Ficool

Chapter 17 - Bab 17 - Cahaya yang Tertahan

Kabut menggantung rendah di antara pohon-pohon tua, mengendap dalam bisu seperti napas hutan yang tertahan. Udara dingin membelai kulit, membawa bau tanah basah dan aroma samar air yang bersembunyi tak jauh dari sana. Telaga Bayang... sudah dekat. Hanya satu mil memisahkan mereka dari tempat sakral itu-dan ketakutan yang belum mereka tahu.

Malam turun perlahan. Api unggun menyala malas, memantulkan cahaya keemasan ke wajah ketiganya yang duduk dalam diam. Reina membolak-balik potongan daging hasil buruan siang tadi, sementara Bhirendra mengaduk-aduk bara api dengan sihirnya, matanya jauh... terlalu jauh untuk sekadar memikirkan masakan.

Lalu-Talarka di pinggang Bhirendra bergetar pelan. Sebuah sinar membuncah ke udara dalam spiral menyerupai debu keemasan lembut yang segera berubah tajam, memantul di sekeliling mereka seperti suara gema dari kedalaman dunia.

"Panglima... ini Pramudya. Dinding Dimensi Timur-retak. Saya tak bisa menahannya lebih lama. Saya butuh bantuan anda. Segera. Atau kita akan...." Suara itu terputus tiba-tiba. Talarka terhempas ke tanah dan menghilang dalam semburat asap tipis.

Reina mendongak, alisnya naik. "Apa itu?"

Tak ada jawaban. Hanya wajah Bhirendra yang mengeras, alisnya yang biasanya teratur kini berkerut dalam ketegangan yang tidak biasa. Bahkan Radeeva melirik sekilas dari tempat duduknya, lalu mendesah pendek.

"Apa kau pikir kami ini batu? Jelaskan, atau aku akan menyimpulkan sendiri," cecarnya tajam, tapi ada nada waspada yang tak bisa disembunyikan.

Bhirendra masih diam. Jemarinya mencengkeram lututnya, rahangnya menegang. Api di hadapannya berpendar, tapi tidak cukup menghangatkan keraguan yang berputar di dalam dadanya.

"Laporan dari markas penjaga," gumamnya akhirnya. "Dinding Dimensi Timur mengalami keretakan. Pramudya tidak mampu menahan pergeseran realitasnya."

Reina mendengus. "Lalu, kenapa kau belum kembali?"

Radeeva menyela cepat, tangannya membuat gerakan usir seperti menghalau lalat. "Kalau begitu, pergi saja. Biarkan kami menyelesaikan misi artefak ini. Kau kembali nanti setelah semuanya beres."

Tapi tidak ada yang bergerak.

Tatapan Bhirendra perlahan menelisik keduanya, bergantian. Sorot matanya tak bisa dibaca-antara marah, bingung, dan ada sesuatu yang lebih dalam... ketakutan?

"Aku tidak bisa meninggalkannya," katanya pelan.

"Kau takut kami gagal tanpa dirimu?" Radeeva mengangkat satu alis.

"Bukan itu." Bhirendra menahan napas dan menoleh ke arah Reina dengan perasaan pelik. "Kami... terikat Wadhita Arkanasya. Perjanjian darah antara Penjaga dan Sang Terpilih. Jika salah satu pergi terlalu jauh, ikatan itu... bisa hancur. Dan nyawa salah satu dari kami... mungkin tak kembali."

Keheningan langsung turun seperti kabut yang baru saja dikoyak.

Reina tercekat, tubuhnya kaku. Ia ingat-ritual itu, cahayanya yang masuk ke kulitnya seperti racun dan berkah sekaligus. Tapi tak pernah ia duga konsekuensinya seperti ini. Ia mengira, hanya sekadar ikatan sihir pelindung. Bukan pertaruhan nyawa.

Radeeva-yang jarang kehilangan kata-kini hanya bisa menepuk jidatnya pelan dengan dua jari panjangnya. "Bodoh... kita semua terlalu bodoh..."

Tak ada yang berbicara selama beberapa saat. Angin malam menyusup di antara jubah dan niat mereka yang kini mulai goyah. Di atas sana, dua bulan menggantung dengan diam yang muram. Seolah menunggu... siapa yang akan membuat keputusan pertama.

Api unggun tinggal bara, tak mampu mengusir dingin yang perlahan menyusup masuk ke tulang. Reina memeluk lututnya, menatap sisa-sisa pembakaran yang sesekali menyala merah seperti nadi terakhir dari keberanian yang hampir padam.

"Ada jalan lain," suara Radeeva memecah sunyi. Pelan, penuh pertimbangan, namun tegas. "Kau satu-satunya yang mampu berkomunikasi langsung dengan panatua di Menara Cahaya. Gunakan Mantrayana Rasa-resonansi jiwa sang terpilih. Tanyakan pada mereka... apakah ada cara untuk melepaskan Wadhita Arkanasya tanpa membunuhmu."

Reina menoleh, ragu. "Apa aku bisa melakukannya... Aku tidak tahu caranya."

Radeeva mendekat dan menatap Reina dengan keyakinan penuh. "Cukup tanamkan hatimu ke tanah Swantara. Di sini... kau tetap terdengar."

Bhirendra masih diam. Tak sanggup menyela. Sementara Reina mengambil napas panjang, dan diam sejenak.

Kemudian, seolah mendapat petunjuk, ia duduk bersila, memejamkan mata, membiarkan suara hutan mengalir seperti gelombang di dalam tubuhnya. Jantungnya berdetak kencang saat ia merapal Mantrayana Rasa, mantra yang tak pernah ia ucapkan sebelumnya, yang hanya bisa lahir dari darah sang Terpilih.

Udara berubah. Segalanya mendadak sunyi. Lalu... pancaran cahaya biru keperakan menyelubungi tubuh Reina. Wajahnya tenang, tapi napasnya tercekat. Ia telah masuk ke dalam resonansi antara dunia nyata dan alam suci Menara Cahaya dan di sanalah ia bertemu kembali dengan panatua Mahawira.

"Reina," suara itu datang seperti suara dari dalam dada, dalam dan bergema.

"Aku tak bisa membiarkan Bhirendra pergi," ujar Reina dalam batin. "Ikatan Wadhita Arkanasya... akan membunuh salah satu dari kami. Tapi, aku tidak ingin menjadi beban."

Panatua Mahawira diam sejenak. Suaranya kemudian turun seperti petir yang tak bersuara. "Maka satu-satunya jalan adalah Wira Pratistha-pengikat jiwa dan pemecah takdir. Ritual kuno yang akan memisahkan sebagian jiwamu... dan menyebarkannya ke setiap artefak kuno yang akan kau cari."

Reina membeku. "Apa... maksudnya?"

"Kau akan meninggalkan sebagian dirimu di artefak-artefak itu. Jika kau gagal mengumpulkan semuanya... jika ada yang jatuh ke tangan musuh... maka kau tidak akan bisa kembali. Ragamu mungkin hidup. Tapi jiwamu akan tercerai... dan kau akan hanyut dalam alam antara-menjadi arwah yang terpecah."

Reina menahan napas. Ingin menolak. Tapi lidah hatinya kelu.

"Dan bila kau berniat menunda perjalanan dan ikut bersama Bhirendra... " ucap panatua itu, seolah membaca pikirannya.

"Maka jalur sihir akan runtuh. Tak hanya Swantara... Arunika pun akan terkoyak. Dimensi ini tidak sabar menunggu ketakutanmu, Reina. Kau telah dipilih." Suara itu memudar. Cahaya menghilang.

Di sisi lain api unggun, Radeeva dan Bhirendra menunggu. Tubuh Reina bersinar pelan, lalu padam. Ia membuka mata. Sorotnya berbeda-penuh keputusan.

"Apa katanya?" tanya Bhirendra cepat.

Reina tidak menjawab. Ia hanya menarik napas panjang, memijit keningnya, cukup lama sebelum akhirnya bangkit berdiri.

"Bhirendra," katanya pelan. "Kita harus melakukan ritual. Sekarang."

Mereka saling menatap. Lama. Hening.

"Ritual apa maksudmu?" tanya Radeeva, setengah mencurigai, setengah ketakutan.

Reina menggeleng. "Percayalah. Ini satu-satunya jalan."

Bhirendra tidak bertanya lebih jauh. Tatapan Reina... mengandung sesuatu yang tidak bisa dibantah. Ia tahu, gadis itu telah memutuskan untuk memikul sesuatu yang lebih berat daripada yang pernah ia bayangkan.

Reina mengangkat telapak tangan. "Lukai aku. Gunakan Prawara Samayoga," ucapnya, tenang.

Bhirendra menatap pedang sihirnya, lalu tatapan Reina. Ragu sempat singgah. Tapi ia tahu: ini bukan tentang melukai... ini tentang mempercayai.

Dengan satu sayatan tipis, darah mengalir dari telapak Reina. Darah itu tidak jatuh ke tanah-melainkan terangkat oleh sihir kuno yang dirapal, berpendar di udara seperti serpih cahaya.

Mantra kuno terdengar. Dan cahaya itu... meledak perlahan, lalu pecah jadi delapan arah. Satu cahaya masuk ke cincin Cakra Adhiwara milik Reina-tempat Mandaka Rasa bersemayam. Tujuh lainnya... lenyap ke penjuru langit, melesat ke arah yang berbeda.

Radeeva ternganga. "Itu... arah semua artefak..."

Reina tidak bicara. Ia menatap tangannya yang masih berdarah. Lalu pelan-pelan berkata, "pergilah, Bhirendra. Kami akan menunggumu... Disini."

Dan pada saat itu, tanpa mereka tahu, Swantara telah mengukir ulang takdir baru.

Tak ada jalan kembali.

More Chapters