Ficool

Chapter 8 - EPS (7) Terbentuk nya sekelompok legenda

Barnard tertawa kecil, suara beratnya seperti besi yang bergesek dengan batu.

“Aku suka perkataanmu, nak…” ucapnya sambil mengangkat sebilah besi merah membara dari tungku. Api menari liar di sekelilingnya, menciptakan siluet seorang pria yang seperti berasal dari zaman perang itu sendiri. “Aku akan pertimbangkan untuk ikut denganmu.”

Hiori mengangkat kepala, matanya berbinar. “Tunggu, sungguh?!”

Barnard menoleh setengah, sudut bibirnya terangkat seperti ingin tersenyum... lalu dengan santai menjawab, “Tidak.”

Dentang palu yang menghantam logam menggema. Keheningan langsung menyelimuti ruangan, seolah setiap partikel udara pun ikut terdiam karena respon itu.

“…Hah?” ucap Hiori, wajahnya datar tak percaya.

“Daripada kau berdiri kaku seperti tiang pancang,” lanjut Barnard tanpa menoleh, “lebih baik kau bantu aku di sini. Siapkan arangnya, putar roda pendingin, dan jangan sentuh apa pun yang bersinar atau mendesis. Kalau kau bisa bertahan setengah hari tanpa bikin kekacauan… baru kita bicara soal aku ikut denganmu.”

Tanpa pikir panjang, Hiori langsung menggulung lengan bajunya. “Baiklah, anggap saja ini bagian dari ujian. Kalau ini yang harus kulakukan… aku siap!”

Barnard hanya mengangguk samar, lalu kembali memukul besi panas dengan presisi dan kekuatan yang tak mencerminkan usianya. Suara logam yang dipalu berpadu dengan percikan api seolah menciptakan simfoni kerja keras—dan di tengah gemuruh itu, Hiori mulai bekerja, memutar roda pendingin dan menyiapkan arang, mencoba menyelaraskan diri dengan ritme seorang pandai besi legendaris yang sudah lama pensiun dari dunia.

Di balik asap dan kobaran api, dua generasi bertemu. Dan di sana, tanpa mereka sadari… sebuah aliansi mulai terbentuk.

Beberapa jam telah berlalu. Matahari mulai condong ke barat, melemparkan cahaya jingga yang menyinari bengkel tua itu. Asap dari tungku perlahan naik ke langit, menari di antara siluet pepohonan dan aroma besi terbakar masih menusuk hidung.

“Sudah cukup!” teriak Hiori tiba-tiba, nadanya sarat dengan frustrasi. Ia melempar sapu ke lantai, menimbulkan suara gedebuk keras yang menggema di ruang kerja. “Ini membuatku gila! Aku datang ke sini karena misi penting—bukan untuk jadi pelayanmu!”

Barnard tak langsung menjawab. Ia hanya melirik Hiori dari balik kacamata hitamnya yang buram oleh jelaga, lalu kembali menempa sebilah pedang.

Hiori melangkah maju, napasnya terengah karena emosi. “Aku sudah menyapu lantai sampai tanganku gemetaran, menyalakan tungku sampai alisku hampir terbakar, bahkan mengganti arang berkali-kali! Kau hanya mempermainkanku, kan!?”

Dentang palu terhenti.

Keheningan merayap masuk seperti kabut, menahan napas bengkel itu sejenak.

Barnard meletakkan palunya perlahan, lalu menoleh.

“Kalau kau ingin aku ikut bertarung bersamamu, kau harus paham satu hal penting, anak muda…” Suaranya tenang, namun dalam dan tajam. “Sebelum kau mengangkat senjata dan memohon pertarungan, belajarlah menanggung beban yang tidak terlihat oleh mata. Perang bukan hanya tentang kekuatan... tapi tentang tekad dan pengorbanan.”

Ia mendekat, mata tuanya menatap tajam ke arah Hiori.

“Kalau menyapu dan menyalakan tungku saja bisa membuatmu menyerah… bagaimana kau akan menghadapi neraka yang sebenarnya?”

Hiori terdiam. Nafasnya masih berat, tapi kemarahan di matanya perlahan memudar, tergantikan oleh rasa malu dan... sedikit hormat.

Barnard membalik badan dan melangkah ke meja kayu tempat sebilah senjata tak selesai tergeletak.

Hiori menghela napas panjang, lalu meraih kembali sapunya yang tadi sempat ia lempar. Debu dan serpihan logam kembali ia kumpulkan, kali ini tanpa keluhan. Meski tubuhnya terasa letih, ada keteguhan baru dalam tiap gerakannya.

Beberapa menit kemudian, suara berat Barnard memecah keheningan sore.

“Hei, ayo keluar. Toko sudah tutup,” ujarnya sembari memadamkan api tungku.

Tanpa protes, Hiori mengikuti langkah sang pandai besi keluar bengkel. Angin sore menyambut mereka, membawa aroma tanah lembap dan bunga liar dari ladang sekitar desa Winak.

Namun mata Hiori langsung menatap tajam ke arah barang-barang yang disandang Barnard: ransel besar yang penuh, kantong peralatan tergantung di pinggang, dan gulungan kain tua yang entah berisi apa.

“Kau... bawa perlengkapan sebanyak itu? Apa rumahmu jauh?” tanya Hiori dengan bingung.

Barnard menoleh pelan, wajahnya santai namun penuh makna. “Apa yang kau bicarakan? Aku sudah mengemas semua barangku.”

Mata Hiori melebar. “Ke–kemana?” tanyanya tak yakin, hatinya setengah berharap dan setengah tidak percaya.

Namun Barnard hanya tersenyum, senyum tipis namun hangat yang menyingkap sisi dirinya yang selama ini tersembunyi di balik ketegasan.

“Bukankah kau butuh bantuan?” katanya ringan. “Dan aku... butuh perjalanan baru.”

Hiori tercengang, matanya membulat. “Tunggu... jangan-jangan...”

“Kau akan ikut!” serunya, suaranya hampir terdengar seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan langka.

Barnard mengangguk kecil. “Tapi aku punya satu syarat.”

Hiori langsung tegang. “Apa itu?”

“Jangan pernah melempar sapu lagi di hadapanku,” ujar Barnard datar.

Dan untuk pertama kalinya sejak pertemuan mereka—keduanya tertawa kecil, bersahabat, dalam jalan awal menuju takdir yang lebih besar.

Hiori melangkah santai di sebelah Barnard, tangan menyelip di saku mantelnya. "Jadi... Barnard, bisakah kau ceritakan tentang masa lalu mu?" tanyanya sambil melirik.

Barnard menghela napas, seolah udara sore yang dingin membawa kembali bayangan masa lalunya. "Uh... Mulai dari mana ya..." gumamnya, suaranya berat seakan mengaduk-aduk kenangan lama.

"Mulai dari yang paling keren," celetuk Hiori ringan.

Barnard terkekeh, suara tawa seraknya menggema samar di jalanan desa yang lengang. "Baiklah... Dulu, sebelum dunia ini jadi berisik dan penuh mesin seperti sekarang... aku adalah penempa para pejuang surgawi. Pedang yang bisa membelah awan, perisai yang bisa menahan hujan bintang—aku membuat semuanya."

Mata Hiori sedikit membelalak. "Serius? Kau kayak legenda berjalan dong."

Barnard mengangkat bahu. "Mungkin. Tapi, setiap tempaanku punya harga—tak hanya emas, tapi darah, nyawa, dan sumpah. Saat Perang Surgawi pecah, aku menciptakan senjata untuk membantai para makhluk gelap... dan juga teman-temanku sendiri."

Hiori terdiam, membiarkan langkah-langkah mereka berbicara sejenak.

"Setelah itu," lanjut Barnard, "aku bersumpah tidak akan lagi menempa alat untuk membunuh. Aku pensiun di desa ini... berharap dunia melupakan namaku."

"Tapi dunia gak bisa melupakan yang hebat," sahut Hiori pelan, suaranya seakan dibawa angin.

Barnard tersenyum samar. "Mungkin. Atau mungkin dunia cuma menunggu kapan aku kembali... untuk memikul beban itu sekali lagi."

Angin sore menyapu rambut mereka. Di kejauhan, siluet gunung dan awan merah membentuk lukisan langit yang megah.

Hiori menatap Barnard dengan lebih dalam kali ini—bukan hanya sebagai pandai besi tua, tapi sebagai bagian dari legenda yang belum usai.

"Aku nggak tahu beban macam apa yang kau pikul, Barnard," kata Hiori akhirnya, "tapi kalau aku bisa, aku mau bantu meringankannya."

Barnard menahan tawa kecil. "Kau bicara seperti pahlawan, padahal kita ini baru mau bertarung melawan dunia."

"Kadang-kadang," Hiori tersenyum tipis, "pahlawan bukan tentang menang... tapi tentang siapa yang tetap berdiri di akhir."

Mereka melanjutkan perjalanan, dua sosok kecil di antara dunia yang jauh lebih besar, namun masing-masing membawa bara kecil yang tidak akan pernah padam.

Hiori melangkah pelan sambil mengerutkan kening, pikirannya penuh tanya. Ia menatap Barnard dengan tatapan curiga, seolah-olah baru saja menyadari sesuatu yang aneh.

"Tunggu deh..." gumam Hiori sambil memicingkan mata. "Bukannya Perang Surgawi itu terjadi 478 tahun yang lalu ya? Terus... umur kamu sekarang berapa?" tanyanya setengah serius, setengah bergidik.

Barnard hanya menghela napas panjang seakan sudah menduga pertanyaan itu akan muncul. "Hmm... Waktu itu aku masih remaja, kira-kira umur 20-an," jawabnya santai sambil menendang kerikil kecil di jalan.

"Huh!? Apa-apaan itu!?" Hiori melotot, hampir tersandung langkahnya sendiri. "Kamu manusia atau bukan sih!?"

Barnard tertawa kecil, suaranya berat seperti batu bergesekan. "Aku bukan manusia sepenuhnya, nak. Aku ini ras Dwarf," katanya sambil menepuk dadanya dengan bangga.

Hiori berkedip, bingung. "Apa!? Bukannya ras Dwarf itu... yaa... pendek, janggutan, dan suka mabuk di kedai bir? Kok kamu tinggi? Gak adil!"

Barnard terkekeh, ekspresinya penuh nostalgia. "Ah, itu... Waktu itu ibuku manusia. Ayahku Dwarf. Aku ini... campuran, setengah Dwarf setengah manusia."

"Campuran, ya?" Hiori menggaruk kepala. "Kayak... kopi susu?"

Barnard hanya tertawa keras, suaranya menggema di sepanjang jalan kecil itu. "Bisa dibilang begitu. Aku dapat tubuh tinggi dari ibuku dan kekuatan keras kepala dari ayahku."

Hiori mengangguk-angguk, akhirnya menerima penjelasan itu walau tetap ada rasa tidak percaya. "Pantas aja... keras kepala kayak batu kapur."

Barnard tersenyum lebar. "Dan aku juga punya umur panjang, seperti ras ayahku. Dwarf hidup ratusan tahun, nak. Kalau kau pikir umurku sekarang aneh, kau belum pernah bertemu nenekku... dia masih hidup dan galak."

Hiori terkekeh kecil, merasa perjalanannya jadi jauh lebih menarik dengan cerita aneh macam ini.

"Ya ampun... Dunia ini bener-bener penuh kejutan," gumam Hiori sambil melangkah lagi, kali ini dengan semangat baru.

Langit di atas mereka perlahan berubah jingga, menandai awal petualangan yang lebih besar yang sudah menunggu di ujung jalan.

More Chapters