tambahnya, suaranya berat karena kantuk.

Ichigo berdiri di ambang pintu, tangan di saku celana.

“Cuci muka sana. Aku tunggu di dapur,” ucapnya tanpa menoleh lagi.

Asuka memutar mata, lalu duduk perlahan, rambutnya berantakan parah.

Ia bangkit, menggeliat seperti kucing, dan menyeret kaki menuju kamar mandi.

“Dasar cowok tanpa rasa kasihan,” bisiknya sambil mencuci muka.

Air dingin menyentuh kulit wajahnya, membuatnya sedikit tersadar.

Dia menatap cermin, rambut ungu pendeknya menempel ke dahi.

“Asuka Valkryie, si sentuhan kematian yang bisa dibangunkan jam lima pagi,” sindirnya sendiri.

Setelah membersihkan wajah, ia mengeringkannya dengan handuk kecil.

Langkahnya kembali pelan menuju dapur tempat Ichigo menunggu.

Ichigo sedang menyiapkan dua piring roti panggang dan segelas susu.

Tanpa melihat ke belakang, dia berkata, “Ayo sarapan dulu.”

Asuka duduk dengan malas di kursi makan, menguap lagi lebar-lebar.

“Kau seperti ibu-ibu yang suka bangunin anaknya sekolah,” komentarnya nyengir.

Ichigo hanya menoleh sekilas dan menaruh roti di depan Asuka.

“Kalau aku ibumu, kau pasti sudah kulempar ke luar rumah,” balas Ichigo datar.

Asuka mendengus, “Untung aku bukan anakmu. Gila kau, Ichigo.”

Tangannya mengambil roti dan menggigitnya pelan.

“Enak juga sih… walau kau menyebalkan,” ujarnya sambil mengunyah.

Ichigo mengangkat bahu, “Sarapan tetap penting. Sekalipun untuk monster pembunuh seperti kau.”

Asuka terdiam sebentar, lalu menatap Ichigo dengan senyum setengah malas.

“Kau satu-satunya orang yang bisa ku sentuh tanpa dia mati mendadak,” gumamnya.

Ichigo memandang Asuka sejenak, lalu mendekat perlahan.

Tiba-tiba ia mencubit pipi kiri Asuka tanpa peringatan.

“Dan kau satu-satunya yang punya pipi selembut ini yang bisa ku cubit sepuasnya.”

Asuka memelototinya, pipinya masih ditarik ke samping.

“Lepaskan tanganmu, Ichigo!” teriaknya panik, wajah memerah.

“Tentu saja tidak,” jawab Ichigo santai, “Kau tak bisa membunuhku, bukan?”

“Aku tetap perempuan, tahu! Ada harga dirinya!” protes Asuka sambil menarik pipinya sendiri.

Ichigo tertawa pelan, lalu melepaskannya dengan senyum kecil.

Mereka berdua menyelesaikan sarapan dalam diam yang nyaman.

Sesekali Asuka mencuri pandang ke arah Ichigo yang sedang menghabiskan susunya.

Wajah Ichigo tampak tenang, datar seperti biasa, tapi ada kehangatan samar.

Asuka menghela napas panjang, lalu bangkit dari kursi.

“Aku siap. Ayo, antar aku pulang, manusia kebal segala macam.”

Langkah mereka menuju pintu rumah terasa ringan meski cuaca masih dingin.

Ichigo mengambil jaket tipis lalu menyerahkannya ke Asuka.

“Pakailah. Udara pagi bisa bikin manusia biasa mati membeku,” katanya setengah bercanda.

“Sayangnya aku tidak ‘biasa’, aku pembawa kematian,” jawab Asuka sambil memakai jaket.

Ichigo mengangguk, “Tepat. Tapi tetap bisa pilek, dan itu menyebalkan.”

Mereka keluar rumah, jalanan masih sepi, langit berwarna oranye keunguan.

Sepatu mereka berbunyi pelan di atas aspal basah bekas hujan semalam.

Ichigo berjalan sedikit di depan, Asuka mengikuti sambil menyilangkan tangan.

“Aku heran, Ichigo,” ucap Asuka akhirnya, “kenapa kau nggak takut padaku?”

Ichigo menoleh, lalu menatapnya datar, “Karena aku satu-satunya orang yang bisa menyentuh mu tanpa mati sama sekali seperti orang lain."

Asuka tertawa kecil, “Itu alasan yang sangat tidak romantis.”

Ichigo menyipitkan mata. “Kau mau yang romantis?”

Dia berhenti berjalan, menatap langsung ke mata ungu pucat milik Asuka.

“Kalau aku mati saat menyentuhmu, aku masih tetap akan melakukannya,” ucapnya pelan.

Asuka terdiam, wajahnya memerah seperti tomat rebus, tak bisa menjawab.

“…Kau gila,” katanya akhirnya dengan suara kecil.

Ichigo berjalan lagi. “Mungkin. Tapi aku gila dengan logika.”

Asuka menunduk, memainkan jari-jari di balik lengan jaketnya.

Jantungnya berdebar aneh—tidak biasa untuk seseorang sepertinya.

Dia memandang punggung Ichigo yang berjalan di depannya, senyum tipis menghiasi wajahnya.

Perjalanan ke rumah Asuka masih panjang. Tapi bagi mereka berdua...

Waktu terasa cukup lambat.

Dan pagi itu, meski biasa…

Ada sesuatu yang berbeda dalam udara.

Sesuatu yang hangat… meski berasal dari dua orang yang begitu berlawanan.

---

Langkah kaki mereka berhenti tepat di depan pagar rumah Asuka Valkryie.

Udara pagi masih dingin, embun masih menempel di pagar besi, dan suara burung belum terdengar ramai.

Ichigo menyelipkan kedua tangan ke saku celananya, menoleh ke Asuka yang berdiri memeluk tasnya sambil menunduk kecil.

Lalu, dengan ekspresi datar khasnya, dia bersuara,

"Ini masih jam 05:55 pagi, jangan terlambat Asuka Valkryie si ungu pucat."

Tanpa aba-aba, tangan Ichigo terulur.

Dengan cuek dan pelan, ia mencubit pipi Asuka.

Bukan hanya mencubit—dia remas pelan-pelan dengan santainya seolah pipi Asuka adalah marshmallow gratis.

Asuka pun langsung bereaksi dengan ekspresi meringis setengah geli, setengah kesal.

"Mmmmmmppphhh! Jan... jangan mentang-mentang cuma kau yang bisa menyentuhku dengan bebas, terus kau jadi seenaknya!"

Ichigo masih datar, seolah itu hal normal seperti napas pagi.

Tangannya malah makin nekat, sekarang kedua pipi Asuka dia tarik ke samping sambil tetap melihat lurus.

"Ngomongnya begitu, tapi hatimu... tidak menolak."

Asuka mengedipkan mata cepat beberapa kali, lalu memukul pelan dada Ichigo dengan kedua tangannya yang kecil.

"Bukan berarti aku suka juga kalau diperlakukan seperti boneka karet tiap pagi!"

"Tapi kau tidak menolak." balas Ichigo sambil melepaskan pipinya.

"Itu karena aku malas berdebat sepagi ini... dasar manusia tak punya malu."

Ichigo mengangkat alis sedikit.

"Manusia tak punya malu yang satu-satunya bisa menyentuh si touch of death, ya?"

Asuka langsung menunduk, wajahnya sedikit memerah, lalu menggumam pelan.

"...nggak usah diulang-ulang juga, aku tahu itu."

Beberapa menit kemudian, Ichigo pun membalikkan badan santai.

"Sana, cepat ganti baju. Aku tunggu di pojokan gang depan."

Asuka mengangguk sambil masuk ke dalam rumahnya, langkahnya cepat dan ringan.

Ichigo menyandarkan badan di dinding gang, menunggu sambil memandangi langit yang mulai berubah warna.

30 menit berlalu...

Jam menunjukkan pukul 06:15 saat keduanya melangkah bersama di depan gerbang SMA Kurozakura.

Asuka berjalan setengah mengantuk, sesekali menguap sambil merapikan kancing bajunya.

Ichigo melangkah seperti biasa, tak terlalu cepat, tak terlalu lambat, tangan kembali masuk ke saku.

"Kau tidur di jalan tadi ya? Kenapa seperti zombie begitu?" tanya Ichigo santai.

"Aku baru tidur jam 2 karena aku terlalu mikir kenapa aku bisa menginap di rumah orang tak tahu malu..." gumam Asuka.

"Kau yang ikut saran orang tak tahu malu itu."

"Karena aku basah kuyup kehujanan dan itu salahmu juga!"

Suasana pagi sekolah mulai ramai dengan siswa yang berdatangan.

Sapaan, tawa, dan suara pintu kelas terbuka dan tertutup menyatu menjadi irama khas pagi SMA.

Langkah mereka menyusuri lorong sambil sesekali bertukar obrolan ringan.

Asuka terlihat lebih segar setelah ganti baju, rambut ungunya tergerai lemas di bahunya.

"Kau tahu? Aku mulai terbiasa dengan aroma sekolah pagi-pagi begini..." ucap Asuka.

"Itu karena selama ini kau masuk siang terus... mungkin." Ichigo menyindir tanpa melihatnya.

Akhirnya, mereka tiba di depan kelas 2-B.

Ichigo mendorong pintu geser kelas dengan satu tangan.

Asuka melangkah masuk terlebih dulu, menatap murid-murid yang sebagian sudah duduk, sebagian masih ngobrol di belakang.

"Lihat, dunia belum kiamat. Kita masih hidup." kata Ichigo pelan.

"Iya... dan kau masih tukang cubit pipi yang menyebalkan."

Mereka menuju bangku masing-masing.

Beberapa teman mulai menyapa, beberapa hanya melirik penasaran.

Hari baru dimulai, tapi hubungan absurd antara si kebal terhadap apa pun dan si sentuhan kematian—baru memanas.

Dan jam pelajaran pertama pun akan segera dimulai...

---

Jam istirahat pun tiba

Suara bel panjang menggema di seluruh penjuru sekolah.

KRIIIIIIIIINNNKKKKKKKK

Suara yang disambut dengan suara kursi digeser, tawa, dan obrolan ringan dari para siswa yang langsung berdiri dan merenggangkan badan.

Ichigo masih duduk santai di kursinya, satu tangan menopang dagu sambil memandangi langit-langit kelas.

Tangannya yang lain menepuk-nepuk pelan tas bento di atas mejanya.

"Makan bento di kelas saja itu sudah cukup." ucap Ichigo datar tanpa menoleh.

Asuka yang duduk di sebelahnya memiringkan kepala, satu tangan menopang dagu sambil memandangi Ichigo penuh ekspektasi.

"Kenapa tidak ke atap saja? Biar kita berdua seperti tokoh dalam manga atau anime romcom saja?"

Dia menyenggol bahu Ichigo pelan, senyumnya geli.

"Kau main characternya, aku heroin-nya~"

Ichigo mendecak pelan.

Dia menoleh pelan ke arah Asuka dengan ekspresi deadpan face yang sangat khas.

"Terlalu template, mainstream, dan terlalu klise, kau tahu kan?"

Jari telunjuknya menunjuk tepat ke dadanya sendiri, lurus dan jelas.

"Lagipula, kau sudah jadi heroin dalam cerita ini… sekaligus kau sudah jadi heroin di sini."

Asuka terdiam.

Matanya membesar beberapa detik.

Pipinya langsung menghangat seperti habis kena uap nasi bento.

"Jujur... aku sebenarnya di antara ingin muntah atau terpesona."

Dia menutup mulut pakai tangan, mata berkedip-kedip.

"Ingin muntah 20% dan terpesona 80%."

Ichigo mengambil sumpit dari bungkusan dan dengan santainya mulai membuka bentonya.

Tanpa ekspresi berlebih, dia menyahut sambil mengaduk nasi.

"Itu bagus. Aku akan melakukannya lagi biar kau muntah-muntah."

Tangan kanan Ichigo mengambil sepotong ayam karaage dan mulai mengunyahnya perlahan.

Seolah barusan dia tidak mengucapkan kata-kata paling mengguncang perasaan.

Asuka memukul meja dengan pelan pakai kedua tangannya.

"Heyy!! Seharusnya kau itu membuatku terpesona, terpikat, merona!"

Matanya berkilat sedikit protes, tapi bibirnya malah membentuk senyum lebar penuh geli.

"Bukannya begituuu! Ichigo si Immune to Anything yang tampan rambut hitam model dua jari!"

"Yang super kaku dan tidak ngerti cara jadi romantis!"

Ichigo menoleh dengan tatapan datar yang sangat, sangat Ichigo.

"Pipimu saja sudah merah merona sebelum aku banyak kata."

Dia mengunyah karaage lain sambil menatap lurus ke Asuka.

"Apalagi kalau aku mulai banyak bicara."

Asuka langsung menutup wajah pakai telapak tangan.

"Kau ini... serius... kenapa sih bisa punya efek mematikan begini?"

Dia bersandar di kursinya, menatap langit-langit sambil menggoyangkan kaki.

"Aku bisa pingsan kalau kau terus begitu tiap hari."

Ichigo mengambil sepotong telur gulung dari bentonya dan menaruh satu potong ke sumpitnya.

Lalu, dengan santai, dia sodorkan itu ke Asuka.

"Makanlah, sebelum kau pingsan karena efek dari aku."

Asuka melirik telur gulung itu.

Lalu melirik Ichigo.

Lalu melirik lagi telur itu.

"Kau serius mau nyuapin aku di kelas? Di depan semua orang?"

Ichigo tetap mematung, ekspresi tetap datar.

"Jangan banyak mikir, mulutmu buka saja."

Asuka diam satu detik.

Lalu dia pelan-pelan membuka mulutnya, seperti burung kecil disuapi induknya.

Sumpit perlahan masuk.

Asuka mengunyah perlahan.

Wajahnya seperti ingin tertawa, tapi dia tahan.

"Gawat, ini manis banget... bukan karena telur gulungnya tapi karena momen ini."

Ichigo kembali duduk tenang dan makan seperti tidak terjadi apa-apa.

"Makan cepat, bel masuk tinggal lima belas menit."

Asuka mendesah kecil sambil tersenyum.

"Sumpah... aku bisa bertahan satu semester penuh kalau tiap istirahat seperti ini."

Dia menatap bento Ichigo.

"Tapi kalau tiap kali aku merah muka... kau harus tanggung jawab, tahu?"

Ichigo menoleh sebentar, lalu mengalihkan pandangan.

"Aku selalu tanggung jawab."

More Chapters