Ficool

Chapter 6 - EPS (5) Lautan api

Hiori duduk di tepi atap, membiarkan angin sore yang dingin menerpa wajahnya. Matahari mulai tenggelam di balik pabrik-pabrik raksasa, mewarnai langit dengan semburat merah dan oranye yang perlahan tertelan oleh bayangan hitam dari cerobong asap. Uap dan kabut kota Ortklí berkumpul di udara, menciptakan suasana yang suram dan menekan.

Ia menyilangkan tangan, menatap ke kejauhan dengan tatapan tajam. "Huh… Malam ini, kota Ortklí akan tenggelam dalam kekacauan."

Beberapa jam yang lalu…

Hiori berdiri di tengah lingkaran anak-anak dan beberapa warga yang selama ini hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Wajah mereka dipenuhi keraguan dan harapan, bercampur menjadi satu dalam keheningan yang mencekam.

Ia menyapu pandangan ke arah mereka semua sebelum membuka suara. "Oke, dengarkan baik-baik. Ini bukan sekadar balas dendam. Ini tentang merebut kembali kebebasan kalian. Malam ini, kita akan membuat perusahaan itu jatuh."

Felix mengangkat tangan, ragu-ragu. "Tapi… bagaimana? Mereka punya penjaga bersenjata, kita cuma orang biasa."

Hiori menyeringai tipis. "Kita memang bukan prajurit, tapi kota ini adalah rumah kalian. Kalian lebih tahu setiap celah, setiap lorong, setiap jalur rahasia." Ia menatap mereka dengan serius. "Dan aku? Aku akan menjadi ujung tombaknya."

Seorang pria tua dengan wajah letih menatapnya lekat-lekat. "Apa yang harus kami lakukan?"

Hiori menunjuk ke arah barat. "Pabrik memiliki jalur suplai di sisi itu. Jika kalian bisa membuat kekacauan kecil, mereka akan mengalihkan sebagian penjaga ke sana." Lalu ia menunjuk ke utara. "Sementara itu, aku akan menyelinap masuk ke dalam gedung utama dan menghancurkan sistem pusat mereka."

Felix menelan ludah. "Dan kalau mereka menangkapmu?"

Hiori menatapnya dengan tatapan tajam, penuh percaya diri. "Mereka tidak akan sempat."

Suasana hening. Mereka saling bertukar pandang, seakan mengukur keberanian masing-masing. Lalu, satu per satu, mereka mengangguk.

Hiori menarik napas panjang, menghembuskannya perlahan. "Malam ini, kita akan meruntuhkan rantai yang telah mengikat kalian selama ini."

Malam Hari.

Di lorong sempit di antara gedung-gedung tua yang berderit, sekumpulan anak-anak dan beberapa warga yang masih berani melawan berkumpul dalam keheningan. Udara terasa lebih dingin dari biasanya, entah karena malam yang gelap atau karena ketegangan yang menggantung di udara.

Seorang anak laki-laki dengan rambut acak-acakan menggigit bibirnya, matanya penuh kecemasan. "Hei, Felix... Apa kau yakin ini akan berhasil?" suaranya bergetar, berusaha menahan ketakutan yang mulai merayap.

Felix, yang berdiri di depan mereka dengan tangan terkepal, menoleh dan menampilkan senyum penuh keyakinan. "Tenang saja! Kalian hanya perlu percaya padaku dan Kak Hiori." Matanya berbinar penuh semangat, meski di baliknya terselip sedikit kegelisahan.

Seorang pria tua dengan wajah penuh keriput mendesah pelan. "Kita hanya punya satu kesempatan. Kalau kita gagal, mereka pasti akan memburu kita tanpa ampun."

Felix menepuk pundak pria itu dengan santai. "Justru karena itu kita tidak boleh gagal. Percayalah, Kak Hiori bukan orang biasa. Dia pasti sudah punya rencana yang matang."

Mereka saling bertukar pandang, masih ada rasa ragu di antara mereka, tapi melihat keyakinan Felix membuat hati mereka sedikit lebih kuat.

Di atas salah satu gedung, dalam bayang-bayang bulan yang tertutup asap, Hiori mengamati mereka dari kejauhan. Bibirnya melengkung membentuk seringai tipis.

"Sudah waktunya... Mari kita bakar neraka ini."

Hiori memberi isyarat tangan ke Felix dari ketinggian, memberi tanda bahwa saatnya tiba. Felix mengangguk samar, lalu melangkah ke arah penjaga dengan wajah pasrah, seolah menerima nasibnya. Para penjaga mengendurkan kewaspadaan mereka, tak menyadari bahaya yang mengintai di kegelapan.

Saat itu juga, Hiori melesat.

Kakinya melangkah ringan di atas atap-atap bangunan, nyaris tanpa suara. Tubuhnya bergerak seperti bayangan, melewati cerobong-cerobong asap dan besi-besi berkarat yang menggantung di udara. Ia melihat sebuah ventilasi yang terbuka sedikit dan tanpa ragu, ia melompat masuk dengan gerakan yang presisi.

"Bagus… Aku harus bergegas," gumamnya pelan, melangkah di lorong yang remang dengan tubuh menempel di dinding. Bau logam, keringat, dan darah bercampur dalam udara yang pengap, membuatnya mengernyit. "Tempat ini benar-benar menjijikkan..."

Hiori bergerak perlahan, menghindari suara langkahnya menggema. Sesekali, ia berhenti dan menajamkan pendengarannya, memastikan tidak ada penjaga yang berjaga di tikungan. Ketika sampai di sebuah jendela kecil dengan jeruji berkarat, ia mengintip ke dalam.

Apa yang ia lihat membuat matanya berkilat marah.

Lusinan mayat orang—laki-laki, perempuan— darah mereka berlumuran.

"Bajingan..." bisik Hiori dengan rahang mengatup rapat.

Tangannya mengepal di gagang pedangnya. Darahnya mendidih, tapi ia menahan diri. Bukan saatnya bertindak gegabah.

Ia menarik napas dalam, menenangkan amarah yang membuncah.

Hiori menghela napas pendek, matanya menajam saat melihat penjaga itu mengacungkan tombaknya. Kilatan cahaya dari obor di dinding memantul di ujung tombak yang tajam, menciptakan bayangan panjang yang mengintimidasi di lantai berdebu.

"Hey! Siapa kau?! Apa yang kau lakukan di sini?!" teriak penjaga itu, matanya menyipit curiga.

"Tch... Ketahuan juga, huh?" gumam Hiori pelan, jarinya sudah mencengkeram gagang pedangnya.

Tanpa banyak basa-basi, penjaga itu melangkah maju, ujung tombaknya bergetar sebelum ia menghujamkan serangan lurus ke arah Hiori.

CLANK!

Hiori menangkis dengan cekatan, percikan api muncul ketika baja bertemu baja. Dengan gesit, ia melompat ke samping, lalu berputar sambil menebaskan pedangnya ke arah lengan penjaga itu. Namun, lawannya cukup tangguh—ia berhasil mundur dan memutar tombaknya dalam gerakan melingkar, mencoba menciptakan celah untuk menyerang balik.

"Kau bukan pencuri biasa... Siapa yang mengirimmu!?" bentak penjaga itu, kini benar-benar waspada.

Hiori hanya menyeringai tipis. "Aku? Hanya seseorang yang benci melihat orang-orang sepertimu menindas yang lemah."

Mendengar itu, penjaga itu menggeram. Ia melompat ke depan, mencoba menusukkan tombaknya ke perut Hiori. Tapi Hiori lebih cepat.

Dengan gerakan secepat kilat, ia melangkah ke samping, menghindari serangan itu hanya dengan jarak sehelai rambut. Dalam sekejap, ia memutar tubuhnya dan mengayunkan pedangnya ke bawah.

"Flame Rend!"

Seketika, bilah pedangnya menyala merah membara, mengeluarkan semburan api saat menghantam tombak lawannya. Ledakan kecil terjadi, membuat penjaga itu terdorong ke belakang dan kehilangan keseimbangannya.

"Kau... Apa-apaan itu?! Penyihir?!" seru penjaga itu dengan wajah panik.

Hiori hanya menatapnya dingin. "Salah. Aku hanyalah badai yang akan menghancurkan tempat busuk ini."

Dalam satu gerakan cepat, ia menghilang dari pandangan, lalu tiba-tiba muncul di belakang penjaga itu dengan pedang yang sudah terhunus tinggi.

"Sekarang tidur nyenyak."

SWISH!

Satu tebasan cepat. Cahaya pedang berkilat di udara, dan dalam sekejap, penjaga itu roboh ke tanah dengan tubuh tak sadarkan diri.

Hiori tidak membuang waktu. Ia berlari lagi, menuju jantung kegelapan tempat ini.

"Waktunya menyalakan api pemberontakan."

Adegan Berpindah ke Felix

Felix menegakkan tubuhnya, mengambil napas dalam, lalu berlari ke arah penjaga dengan ekspresi panik yang dibuat-buat. "Pak! Pak! Aku baru saja melihat seseorang yang mencurigakan! Dia mengendap-endap di dekat gudang senjata!"

Salah satu penjaga menatapnya curiga, menurunkan tombaknya sedikit. "Hah? Gudang senjata? Kau yakin, bocah?"

Felix mengangguk cepat, matanya membesar seolah ketakutan. "Iya! Aku lihat dia memakai jubah hitam, wajahnya tertutup! Dia bergerak seperti bayangan! Aku... Aku takut dia perampok atau semacamnya!"

Para penjaga saling bertukar pandang sebelum salah satu dari mereka menggeram. "Sial, kalau ini benar dan kita membiarkannya lolos, kita bisa dihukum mati."

Penjaga lainnya mendengus, masih ragu. "Tapi ini cuma bocah jalanan. Apa kita benar-benar percaya?"

Felix menggigit bibir, lalu menambahkan, "Kalau kalian tidak percaya, tidak apa-apa. Tapi kalau aku benar, dan dia ternyata penyusup, kalian semua yang bakal disalahkan!"

Para penjaga langsung tersentak, wajah mereka berubah serius. "Baiklah, tunjukkan jalannya!"

"Ikuti aku!" seru Felix, berpura-pura gemetar, lalu mulai berlari. Penjaga-penjaga itu mengikutinya tanpa curiga, sementara anak-anak lainnya yang bersembunyi di balik bayangan memberikan anggukan kecil.

Felix menahan senyum tipis. "Hiori, semoga ini cukup memberimu waktu..."

Adegan Berpindah Kembali ke Hiori

Hiori menyandarkan punggungnya ke dinding bata dingin, telinganya tajam menangkap setiap suara langkah yang menjauh. "Harusnya Felix sudah memberiku cukup waktu... Kalau rencananya berjalan lancar, jumlah penjaga di area ini pasti sudah berkurang," gumamnya pelan.

Ia melangkah dengan hati-hati, napasnya terkendali. Langkah ringan dan hampir tanpa suara membawa dirinya ke sebuah meja tua yang di atasnya tergeletak beberapa gulungan kertas. Tangannya terulur cepat, membuka satu demi satu sebelum akhirnya menemukan apa yang ia cari.

"Oh... Ini dia," ujarnya, matanya menyipit saat meneliti setiap garis dan simbol di peta lusuh itu.

Dena lokasi ini lebih kompleks dari yang ia kira—terdapat terowongan bawah tanah, gudang penyimpanan, serta ruangan berlabel Khusus Direktur yang terkunci di bagian paling dalam. Namun, yang paling menarik perhatiannya adalah bagian yang ditandai dengan tinta merah di ujung sudut: Zona Produksi.

Hiori menyeringai tipis. "Jadi di sanalah semua mesin utama berada..."

Jari-jarinya bergerak cepat, melacak jalur tercepat menuju targetnya. "Jika aku bisa merusak pusat produksi, itu akan cukup untuk mengacaukan segalanya... dan mungkin membuka jalan untuk membebaskan para pekerja."

Namun, sebelum ia bisa bergerak lebih jauh—

TAP TAP TAP

Langkah berat menggema di lorong. Ada seseorang yang datang.

Hiori buru-buru menggulung peta itu, menyelipkannya di balik jubahnya. "Sial... Sudah ada yang curiga?" Ia melompat ke sudut ruangan, menempel di bayangan gelap, menahan napasnya sambil menanti siapa yang muncul.

Tak lama kemudian, suara berat seorang pria terdengar. "Aneh... Aku yakin mendengar sesuatu di sini..."

Seorang penjaga berbadan besar memasuki ruangan, matanya menyisir sekeliling. Hiori tetap diam, tangannya perlahan meraih gagang pedangnya.

Satu langkah lagi...

Dan tanpa aba-aba, ia melesat keluar dari bayangan—dengan kecepatan kilat!

Penjaga itu bahkan belum sempat berteriak. Dalam sekejap, pedang Hiori sudah menari di udara, mengiris tubuhnya tanpa ampun. Crasak! Darah menghambur, melumuri tembok bata yang kusam, meninggalkan noda merah pekat yang mengalir perlahan ke lantai.

"Penyusup!!" Salah satu penjaga berteriak panik, membuat suasana yang awalnya sunyi mendadak berubah kacau. Derap kaki berlarian dari berbagai penjuru, suara pedang yang ditarik dari sarungnya menggema di udara.

"Dasar bocah tengik! Kau pikir bisa keluar hidup-hidup dari sini!?" bentak seorang pria bertubuh kekar, mengayunkan kapaknya dengan liar ke arah Hiori.

Namun, Hiori hanya tersenyum miring. "Lucu sekali... Aku justru bertanya-tanya, siapa yang akan keluar hidup-hidup?"

Clang! Ia menangkis kapak itu dengan mudah, dorongan kuat dari tebasannya membuat lawannya terpental beberapa langkah.

"SIALAN! HANCURKAN DIA SEKARANG!!"

Para penjaga menerjang dari berbagai arah—ada yang menghunus pedang, ada yang membawa tombak, bahkan ada yang menembakkan panah dari kejauhan.

Namun, bagi Hiori, mereka semua bergerak terlalu lambat.

Dengan gerakan secepat bayangan, ia melesat ke depan, tubuhnya berputar ringan saat menghindari serangan-serangan membabi buta itu.

"Scorching Chain!"

Dari kedua tangannya, rantai berapi melesat keluar, mencambuk udara dengan suara gemuruh yang panas membakar.

CRAAK!!

Rantai itu membelit dua penjaga sekaligus, membakar mereka dengan api yang membara. Jeritan kesakitan memenuhi lorong sempit, bau daging terbakar mulai menyebar.

Hiori tidak berhenti di situ. Dengan satu lompatan gesit, ia mendarat di atas bahu salah satu penjaga, menggunakan tubuhnya sebagai pijakan sebelum melompat kembali ke udara.

"Infernal Edge!"

Pedangnya menyala dengan api biru pekat, membentuk lengkungan cahaya yang membelah udara—dan dalam satu tebasan cepat, tiga kepala melayang sekaligus.

Sisanya mundur ketakutan, mata mereka membelalak melihat betapa mudahnya Hiori menyapu mereka seperti sampah.

Hiori berdiri di tengah genangan darah, jubahnya berkibar karena sisa energi panas yang masih berpendar dari tubuhnya.

Ia menyeringai tajam, menatap para penjaga yang kini menggigil ketakutan. "Jadi... masih mau mencoba peruntungan kalian?"

Ruangan itu mendadak sunyi. Beberapa penjaga saling pandang, ragu. Sebagian bahkan sudah melangkah mundur.

Namun, sebelum ada yang bisa mengambil keputusan...

DUARRR!!

Suara ledakan mengguncang seluruh gedung, membuat tembok bergetar dan debu berjatuhan dari langit-langit.

Hiori menoleh ke arah sumber suara, menyipitkan mata.

"Sepertinya... rencana Felix berhasil."

Beberapa jam sebelum ledakan itu mengguncang markas...

Di atap gedung tua yang menghadap ke kompleks pabrik, Hiori duduk bersila dengan mata tajam menatap Felix. Angin sore bertiup, membawa serta bau asap dan logam dari kota industri yang kelam.

"Oke, Felix... Dengarkan aku baik-baik," ujar Hiori dengan nada rendah tapi penuh ketegasan. "Aku butuh kau untuk menarik perhatian mereka. Bawa penjaga itu ke area yang sempit, tempat di mana mereka tidak punya ruang untuk bergerak leluasa."

Felix menelan ludah, meskipun ia mencoba terlihat percaya diri, tangannya sedikit gemetar. "Dan setelah itu...?"

Hiori menyeringai kecil, lalu mengangkat tangannya. Api merah keunguan mulai berputar di sekeliling telapak tangannya, berputar seperti pusaran angin sebelum menyatu menjadi bola energi yang berdenyut pelan.

"Aku sudah menanamkan energi ledakan di beberapa titik," jelas Hiori. "Begitu mereka masuk ke dalam perangkap... BOOM. Mereka tidak akan punya kesempatan untuk kabur."

Felix menatap bola api itu dengan ekspresi ngeri sekaligus kagum. "Kamu yakin ini akan berhasil?"

Hiori melempar bola api kecil ke udara, lalu menangkapnya kembali dengan mudah, seolah hanya bermain-main. "Yakin? Tidak. Tapi rencana ini jauh lebih baik daripada sekadar maju membabi buta, kan?"

Felix menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Baiklah... Aku akan melakukannya."

"Bagus." Hiori menepuk pundaknya ringan, lalu bangkit berdiri. "Ingat, jangan sampai mereka curiga. Bersikaplah seperti bocah jalanan yang panik melihat sesuatu yang aneh."

Felix mengangguk, lalu berlari turun dari atap, meninggalkan Hiori yang masih berdiri di sana, memandang matahari yang perlahan tenggelam di balik kabut uap kota.

Para penjaga yang tersisa saling bertatapan, napas mereka tersengal. Darah mengalir di lantai, bercampur dengan uap panas yang menyelimuti ruangan. Beberapa dari mereka masih berusaha menggenggam senjata, tetapi tangan mereka gemetar.

Hiori melangkah maju perlahan, menyeringai seperti pemburu yang baru saja mengurung mangsanya. Mata keemasan itu berkilat di bawah cahaya lampu berkedip-kedip. "Ini adalah hari terakhir kalian bekerja di neraka ini," suaranya lembut, namun mengandung ancaman yang menusuk. "Sekarang... jawab pertanyaanku jika kalian masih ingin merasakan napas esok hari."

Ia mengangkat pedangnya yang masih meneteskan darah, ujungnya menyentuh lantai dengan bunyi clinggg yang menggema di ruangan. "Zona Produksi... Apa yang kalian sembunyikan di sana? Apa yang benar-benar dibuat dalam pabrik ini?"

Seorang penjaga yang wajahnya penuh keringat menelan ludah. "K-Kami hanya pekerja... Kami tidak tahu banyak!"

TCH.

Dalam sekejap, Hiori menendang meja besi di dekatnya, membuatnya terjungkal dengan suara berdebum keras. "Jawaban yang membosankan," ucapnya dingin. "Coba lagi."

Seorang penjaga lain, wajahnya dipenuhi luka, akhirnya buka suara, suaranya lirih dan goyah. "Di dalam zona produksi... mereka menciptakan mesin penghancur. Senjata... yang lebih dari sekadar alat perang biasa. Sesuatu yang bisa menghancurkan lebih dari satu kota dalam sekejap..."

Mata Hiori menyipit. "Sesuatu?"

Penjaga itu mengangguk, tubuhnya bergetar. "Kami hanya mendengar desas-desus... Tapi katanya, itu bukan hanya senjata. Itu... makhluk hidup."

Hiori terdiam sesaat. Wajahnya tidak menunjukkan emosi, tapi di dalam pikirannya, roda strategi mulai berputar. "Jadi mereka menciptakan monster... atau lebih tepatnya, sesuatu yang lebih buruk."

Ia menghela napas panjang, lalu menatap mereka semua dengan tatapan dingin. "Terima kasih atas informasinya."

Para penjaga itu merasa lega, tetapi hanya sesaat—karena dalam sekejap, rantai api berkilat di udara, melesat cepat ke arah mereka seperti ular ganas yang lapar.

"Sayangnya..." Hiori tersenyum kecil. "Aku tak pernah bilang kalian bisa pergi dengan hidup-hidup."

Jeritan mereka menggema di dalam pabrik. Malam baru saja dimulai, dan neraka kini benar-benar turun ke kota Ortikli.

Hiori melangkah pelan, menyusuri lorong sempit dengan dinding besi berkarat yang terasa dingin di ujung jarinya. Bau logam dan minyak bercampur dengan hawa lembap yang menusuk hidung. Setiap langkahnya menggema di sepanjang koridor, seolah suara sepatu botnya sedang berbisik dengan bayangan yang bersembunyi di sudut-sudut gelap.

"Aku penasaran..." gumamnya, mata keemasannya menyipit saat menelusuri ruangan yang semakin remang. "Makhluk seperti apa yang mereka maksud? Apakah ini hanya eksperimen sintetik, atau lebih buruk lagi... sesuatu yang sudah seharusnya tidak ada di dunia ini?"

Tiba-tiba, ia berhenti. Udara di sekitarnya terasa lebih berat. Seperti ada sesuatu—bukan suara, bukan bayangan, tapi kehadiran—yang menatapnya dari kegelapan.

DUG DUG DUG...

Suara dentuman berat terdengar dari ujung lorong. Sesuatu... atau seseorang, bergerak di balik pintu baja besar bertuliskan Zona Produksi - Akses Terbatas.

Jantung Hiori berdegup lebih cepat, tapi bukan karena ketakutan—melainkan karena sensasi antisipasi yang mengalir di nadinya. Ia menggenggam pedangnya lebih erat, lalu dengan satu tarikan napas dalam, ia mendorong pintu itu perlahan.

Saat celah pintu terbuka, hawa panas menyeruak keluar, membawa serta aroma tajam seperti darah yang terbakar. Matanya segera menangkap pemandangan di dalam ruangan: deretan tabung kaca raksasa, masing-masing berisi cairan kental kehijauan yang memancarkan cahaya redup.

Dan di dalam salah satu tabung itu, ada sesuatu yang membuatnya terdiam.

Makhluk itu memiliki tubuh humanoid, tetapi kulitnya seakan bukan milik manusia—lebih mirip campuran logam dan daging yang menyatu dalam bentuk yang tidak seharusnya ada. Tangan-tangannya terlalu panjang, ujung jarinya runcing seperti bilah pedang. Matanya masih terpejam, tetapi dari dalam dadanya, Hiori bisa melihat detakan cahaya merah yang berdenyut seperti jantung buatan.

"Jadi ini yang mereka sembunyikan..." gumamnya, langkahnya mendekat dengan hati-hati. "Mereka menciptakan sesuatu yang tidak sepenuhnya manusia... tapi juga bukan monster."

Tiba-tiba—

DUG!

Mata makhluk itu terbuka lebar, menatap lurus ke arah Hiori.

Dan dalam sepersekian detik, suara sirene meraung di seluruh pabrik.

Hiori mengutuk dirinya dalam hati. "Sial... Seharusnya aku lebih berhati-hati."

Retakan halus menjalar di tabung kaca raksasa seperti sarang laba-laba. Kilauan hijau dari cairan di dalamnya mulai meredup, digantikan oleh pancaran merah dari mata makhluk yang baru saja terbangun.

CRACK!

Tabung itu meledak dalam semburan pecahan kaca dan cairan berlendir yang menyebar ke seluruh ruangan. Raungan yang menggema dari makhluk itu bukan sekadar teriakan biasa—ada nada mekanis bercampur dengan suara rendah yang begitu beringas, seolah dua entitas berbicara dalam satu tubuh.

"GRRRAAAAHH!!"

Bentuknya kini terlihat jelas—makhluk itu lebih tinggi dari manusia biasa, otot-ototnya tertutup lapisan logam organik yang tampak seperti armor alami. Tangan-tangannya, yang sebelumnya tampak menyerupai bilah pedang, kini memanjang menjadi cakar hitam yang berdenyut dengan energi berwarna merah tua.

Mata Hiori membelalak sedikit sebelum berubah menjadi tatapan tajam penuh antisipasi. "Oke... Ini lebih buruk dari yang kubayangkan."

Makhluk itu mengayunkan cakarnya ke arahnya dengan kecepatan yang tak wajar. Udara di sekitarnya terbelah, menimbulkan tekanan yang cukup kuat hingga lantai di bawahnya retak.

Hiori dengan refleks melompat ke tembok, menjejakkan kakinya, lalu melesat ke depan dengan dorongan secepat kilat.

CLANG!

Pedangnya berbenturan dengan cakar makhluk itu, menciptakan percikan api yang menerangi ruangan yang mulai dipenuhi kabut uap dari tabung-tabung pecah lainnya. Tenaga dorong dari benturan tersebut membuat Hiori terdorong mundur, tetapi ia segera memutar tubuhnya di udara, mendarat dengan mantap.

"Baiklah," ia menghela napas dengan senyum tipis, matanya bersinar penuh semangat. "Sepertinya kau bukan cuma sekadar eksperimen gagal, ya?"

Makhluk itu membungkuk rendah, napasnya berat dan geramannya semakin dalam.

Ting!

Sebuah suara elektronik terdengar dari dalam tubuhnya, lalu sebuah suara dingin mekanis bergema:

"TARGET TERKUNCI. PROTOKOL ELIMINASI DIAKTIFKAN."

Tanpa peringatan, makhluk itu menghilang dalam kilatan merah.

Mata Hiori melebar.

"Oi, oi... Itu curang!"

Dalam sepersekian detik, makhluk itu sudah ada di hadapannya, cakarnya siap menebas.

Hiori tidak punya waktu berpikir panjang. Dengan cepat, ia menggenggam gagang pedangnya dengan erat, lalu mengaktifkan kemampuannya.

"Scorching Chain!"

Rantai berapi meledak keluar dari gagang pedangnya, membelit lengan makhluk itu di udara sebelum tebasannya bisa mengenai Hiori.

Makhluk itu menggeram, mencoba meronta, tetapi Hiori sudah lebih dulu menarik rantainya dengan sekuat tenaga.

"Jangan harap bisa bergerak semudah itu!"

Api dari rantai tersebut membakar armor organik makhluk itu, tetapi bukannya melemah, ia justru semakin liar. Cakarnya berubah bentuk, memanjang seperti tombak.

Dengan satu ayunan brutal, ia melepaskan diri dan menyerang balik—kali ini dengan kecepatan yang lebih gila lagi.

Hiori tersenyum kecil, lalu bersiap.

"Ayo kita lihat... Siapa yang akan runtuh lebih dulu!"

"Blazar Burst!" Api membara dari pedang Hiori mengamuk seperti bintang yang meledak, menciptakan gelombang panas yang meretakkan dinding baja di sekelilingnya. Dalam sekejap, tubuh makhluk itu terbelah, terbakar habis oleh ledakan energi yang luar biasa.

BOOOM!!

Puinh-puing beterbangan, lantai bergetar, dan asap tebal memenuhi ruangan. Hiori berdiri di tengah kekacauan itu, dadanya naik turun dengan napas berat. Pedangnya masih bersinar merah membara, uap panas mengepul dari bilahnya.

"Haah... Haah..." Ia terhuyung sedikit, lalu terbatuk keras. Setetes darah segar mengalir dari sudut bibirnya, jatuh ke lantai yang retak.

"Sialan..." gumamnya, mengusap darah dengan punggung tangannya. "Kalau aku terus bertarung seperti ini, Essence core di dalam tubuhku bisa pecah... dan itu jelas bukan ide bagus."

Namun sebelum ia bisa menarik napas lebih panjang—

GRRRRRRRGHHH!!

Raungan menggelegar mengguncang udara.

Dari balik kobaran api, potongan tubuh makhluk itu mulai bergerak. Daging yang koyak menyatu kembali, lapisan armor organik yang sebelumnya hancur kini beregenerasi dengan kecepatan mengerikan. Matanya yang merah kembali menyala, lebih terang dari sebelumnya.

Hiori terdiam, ekspresinya berubah dari kelelahan menjadi frustrasi. "Oh, ayolah... Kau bisa regenerasi juga?"

Tangan makhluk itu kini lebih besar, cakarnya memanjang seperti tombak hitam berdenyut energi gelap. Tulang-tulang di punggungnya mulai mencuat, berubah menjadi semacam bilah tajam yang bergetar dengan frekuensi tinggi.

Kemudian, sebuah suara mekanis dingin terdengar dari dalam tubuhnya:

"MODE PENYESUAIAN DIAKTIFKAN. KOMPATIBILITAS TEMUAN: 87%. MENGAKTIFKAN PROTOKOL NEMESIS."

Hiori mengerutkan kening. "Protokol Nemesis? Itu tidak terdengar seperti sesuatu yang baik..."

Tiba-tiba, makhluk itu bergerak dengan kecepatan yang lebih gila lagi—tidak hanya sekadar menghilang, tetapi hampir seolah menembus ruang itu sendiri.

SREEEK!!

Cakarnya meluncur ke arah Hiori seperti kilat.

Mata Hiori melebar sesaat sebelum tubuhnya bereaksi.

DASH!

Dalam sepersekian detik, ia berputar ke samping, menghindari serangan yang cukup kuat untuk merobek baja seperti kertas. Tapi angin tajam dari serangan itu tetap melukai bahunya, meninggalkan bekas luka yang dalam.

"Sial..." Hiori menggertakkan giginya. "Monster ini makin cepat dan makin kuat!"

Makhluk itu tidak memberi jeda. Ia langsung menyerang lagi, kini dengan cakar dan bilah punggungnya yang bergetar berfrekuensi tinggi.

Hiori melompat ke belakang, lalu menancapkan pedangnya ke tanah. Rantai api langsung meledak keluar, melingkar di sekelilingnya seperti perisai yang berputar.

WHOOOSH!!

"Infernal Barrier!"

Cakaran makhluk itu menghantam rantai api tersebut, menciptakan percikan energi yang berdesis brutal.

Tetapi, makhluk itu tidak berhenti.

Ia mundur sejenak, lalu mengangkat salah satu cakarnya ke udara. Cahaya merah gelap berkumpul di telapak tangannya, berdenyut seperti inti bintang yang akan meledak.

Hiori mendecak. "Oh tidak, itu tidak terlihat bagus..."

Secepat kilat, ia mencabut pedangnya dari tanah dan memusatkan energinya. Uap panas mengalir dari tubuhnya, rambutnya sedikit berkibar akibat tekanan energi yang meningkat drastis.

"Baiklah," ia menarik napas dalam-dalam, lalu menyeringai. "Kalau kau ingin bermain kotor, aku juga bisa!"

Pedangnya bersinar lebih terang, nyala apinya berubah dari oranye menjadi biru keunguan.

"Blazing Nova—"

Makhluk itu melemparkan ledakan energi ke arahnya.

Hiori menghentakkan kakinya, melesat ke depan seperti meteor yang jatuh.

"—BURST!!"

Tabrakan energi mereka mengoyak udara, menciptakan badai api dan kehancuran yang tak terelakkan.

Langit malam Kota Ortkli yang dipenuhi asap dan uap kini tersapu oleh kobaran api yang membara. Ledakan dahsyat mengguncang seluruh area, membuat tanah bergetar dan bangunan-bangunan di sekitarnya runtuh seperti kartu domino.

BOOOOMMMM!!!

Gelombang kejut dari ledakan itu melemparkan puing-puing ke segala arah, menyapu jalanan dengan panas yang begitu menyengat hingga udara itu sendiri terasa seperti terbakar. Api menjalar dengan cepat, membentuk lautan merah yang mengamuk, memakan struktur baja dan besi seakan-akan semuanya hanya kayu kering.

Di tengah kepanikan itu, Hiori berdiri di atas salah satu reruntuhan dengan napas terengah-engah. Pakaiannya compang-camping, luka-luka menghiasi tubuhnya, dan tangannya masih erat menggenggam pedang yang berkilau dengan bara biru keunguan. Matanya memandang ke depan, ke arah kehancuran yang baru saja ia ciptakan.

Felix dan anak-anak lainnya menatapnya dari kejauhan dengan ekspresi antara kekaguman dan ketakutan.

"K-Kak Hiori... kau benar-benar menghancurkannya..." Felix berbisik, suaranya hampir tenggelam dalam raungan api dan suara alarm yang terus berbunyi tanpa henti.

Hiori menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. "Ya... Tapi ini belum selesai."

Dari balik kobaran api, terdengar suara-suara dari para pekerja yang kini bebas dari perbudakan mereka. Beberapa dari mereka menangis, yang lain berteriak dalam kemarahan, dan sebagian besar hanya berdiri terpana, seakan sulit mempercayai bahwa mimpi buruk mereka akhirnya berakhir.

Namun, di antara keriuhan itu, Hiori merasakan sesuatu yang aneh.

Energi yang tidak wajar.

Ia menyipitkan mata dan menoleh ke arah reruntuhan pabrik yang kini hanya tersisa kerangka baja yang meleleh. Dari dalam kepulan asap hitam yang pekat, muncul sosok tinggi yang berjalan perlahan.

Siluetnya terbungkus dalam aura gelap, dan matanya bersinar merah seperti bara api yang tak pernah padam.

Hiori langsung mengangkat pedangnya. "Tentu saja... Tidak mungkin semudah itu."

Felix menelan ludah, tubuhnya sedikit gemetar. "A-Apa itu...?"

Hiori tidak menjawab. Ia hanya tersenyum miring, meskipun tubuhnya sendiri hampir kehabisan tenaga.

"Sepertinya... aku masih harus menghancurkan sesuatu lagi malam ini."

Orang misterius itu melangkah perlahan, sepatu botnya menginjak genangan minyak bercampur darah yang mengalir di antara reruntuhan. Api yang masih berkobar di belakangnya menciptakan bayangan mengerikan yang bergetar di atas tembok yang tersisa.

"Hiori Ashley Mahardika... murid dari Gamiel dan Panavia," suaranya terdengar dalam dan berat, seolah mengandung gema yang meresap ke dalam dada setiap orang yang mendengarnya.

Hiori membelalakkan mata. "Apa!? Kau mengenal guruku?" Suaranya dipenuhi keterkejutan dan kewaspadaan.

Pria itu tersenyum tipis, matanya menyala merah seperti bara di dalam kegelapan. "Tentu saja. Bagaimana mungkin aku tidak mengenal mereka? Aku hanya tidak menyangka... kau bisa menghancurkan salah satu anak perusahaanku secepat ini."

Anak perusahaan?

Kata-kata itu bergema di kepala Hiori. Ia mencoba berdiri, tapi seketika tubuhnya melemas. Lututnya bergetar, dan sebelum bisa menopang dirinya sendiri, ia jatuh ke tanah, tangannya menekan dada dengan keras.

"Khahh!" Darah hitam pekat muncrat dari bibirnya, membasahi tanah di bawahnya. Seluruh tubuhnya terasa seperti dihancurkan dari dalam, Essence Core-nya bereaksi liar akibat pemakaian berlebihan.

Pria itu berjalan lebih dekat, menatapnya dari atas dengan ekspresi tenang, seolah-olah Hiori hanyalah bidak kecil dalam permainan catur yang sudah ia kuasai sejak awal.

"Kau baru saja menghancurkan satu bagian dari cakar kami," lanjutnya. "Tapi kau tahu? Perusahaan ini hanyalah salah satu dari puluhan... bahkan ratusan lainnya yang tersebar di berbagai penjuru dunia."

Felix dan anak-anak lain yang bersembunyi di kejauhan merasakan hawa mencekik yang begitu pekat hingga mereka tidak bisa bergerak.

"Kau pikir ini sudah selesai?" Pria itu membungkuk sedikit, membiarkan wajahnya sedikit terlihat dari balik asap. "Ini baru permulaan, Nak."

Hiori menggertakkan giginya, tangannya mengepal di atas tanah yang penuh debu dan pecahan kaca. Matanya yang masih dipenuhi api perlawanan menatap pria itu tajam.

"Jangan... sok dramatis..." Ia mengerahkan sisa tenaganya untuk berbicara. "Kalau ini baru permulaan... maka aku akan menghancurkan semuanya... satu per satu..."

Pria itu hanya tertawa kecil. "Bagus. Seperti itulah murid dari Gamiel dan Panavia seharusnya berbicara."

Ia berbalik, berjalan santai meninggalkan Hiori yang masih terkapar.

"Kita akan bertemu lagi, Hiori Ashley Mahardika... Aku pastikan itu."

Sosok pria misterius itu melangkah perlahan ke dalam bayangan reruntuhan, tubuhnya hampir tertelan gelapnya malam. Namun, sebelum benar-benar menghilang, ia berhenti sejenak dan tanpa menoleh, suaranya terdengar begitu pelan, hampir seperti bisikan yang disengaja.

"Oh ya... Leon," ia berujar dengan nada santai namun menusuk. "Adikmu... belum mati."

Jantung Hiori seolah berhenti berdetak. Matanya membelalak, tubuhnya yang tadinya lemas kini seketika menegang.

"Apa!?" Suaranya bergetar, bukan hanya karena keterkejutan, tetapi juga campuran emosi yang berkecamuk di dadanya. "Apa yang kau maksud!? Hei!!"

Pria itu tetap berjalan, seolah tidak peduli dengan gejolak yang baru saja ia ciptakan.

"Apa yang terjadi dengan Leon!?" Hiori berusaha mengangkat tubuhnya, tapi Essence Core-nya masih belum stabil. Rasa sakit menusuk dadanya, membuatnya tersungkur kembali ke tanah.

"Hey!! Jangan diam saja!!" Suaranya hampir berubah menjadi raungan putus asa. "Kau tadi bilang apa tentang Leon!?"

Namun, pria itu telah menghilang di balik reruntuhan, lenyap dalam kegelapan, meninggalkan pertanyaan yang menggantung di udara—sebuah kenyataan pahit yang baru saja terbuka, namun tanpa jawaban yang memuaskan.

Hiori terengah-engah, tangannya mengepal keras di tanah yang berserakan puing. Matanya penuh dengan campuran kemarahan dan harapan yang baru saja kembali menyala.

"Leon... kau masih hidup? Tapi... bagaimana? Dimana kau sekarang...?"

Langit Ortkli masih dipenuhi asap dan api, namun bagi Hiori, pertanyaan tentang adiknya akan menghantuinya lebih dari apapun.

"Oh sial... Merepotkan," gumam Hiori dengan napas tersengal, tubuhnya mulai kehilangan keseimbangan. Penglihatannya kabur, suara api yang melahap puing-puing terdengar seperti gema jauh di kejauhan.

Kakinya gemetar, Essence Core di dalam tubuhnya berdenyut tak terkendali—seolah menjerit meminta istirahat. Hiori mencoba tetap berdiri, tapi tubuhnya tak lagi mau menurut.

"Sial... Aku bahkan tak bisa menahan tubuhku sendiri..."

Dalam hitungan detik, kekuatan meninggalkan dirinya.

BRUK!

Tubuhnya ambruk ke tanah, debu dan pecahan batu beterbangan di sekelilingnya. Kesadarannya perlahan memudar, suara-suara di sekitarnya terdengar samar.

"Wah! Kak Hiori jatuh!!" teriak salah satu anak kecil.

"Cepat, kita harus membantunya!!" seru Felix, wajahnya penuh kekhawatiran.

Para warga yang selama ini hidup dalam ketakutan tanpa ragu bergegas mengelilingi tubuh Hiori yang tak sadarkan diri.

"Dia sudah melakukan banyak hal untuk kita..." gumam salah satu warga dengan mata berkaca-kaca.

"Benar! Kita tidak bisa membiarkannya begitu saja!" tambah yang lain.

Beberapa orang dengan cepat mengangkat tubuh Hiori dengan hati-hati, sementara yang lain berusaha membersihkan luka-lukanya dengan kain seadanya.

"Kita harus membawanya ke tempat yang aman sebelum penjaga lain datang!" seru seorang pria tua.

Di tengah kota yang masih dipenuhi kobaran api dan reruntuhan, warga yang dulu hanya bisa tunduk di bawah tirani kini bersatu. Mereka tak hanya menyelamatkan Hiori, tetapi juga mengambil kembali kebebasan mereka.

Namun, di balik semua itu, satu pertanyaan besar masih menggantung di udara.

"Leon... masih hidup?"

Dan ketika Hiori sadar nanti, ia tahu—pertarungannya belum berakhir.

Cahaya matahari pagi menyusup melalui celah-celah jendela kayu yang usang, menyinari ruangan sederhana itu. Hiori mengerjapkan matanya, kepalanya terasa berat seperti habis dihantam palu raksasa.

"Ugh… Dimana ini?" pikirnya sambil mencoba bangkit, namun rasa nyeri langsung menyerang tubuhnya.

Saat ia melirik ke bawah, matanya langsung melebar.

"A-APA!?"

Bagian dadanya sudah diperban dengan rapi, dan ia hanya mengenakan kemeja longgar yang tampak kebesaran untuknya. Dengan refleks, Hiori memeluk dirinya sendiri, wajahnya merona.

"S-siapa yang mengganti pakaianku!? Jangan bilang—"

"Pagi, Nak! Kau sudah bangun rupanya?"

Sebuah suara tua dan hangat memecah kepanikannya. Hiori menoleh dan melihat seorang nenek tua dengan rambut keperakan masuk ke dalam kamar, membawa nampan berisi semangkuk sup hangat.

"A-aku... Dimana ini?" Hiori masih memeluk dirinya sendiri, tatapannya waspada.

"Kau ada di rumahku, sayang. Aku ini perawat di desa ini. Jangan khawatir, aku yang merawat lukamu," jawab sang nenek dengan senyum lembut.

"Oh..." Hiori menghela napas lega, lalu menggaruk kepalanya yang masih terasa pening. "Syukurlah..."

Sang nenek tertawa pelan, lalu meletakkan sup di meja samping kasur.

"Aku yang mengganti pakaianmu juga, jadi tenang saja, Nak. Aku ini sudah terlalu tua untuk memikirkan hal yang aneh-aneh," ucapnya santai sambil mengipasi dirinya dengan tangan.

Namun, justru karena ucapan itu, wajah Hiori makin memerah.

"Tidak, justru itu yang membuatnya makin aneh!!"

Sang nenek memperhatikan ekspresi Hiori yang kikuk, lalu terkekeh. "Hahaha, kau ini lucu sekali! Makan dulu, supnya masih hangat. Setelah itu, kau bisa ceritakan kenapa kau bisa terluka separah ini."

Hiori hanya bisa menghela napas panjang sambil menutupi wajahnya dengan tangan.

"Kenapa setiap kali aku bangun dari pingsan, selalu ada kejadian aneh seperti ini...?"

Hiori perlahan bangkit dari kasurnya, sedikit meringis saat rasa nyeri menusuk tubuhnya. Dengan gerakan hati-hati, ia meraih mangkuk sup yang mengepul hangat di meja samping.

"Terima kasih..." gumamnya pelan, sebelum kembali duduk bersila di atas kasur. Uap dari sup itu naik, menyelimuti wajahnya dengan aroma kaldu yang begitu menggoda.

Ia meniupnya perlahan, lalu menyeruput sesendok sup pertama. Mata Hiori melebar sedikit, rasa hangat itu menjalar ke seluruh tubuhnya.

"Ini..." Ia menggigit bibirnya sejenak, sebelum menatap mangkuk di tangannya. "Rasanya... enak sekali."

Sang nenek tersenyum tipis, duduk di kursi goyangnya sambil mengamati reaksi Hiori.

"Syukurlah, aku takut rasanya terlalu hambar untuk anak muda sepertimu."

Hiori menggeleng, terus menyeruput supnya dengan lahap. "Tidak... Rasanya seperti masakan ibuku..." suaranya merendah, ada kilasan kenangan yang muncul di benaknya.

Sang nenek memperhatikan ekspresi gadis itu, senyumnya semakin hangat. "Kalau begitu, kau harus makan yang banyak. Sup buatan seorang ibu—atau nenek—memiliki kekuatan spesial, kau tahu?"

Hiori terdiam sejenak, lalu terkekeh kecil. "Heh... Itu kedengaran seperti sesuatu yang ibuku juga akan katakan."

Ia melanjutkan makannya dengan tenang, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa benar-benar nyaman. Seolah-olah, meski hanya sebentar, ia bisa melupakan semua pertarungan dan darah yang selama ini mengiringi langkahnya.

Nenek itu mengangkat alisnya, menatap Hiori dengan penuh rasa ingin tahu. "Nak, kenapa kau bisa sampai di kota Ortkli kalau tujuanmu bukan ke sini?"

Hiori berhenti sejenak, mengunyah roti keringnya sebelum menjawab dengan santai, "Uh… Sebenarnya aku cuma mampir. Kereta yang kunaiki bukan ke kota yang kuinginkan."

Sang nenek menyipitkan mata, tampak menimbang kata-kata gadis itu. "Oh? Lalu ke mana seharusnya kau pergi?"

Hiori menyeruput supnya sekali lagi sebelum berkata, "Aku mau ke desa Winak."

Mendengar itu, nenek itu mendadak terbatuk kecil. "Loh? Bukannya desa Winak tidak ada di rute kereta?"

Hiori menghela napas, menatap ke luar jendela yang diselimuti asap dan langit kelabu. "Uhh… Ya, aku bakal turun di kota Hulu, terus jalan kaki ke sana."

Sang nenek menggeleng sambil terkekeh kecil. "Jalan kaki? Nak, kau tahu tidak? Hulu ke Winak itu jaraknya jauh, melewati hutan dan lembah curam. Apa kau yakin tidak akan dimakan beruang sebelum sampai?"

Hiori berhenti mengunyah, lalu menelan makanannya dengan sedikit canggung. "Ehh… Beruang? Aku sih lebih khawatir kalau malah ada bandit atau monster."

Nenek itu tertawa kecil. "Ya ampun, nak. Kau lebih takut bandit daripada beruang? Dasar anak muda zaman sekarang."

Hiori menggaruk kepalanya, sedikit kesal karena diremehkan. "Hei, aku ini bukan sembarang orang. Lagipula, kalau ada yang menyerang, aku punya caraku sendiri untuk menghadapi mereka."

Nenek itu tersenyum, matanya berbinar penuh arti. "Heh… Kalau begitu, aku harap kau tidak hanya punya mulut besar, tapi juga cukup kuat untuk membuktikannya."

Hiori tersenyum miring. "Yah, kau bakal lihat nanti, Nek."

Ia lalu kembali menyantap supnya, sementara dalam benaknya, ia mulai memikirkan perjalanan panjang yang masih menantinya.

Beberapa menit kemudian, Hiori meletakkan sendoknya di mangkuk kosong dengan puas. "Haaah… Terima kasih atas makanannya, Nek. Rasanya seperti masakan ibuku," ujarnya sembari mengusap perutnya yang kini terasa hangat.

Sang nenek tersenyum lembut. "Senang mendengarnya, nak. Tapi kau yakin tidak mau beristirahat lebih lama?"

Hiori berdiri, meraih mantelnya yang tergantung di kursi dan mengenakannya kembali. "Aku harus bergegas. Terlalu lama diam di satu tempat hanya akan membuat kakiku gatal," katanya sambil membetulkan ikatan sarung pedangnya.

Nenek itu menghela napas, lalu menatapnya dengan tatapan penuh arti. "Kau ini… seperti angin yang tidak bisa diam. Tapi hati-hati di luar sana, nak. Dunia ini lebih kejam dari yang kau kira."

Hiori menyeringai kecil, menatap nenek itu dengan percaya diri. "Heh… Dunia boleh kejam, tapi aku lebih keras kepala darinya."

Sang nenek tertawa kecil. "Hmph, dasar anak muda. Kalau begitu, semoga angin membawamu ke tempat yang kau tuju dengan selamat."

Hiori menyesuaikan mantelnya sekali lagi, lalu berjalan menuju pintu. "Terima kasih, Nek. Aku pasti akan kembali ke sini suatu hari nanti… dengan cerita yang lebih menarik."

Ia lalu membuka pintu, dan begitu keluar, udara pagi yang sejuk langsung menyambutnya. Dengan langkah mantap, ia berjalan menuju petualangan berikutnya, sementara nenek itu hanya bisa tersenyum tipis, menatap sosok gadis itu yang perlahan menghilang di kejauhan.

"Kak Hiori! Kamu sudah sembuh!" seru Felix dengan wajah penuh semangat sebelum langsung melompat memeluknya.

"Oi, oi! Pelan-pelan, bocah!" Hiori menepuk kepala Felix dengan ringan. "Tentu saja aku sudah sembuh. Kau pikir aku ini siapa? Aku ini Hiori Ashley Mahardika! Seorang murid dari Gamiel dan Panavia! Aku gak akan tumbang cuma gara-gara sedikit luka!" katanya dengan nada sombong, meski sedikit geli melihat ekspresi bahagia Felix.

Felix tertawa kecil, lalu menatapnya dengan wajah serius. "Kak Hiori... Bolehkah aku ikut denganmu?"

Hiori terdiam sejenak, menatap mata bocah itu yang penuh dengan tekad. Ia menghela napas panjang dan meletakkan tangannya di kepala Felix, mengacak rambutnya dengan lembut.

"Felix... Itu tidak bisa."

Felix terkejut. "Eh? Kenapa!?"

"Tugasmu bukan ikut denganku. Tugasmu adalah melindungi tanah airmu, kota Ortkli." Hiori menepuk pundaknya pelan. "Orang-orang di sini butuhmu. Kau sudah melihat sendiri bagaimana dunia ini kejam, kan? Kalau kau pergi, siapa yang akan menjaga anak-anak yang lain? Siapa yang akan memastikan kota ini tidak jatuh ke tangan bajingan lagi?"

Felix menggigit bibirnya, tampak ragu. "Tapi… aku ingin menjadi kuat seperti Kak Hiori…"

Hiori menyeringai. "Dengar, Felix. Kekuatan bukan cuma soal bertarung atau pergi berpetualang. Kadang, kekuatan sejati adalah tetap bertahan di tempatmu, menghadapi semua tantangan, dan tetap melindungi orang-orang yang kau sayangi."

Felix mengepalkan tangannya, lalu mengangguk dengan mata yang kini penuh tekad. "Baik! Aku akan melindungi kota ini, Kak Hiori! Tapi suatu hari nanti, aku pasti akan jadi cukup kuat untuk berpetualang juga!"

Hiori tersenyum tipis. "Heh, kita lihat saja nanti. Kalau kau benar-benar ingin jadi lebih kuat, maka latih dirimu baik-baik. Jangan hanya omong kosong, bocah."

Felix tersenyum lebar. "Aku janji!"

Hiori menatapnya sesaat, lalu memalingkan wajahnya ke arah jalan yang terbentang di depannya. Petualangan berikutnya sudah menunggunya. "Kalau begitu… aku pergi dulu, Felix. Jaga dirimu dan jangan bikin masalah."

Felix tersenyum dan melambaikan tangan. "Sampai jumpa, Kak Hiori! Jangan lupa kembali dengan cerita keren lagi!"

Dengan langkah mantap, Hiori melangkah menuju stasiun, setiap jejak kakinya menggema di jalanan berbatu kota Ortkli yang masih dipenuhi sisa-sisa kekacauan semalam. Angin pagi berhembus lembut, membawa aroma asap yang mulai memudar dan udara segar yang perlahan kembali menguasai kota.

Felix dan anak-anak lain berdiri di kejauhan, melambai ke arahnya dengan senyum penuh harapan. Hiori hanya mengangkat tangannya sekilas, tak menoleh, tapi ia tahu—ia bisa merasakan tatapan mereka yang penuh rasa terima kasih dan kekaguman.

Sesampainya di stasiun, suara kereta uap yang mendesis dan derak besi yang bergema menyambutnya. Asap putih mengepul ke udara, bercampur dengan cahaya matahari yang mulai naik. Hiori menarik napas dalam, menatap jalur rel yang membentang jauh ke depan—misterius, tak terduga, dan penuh kemungkinan.

"Petualangan berikutnya menunggu..." gumamnya dengan seringai kecil, sebelum melangkah naik ke dalam gerbong.

Saat kereta mulai bergerak, angin menerpa wajahnya. Kota Ortkli semakin jauh, namun di dalam hatinya, ia tahu bahwa jejaknya telah tertinggal di sana—jejak seorang gadis yang menghancurkan rantai penindasan dengan tangan dan tekadnya sendiri.

Hiori menyandarkan kepalanya di kursi, membiarkan tubuhnya rileks sejenak saat roda besi kereta bergemuruh di jalurnya. Asap tipis dari lokomotif berputar-putar di luar jendela, membaur dengan langit yang mulai memerah menjelang senja.

Ia merogoh mantel lusuhnya, jemarinya menyentuh sesuatu—secarik kertas yang terasa sedikit kusut. Dengan alis sedikit mengernyit, ia mengeluarkannya dan membaca tulisan yang tertera di sana.

"Carilah Barnard Barnes. Dia adalah orang yang akan membantumu."

—Gamiel.

Hiori mendecak pelan, matanya menelusuri tulisan itu berkali-kali. Nama yang asing, tapi jika itu datang dari Gamiel, maka orang ini pasti bukan sembarang individu.

"Barnard Barnes, ya?" gumamnya, memainkan kertas itu di antara jarinya. "Orang seperti apa kau, huh? Apa benar kau akan membantuku, atau malah membuat segalanya jadi lebih rumit?"

Ia menghela napas panjang, menyelipkan kembali kertas itu ke dalam mantel. Di luar, pemandangan terus berubah, membawa Hiori semakin dekat ke takdir yang belum ia ketahui.

Satu hal yang pasti—petualangan ini belum selesai. Dan Barnard Barnes, siapa pun dia, akan menjadi bagian dari bab berikutnya.

More Chapters