Ficool

Chapter 3 - Bab 3 – Suara yang Tak Pernah Didengar

Senja baru saja tenggelam, menyisakan langit jingga yang memudar perlahan. Di apartemen mewah lantai dua puluh tiga, Naira duduk termenung di depan cermin. Lipstik merahnya belum sempat disentuh. Rambutnya sudah rapi, gaun semi formal warna hitam sudah membalut tubuhnya, tapi semangatnya tak pernah benar-benar hadir malam ini.

Damar berjanji akan menjemputnya pukul tujuh. Akan ada gala dinner dari perusahaan rekanan, dan ia ingin Naira ikut—bukan sebagai istri, tapi sebagai "rekan kerja" yang hadir atas permintaan pribadi CEO.

Ia menunduk, menatap cincin perak di jari manisnya. Cincin itu saksi bisu dari ijab kabul sederhana dua bulan lalu. Tanpa pesta, tanpa restu keluarga, hanya ucapan sah dari penghulu dan saksi yang Damar sewa seperti asisten kantor.

Pukul tujuh lewat lima belas.

Tak ada kabar.

Naira menarik napas dalam, lalu membuka ponsel. Tidak ada pesan masuk. Tidak ada panggilan tak terjawab.

Ia akhirnya memutuskan untuk membuka Instagram. Jempolnya menggulir layar sampai berhenti pada unggahan Laras, wanita yang namanya sudah beberapa kali disebut-sebut oleh teman-teman kantor sebagai "calon istri Damar."

Dalam foto itu, Laras tampak memeluk seorang wanita setengah baya—ibunya, mungkin. Di caption tertulis: "Doakan kami, semoga bulan depan dilancarkan."

Hatinya mencelos. Lagi-lagi Laras. Lagi-lagi Damar tak mengatakan apa pun.

Pintu apartemen terbuka setengah jam kemudian. Damar masuk sambil menenteng jas. Ia tampak lelah, tapi tidak bersalah. Matanya langsung menangkap sosok Naira yang masih duduk, kini tanpa ekspresi apa pun.

"Kamu belum siap?" tanyanya, meski jelas Naira sudah berpakaian rapi.

"Aku udah siap dari satu jam lalu," jawabnya datar.

Damar mendekat, merapikan dasinya. "Sorry, aku stuck di kantor."

Naira menatapnya dari cermin, tanpa berpaling. "Kenapa nggak bilang dari awal kalau kamu lebih nyaman datang sama Laras?"

Damar diam. Tak ada respons. Tapi diamnya terlalu keras untuk tidak terasa menyakitkan.

Naira bangkit. Ia melepas antingnya satu per satu, lalu duduk kembali di sisi ranjang. "Aku bukan selingkuhanmu, Mar. Tapi kenapa rasanya seperti itu?"

"Jangan mulai lagi, Nai. Kita udah bahas ini."

"Belum," potongnya tajam. "Yang kamu lakukan hanya diam. Menjauh. Menghindar. Seolah-olah aku cuma salah satu proyek sementara."

Damar mendekat. Wajahnya tetap tenang, tapi tangan kirinya mengepal. "Kamu tahu alasan semua ini."

"Demi warisan?" tanya Naira tajam. "Demi menyenangkan keluargamu yang bahkan gak tahu kamu udah nikah?"

Ia menatap wajah suaminya dalam-dalam. Sosok yang dulu membuatnya jatuh cinta karena keberanian dan sikap melindungi, kini berubah jadi bayangan yang tak bisa ia sentuh.

"Aku lelah pura-pura gak apa-apa, Mar," bisiknya. "Aku perempuan. Aku butuh diakui. Aku butuh pegangan. Bukan hanya pelukan tengah malam dan janji yang tak pernah ditepati."

Damar tak menjawab. Ia tahu kata-kata Naira benar. Tapi keberanian untuk melawan keluarganya belum cukup kuat.

Malam itu, Naira melepas gaunnya sendiri. Membersihkan makeup sendiri. Dan tidur sendiri, meski pria yang disebut suami ada dalam satu atap bersamanya.

Namun tak ada pelukan.

Tak ada ciuman.

Hanya kesunyian, dan seorang perempuan yang mulai kehilangan kepercayaan pada cinta yang katanya halal, tapi tak pernah nyata.

---

More Chapters