Ficool

Chapter 5 - BAB 5 : SEBUAH KALUNG YANG TERTINGGAL

Pagi yang kelabu — Rumah Ayunda

Di meja kayu tua dekat jendela, secangkir teh melambungkan uap tipis ke udara, namun tak seorang pun menyentuhnya. Ayunda berdiri membelakangi Nayla, tangannya menggenggam sesuatu yang berkilau samar di cahaya pagi.

"Sebenarnya," ucap Ayunda lirih, "aku tidak sepenuhnya diam."

Nayla melangkah mendekat. "Apa maksudmu?"

Ayunda membuka genggamannya. Di telapak tangannya terbaring sebuah kalung perak, liontinnya kecil, berbentuk lingkaran datar. Polos. Tapi di sisi dalam liontin itu, ada ukiran inisial yang hanya bisa dibaca dari sudut tertentu: A & N.

Nayla tertegun. "Itu..."

"Adrian menitipkannya padaku, dua hari sebelum dia menghilang."

Kalung itu dulunya milik Nayla. Hadiah ulang tahun dari Adrian, ketika mereka masih memperjuangkan mimpi bersama—sebelum semuanya runtuh.

"Kenapa dia titipkan padamu?" tanya Nayla, suaranya nyaris tak terdengar.

"Dia bilang... kalau dia tak kembali, kalung ini harus kembali ke tanganmu. Dan kamu harus membukanya."

Nayla mengernyit. "Membukanya?"

Ayunda mengangguk. "Lihat sisi dalam liontin itu. Ada celah kecil."

Dengan jari gemetar, Nayla memutar liontin itu. Pelan, namun pasti, bagian belakang liontin bergeser, terbuka seperti kunci rahasia. Di dalamnya... terselip sebuah chip micro SD mungil, tak lebih besar dari kuku jari kelingking.

Dunia seakan berhenti berputar sesaat.

Nayla menatap Ayunda. "Kamu tahu ini apa?"

Ayunda menggeleng. "Aku tidak pernah berani membukanya. Kalau Adrian sampai menyembunyikan data di tempat sekecil ini, maka itu bukan cuma bukti... mungkin juga petunjuk terakhir."

---

Beberapa jam kemudian — Rumah Eka Satria

Eka menatap layar laptopnya, alisnya mengerut. "Ini bukan data biasa. Ini... rekaman."

Nayla berdiri di belakangnya, menahan napas.

Eka memutar file pertama. Suara Adrian terdengar pelan, seperti merekam di tempat sempit.

> "Kalau kamu mendengar ini... berarti aku gagal."

"Branta bukan hanya perusahaan. Ia adalah wajah dari sesuatu yang lebih tua, lebih dalam. Rio bukan otak di balik semua ini. Dia hanya juru bicara. Yang ada di balik tirai... tak pernah menampakkan wajah."

"Tapi mereka lupa satu hal—aku bukan sendirian. Nayla, kamu akan tahu ke mana harus pergi. Mulailah dari kode di kalung ini. Ikuti jejak terakhirku."

Suara berhenti.

Nayla menatap Eka. "Kode di kalung?"

Eka mengambil liontin itu, memindainya dengan scanner kecil. Muncul satu baris teks terenkripsi:

#RK-LT.17/33 – NOVA.PINTU.KEDELAPAN

Eka menghela napas panjang. "Apa pun ini... Adrian ingin kamu membukanya."

Dan mungkin, itu adalah awal dari akhir kebenaran yang selama ini disembunyikan.

Sore hari — Gudang Arsip Lama, Lantai Bawah Tanah Branta Lintas

Alamat dalam kode mengarah ke ruang terdalam dari gedung Branta Lintas yang lama—lantai bawah tanah yang sudah ditutup untuk umum selama hampir dua tahun, konon karena "renovasi sistem keamanan". Tapi Nayla tahu lebih dari itu: ruangan ini dulunya adalah pusat data internal pertama Branta, sebelum dipindahkan ke gedung baru. Jika Adrian meninggalkan sesuatu, maka tempat ini masuk akal.

Eka dan Nayla menyusup lewat tangga darurat. Lampu-lampu pendar di dinding hanya menyala sebagian, menciptakan suasana yang muram dan lembap. Aroma debu dan besi tua menyengat.

Di ujung lorong, ada satu pintu logam—dengan tulisan nyaris pudar: PINTU 8.

Nayla melirik Eka. "Kodenya bilang 'Pintu Kedelapan'..."

Eka menarik napas dalam. "Kita tidak bisa mundur sekarang."

Mereka mendorong pintu itu bersama. Bunyi engsel tua berderit seperti jeritan dari masa lalu. Di dalam, ruangan seluas kelas sekolah terbentang. Ada meja-meja logam, lemari besi berderet, dan satu layar monitor tua yang masih menyala dengan lampu hijau redup. Di sudut ruangan, ada lemari kaca yang terkunci rapat—dan di baliknya, satu koper hitam dengan stiker lusuh: RK-LT.17/33.

"Ini dia..." gumam Nayla.

Eka mencari-cari alat pembuka. Tapi Nayla sudah tahu apa yang harus dilakukan. Ia membuka liontin kalungnya lagi, dan mengambil chip kecil itu. Di bagian bawah chip, ada semacam lapisan magnetik logam bulat. Nayla mendekatkannya ke laci koper.

Klik.

Terkunci selama bertahun-tahun, koper itu membuka hanya dengan sentuhan liontin.

Di dalamnya—segelintir dokumen, foto-foto polaroid buram, dan satu buku catatan kecil dengan sampul hitam.

Nayla membukanya.

Halaman pertama ditulis dengan tangan Adrian sendiri:

> "Jika kamu membaca ini, Nayla, berarti aku tak lagi di dunia yang sama denganmu. Tapi aku harap kau masih punya keberanian untuk menyelamatkan kebenaran, meski dengan nyawa sebagai taruhannya."

"Ayunda adalah satu dari sedikit yang tahu ini. Rio tahu sebagian. Tapi hanya kamu... yang bisa membuka semuanya."

---

Malam hari — Kembali di Apartemen Nayla

Nayla membaca setiap halaman buku catatan itu. Isinya: daftar transaksi, nama-nama eksekutif, peta alur uang gelap dari proyek Nova Satu ke beberapa perusahaan cangkang luar negeri. Tapi yang paling mengejutkan... ada satu halaman yang tertulis dengan tinta merah:

> "Pengkhianat sesungguhnya adalah mereka yang berdiri paling dekat dengan cahaya."

Eka menatap catatan itu. "Maksudnya... orang dalam?"

Nayla mengangguk pelan. "Seseorang yang kita percaya."

Kemudian Eka menunjuk satu nama yang muncul berkali-kali dalam catatan itu.

Ragil.

Direktur Keuangan Branta. Orang yang tadi siang mengancam Nayla.

Kini semuanya mulai menyatu.

---

Ending Bagian 2:

Ponsel Nayla berdering. Nomor tidak dikenal.

Ia angkat dengan hati-hati.

> "Kau membuka kalung itu."

Suara laki-laki, dalam dan terdistorsi.

> "Kau sudah memilih sisi. Sekarang bersiaplah kehilangan semuanya."

Sambungan terputus.

Tapi Nayla sudah tahu: tidak ada jalan kembali.

Pagi Hari — Sebuah Kafe Tersembunyi di Tebet

Nayla duduk di pojok ruangan, di balik jendela berembun. Di depannya, kopi hitam dingin tak tersentuh. Eka datang membawa secangkir teh, wajahnya lelah.

"Ini... kita sudah cari semua nama yang ada di buku catatan Adrian," katanya sambil menyerahkan selembar print-out.

"Dan?" tanya Nayla, nyaris tak bersuara.

"Setidaknya tiga nama sudah mati. Dua di antaranya dalam kecelakaan misterius tahun lalu. Satu orang hilang."

Nayla memejamkan mata. Ada rasa nyeri yang mengendap di dada. "Ini bukan cuma soal korupsi. Ini pembantaian diam-diam."

Ia memandangi liontin kalung di tangannya, perlahan membuka penutup kecilnya, mengamati chip di dalam. Dulu benda ini hanyalah hadiah ulang tahun dari Adrian—atau setidaknya itulah yang ia pikirkan.

Tapi nyatanya, kalung ini bukan sekadar kenang-kenangan. Ini adalah kunci terakhir menuju kebenaran.

---

Siang Hari — Ruang Kerja Rio Santoso

Nayla datang tanpa janji. Rio baru saja selesai menelepon ketika ia masuk. Wajahnya tegang, tapi ia mencoba tersenyum.

"Nayla, aku—"

"Berhenti bohong," potong Nayla tajam. "Kamu tahu kalung ini. Kamu tahu semua dari awal."

Rio bangkit pelan. "Kamu nggak ngerti seberapa dalam ini semua. Aku pernah ada di dalamnya, dan aku keluar dengan luka. Kamu nggak akan kuat—"

"Adrian kuat," Nayla menyela. "Dia bahkan menuliskan semua ini dengan harapan bahwa aku akan melanjutkan."

Ia meletakkan catatan Adrian di atas meja Rio. Lelaki itu menatapnya lama.

"Kamu nggak tahu apa yang kamu bangunkan, Nayla. Ada orang-orang yang lebih dari sekadar mafia. Mereka ada di balik lembar saham, kursi parlemen, bahkan kepolisian."

"Justru karena itu," jawab Nayla, "kita harus bicara sekarang. Di luar sana, ada orang yang percaya kebenaran masih punya tempat. Dan aku akan cari mereka satu-satu."

---

Petang — Kembali ke Rumah Ayunda

"Aku ingin tahu lebih banyak tentang masa lalu Adrian," kata Nayla.

Ayunda menyuguhkan teh. "Dia tidak seperti yang orang kira. Ia mungkin keras kepala, tapi hatinya tak pernah bisa memaafkan ketidakadilan."

Ia berdiri, lalu membuka laci tua di sudut ruang. Dari dalamnya, ia mengeluarkan kotak kayu kecil. "Ini... milik Adrian juga. Dulu dia titip padaku, untuk diberikan hanya jika kamu kembali bertanya."

Nayla membuka kotak itu.

Isinya: satu foto lama, sobek di ujung, menampilkan tiga orang—Adrian, Ayunda, dan seseorang lain yang wajahnya dicoret tinta hitam.

Dan di balik foto itu, tertulis:

> "Yang mengkhianati bukan orang asing. Tapi keluarga sendiri."

---

Malam Hari — Jalan Menuju Kosong

Nayla menyetir sendiri, keluar dari Jakarta menuju sebuah lokasi GPS lama yang ada dalam chip kalung. Di tengah jalan, ia sadar: ia tidak sedang diawasi... tapi dibuntuti.

Lampu belakang mobil menyorot berlebihan. Ia mempercepat laju kendaraan. Tapi mobil di belakangnya juga menambah kecepatan.

Ia berbelok tajam ke arah jalan kecil, berharap bisa lolos.

Tapi sebuah sepeda motor tiba-tiba melintang di hadapannya. Ia menginjak rem mendadak—mobil berhenti hanya beberapa sentimeter dari pengendara itu.

Sosok pengendara membuka helmnya.

Seorang perempuan, wajahnya setengah tertutup syal. Tapi matanya tajam dan penuh luka masa lalu.

"Aku butuh kamu ikut aku sekarang," katanya.

"Siapa kamu?"

Ia membuka syalnya.

"Aku adik Adrian."

---Kilas Balik---

Tiga tahun lalu.

Adrian sedang duduk di kamar kecil di rusun tempat persembunyian. Ia menulis di halaman terakhir buku catatannya.

> "Jika semua ini gagal, semoga kalung itu sampai padamu, Nayla. Dan jika kamu bertanya kenapa aku tak pernah pamit, jawabannya sederhana: aku lebih memilih dibenci daripada menyeretmu ke neraka ini bersamaku."

> "Tapi kalau kau baca ini... berarti kamu sudah ada di sana. Maafkan aku."

More Chapters