Ficool

Chapter 2 - BAB 2 : MATA YANG PERNAH MENYEMBUHKAN

Pagi itu, hujan belum reda. Langit Jakarta mendung dan kelabu. Namun di lantai 56 Wira Tower, kesibukan tetap menggeliat seperti biasa. Nayla datang lebih awal dari jam masuk kantor, membawa kopi dan laporan. Ia duduk di meja kecil luar ruang CEO, menunggu instruksi lanjutan dari Adrian untuk audit internal Branta Lintas.

Namun, sejak semalam, pikirannya tidak tenang.

Adrian.

Kalimat terakhir pria itu kemarin masih terngiang jelas:

"Di gedung ini, yang benar belum tentu menang."

Apakah dia sedang memperingatkan? Atau menyuruhnya berhenti?

Nayla ingat betul siapa Adrian ketika dulu mereka masih mahasiswa. Bukan hanya cerdas dan perfeksionis, Adrian juga keras kepala dan idealis. Tapi ada satu hal yang membuatnya dulu jatuh hati: Adrian selalu membela yang lemah, meski harus melawan dunia.

Namun kini, pria itu berbeda. Tatapannya dingin, lisannya tajam, dan ekspresinya seperti topeng. Nayla tak tahu, apakah itu hasil dari tekanan bertahun-tahun sebagai CEO... atau dari luka yang belum tersembuhkan.

---

09.10 WIB – Ruang Arsip Keuangan

Nayla menelusuri puluhan berkas transaksi Branta Lintas. Ia ditemani dua staf muda, Tika dan Bima. "Kita fokus ke Q1 dan Q2 dulu," ucap Nayla, "Cari invoice yang tidak sesuai nominal transfer."

Tika mengangguk, Bima sudah membuka file digital dari sistem internal. Selama satu jam mereka bekerja dalam diam, sampai akhirnya Tika menemukan kejanggalan: "Mbak Nayla, ini ada invoice dari PT Mitra Sejati, nilainya 2,1 M tapi di rekening hanya tercatat 1,1 M."

Nayla mendekat, memeriksa data. "PT Mitra Sejati... Perusahaan ini bukan vendor resmi kita, kan?"

"Bukan, Mbak," jawab Bima cepat. "Dan alamatnya di luar negeri. Seychelles."

Nayla mencatat. "Oke. Ini salah satu aliran dana mencurigakan. Kita cari pola lain."

Di layar, perlahan tapi pasti, sebuah skema mulai terbentuk. Pengalihan dana, invoice palsu, vendor luar negeri—semua mengarah ke satu hal: korupsi internal.

Dan yang lebih mengejutkan, tanda tangan persetujuan beberapa transaksi… adalah milik orang-orang yang duduk di jajaran direktur utama.

---

Sore hari – Kantin Karyawan

Nayla duduk sendiri. Ia menghindari interaksi terlalu banyak karena atmosfer kantor terasa penuh tekanan. Ia baru saja hendak menyuap makanannya ketika suara Rio terdengar dari belakang.

"Nayla, boleh gabung?"

"Tentu, Mas."

Rio duduk, membawa kopi dan camilan. "Kudengar kamu udah temuin pola transaksi Branta?"

"Baru sebagian. Tapi makin dalam dilihat, makin besar skalanya. Ini bisa sampai ke komisaris."

Rio mengangguk pelan, lalu menatap Nayla dengan serius. "Kamu yakin mau terusin ini?"

Nayla membalas tatapan itu. "Kenapa enggak?"

"Karena ini bukan sekadar uang, Nay. Ini soal kekuasaan. Orang-orang itu punya koneksi ke politik, media, dan bahkan penegak hukum."

"Justru karena itu harus dibongkar," tegas Nayla.

Rio menatapnya beberapa detik, lalu menghela napas. "Kamu masih sama seperti dulu ya... keras kepala."

Nayla tersenyum tipis. "Saya belajar dari seseorang."

Rio mengerutkan dahi. "Adrian?"

Nayla tidak menjawab, hanya memalingkan wajah.

---

Malam hari – Ruang CEO

"Masuk," jawab Adrian dari dalam saat Nayla mengetuk pintu.

Ia melangkah masuk, membawa berkas ringkasan audit tahap awal.

"Ini laporan awal audit Branta. Saya temukan lima transaksi mencurigakan, melibatkan dua vendor luar negeri, dan kemungkinan besar terhubung ke pejabat internal," ucap Nayla.

Adrian membaca cepat. Wajahnya tetap datar, meskipun matanya sedikit menyipit ketika melihat nama-nama yang tertera.

Ia meletakkan map itu di meja. "Kamu tahu, semua ini bisa meledak. Kalau kamu salah langkah, kamu bukan cuma kehilangan pekerjaan, tapi bisa… hilang reputasi."

"Saya tahu risikonya, Pak."

Adrian berdiri. "Lalu kenapa tetap lanjut?"

Nayla menatap pria itu dalam-dalam. "Karena saya enggak ingin jadi pengecut. Seperti saya dulu."

Ucapan itu menusuk.

Adrian terdiam. Ada ketegangan aneh di antara mereka. Lalu, perlahan Adrian berkata, "Tiga tahun lalu, waktu kamu pergi... aku sempat berpikir, kamu pergi karena takut."

Nayla menarik napas dalam. "Aku memang takut. Tapi bukan karena pekerjaan. Karena perasaan."

Adrian menatapnya lama. Tapi sebelum sempat berkata apa-apa, ponsel di mejanya berdering. Ia melihat layar, lalu berkata, "Maaf. Aku harus angkat ini."

Nayla mengangguk dan keluar. Tapi di depan pintu, ia sempat berhenti.

Dalam hatinya, ia bertanya-tanya…

Apakah mereka benar-benar sudah selesai?

Atau luka yang tak pernah terucap itu… masih menganga di antara mereka?

Hujan di luar masih mengguyur deras, mengiringi langkah Nayla menuju ruang kerjanya. Seperti biasa, pagi-pagi sekali ia tiba di kantor, membawa secangkir kopi hangat dan berkas audit yang harus segera diperiksa. Tapi, meskipun sibuk dengan pekerjaannya, pikirannya kembali melayang pada percakapan semalam dengan Adrian.

Kalimat terakhir pria itu masih terngiang di benaknya: "Di gedung ini, yang benar belum tentu menang." Apa yang ingin Adrian sampaikan? Perasaannya semakin kabur, tak seperti dulu.

Nayla duduk di meja kecil luar ruang CEO. Ada secangkir kopi di tangannya, tapi ia tidak merasa segar. Di pikirannya, hanya ada satu nama: Adrian.

Ia teringat pada mata pria itu. Mata yang dulu begitu menyembuhkan, mampu meredakan ketegangan dalam hatinya. Adrian yang dulu adalah pria yang idealis, yang selalu membela yang lemah. Seiring waktu, Nayla mulai melihat perubahan pada dirinya. Mata itu, yang dulunya penuh kasih dan kepercayaan, kini menjadi dingin dan tajam. Namun ada satu hal yang tak berubah—kehadiran Adrian yang selalu bisa mengusir rasa takut dalam dirinya.

Kenangan itu kembali menghangatkan hatinya, meskipun perasaan itu kini penuh dengan luka yang tak terselesaikan.

---

Adrian, di balik pintu kaca ruang CEO, juga sedang memikirkan Nayla. Sebuah percakapan beberapa tahun lalu, saat mereka masih di kampus, muncul dalam benaknya. Mereka pernah berbicara panjang lebar tentang bagaimana mereka ingin mengubah dunia, bagaimana mereka ingin berjuang untuk keadilan.

Tapi itu dulu. Sekarang, seiring dengan naiknya posisi Adrian, dunia tampaknya telah mengubahnya. Dunia korporat, dengan segala permainan dan kekuasaannya, telah membuatnya kehilangan idealisme. Bahkan kini, ketika melihat Nayla yang masih berpegang pada prinsip yang sama, ada rasa cemas dalam dirinya. Apakah ia bisa melindungi wanita itu dari dunia yang telah mengubahnya menjadi seperti ini?

Tapi di sisi lain, sebuah pertanyaan mengguncang pikirannya. Apakah Nayla datang kembali untuk menuntut keadilan? Atau apakah ia datang untuk menggugatnya?

---

Saat Nayla kembali ke ruang kerjanya, ia merasa sepi. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah detak jarum jam di dinding dan suara hujan di luar. Ia melirik layar komputernya—laporan audit yang sudah ia mulai selesaikan. Namun, hati dan pikirannya terbelah. Apakah ia benar-benar siap melawan kekuatan yang ada di balik perusahaan ini?

Pikiran itu mengganggunya. Ia tahu apa yang akan terjadi jika ia salah langkah. Ini bukan hanya tentang pekerjaan, tapi juga tentang harga diri dan keadilan. Ia tak bisa mundur begitu saja.

Namun, bayangan Adrian kembali muncul dalam benaknya. Adrian yang dulu begitu kuat, kini tampak seperti pria yang tenggelam dalam lautan ketakutan dan penyesalan.

Sudah berapa lama sejak mereka terakhir berbicara dengan jujur? Mungkin, mereka harus menghadapi lebih dari sekadar pekerjaan ini. Mungkin, mereka harus menghadapi luka lama yang menganga di antara mereka.

---

Pagi ini, Nayla tahu satu hal pasti: Apa pun yang terjadi, ia tak akan mundur. Ia tak akan menjadi pengecut lagi, seperti yang pernah ia rasakan dulu. Ia akan menggali lebih dalam, mencari tahu siapa yang ada di balik permainan kotor ini.

Namun, dalam hatinya, ia masih bertanya: Apakah Adrian masih ada di pihaknya?

Atau adakah sesuatu yang lebih besar dari sekadar pekerjaan dan keadilan yang akan mengubah segala hal di antara mereka?

More Chapters