Ficool

Chapter 23 - Bab 23 - Retakan Jiwa dan Pecahnya Keyakinan

Cahaya lilin sihir menggantung pelan di langit-langit kamar. Nyala birunya menari di udara seperti riak air yang tenang. Namun kedamaian itu segera patah saat kelopak mata Chandani bergetar dan perlahan terbuka. Ia menarik napas pendek, seolah baru kembali dari tempat yang jauh, dan langsung mendapati dua sosok tinggi berdiri di sisinya: Bhirendra dan Radeeva.

"Pangeran..." bisiknya, hendak bangkit memberi salam, namun Radeeva mengangkat tangan cepat.

"Tak perlu formalitas," ucapnya dingin, tidak seperti biasanya. Tatapannya tajam, wajahnya serius, tak ada sisa jenaka yang biasa ia tunjukkan di hadapan Reina. "Kenapa kau bisa di sini, Chandani? Kau dari asrama Aralama. Seharusnya tempatmu jauh dari zona pertempuran."

Chandani membuka mulut, ragu-ragu. Pandangannya mencari jawaban dari wajah Bhirendra, namun pria itu berdiri kaku seperti patung marmer. Ketika akhirnya ia bicara, suaranya gemetar.

"Saya tidak tahu... Saya hanya ingat langit berubah... dan setelah itu... gelap...." Suaranya perlahan memudar.

Tiba-tiba bola matanya memutih. Cahaya biru gelap menyelubungi tubuhnya. Suara berat dan dalam yang bukan miliknya keluar dari bibirnya.

"Reina... dia biang dari semua ini. Sistem keamanan telah rusak. Panarasa Hitam datang atas panggilannya. Dinding dimensi terguncang... Asrama Aralama terbakar."

Radeeva melangkah maju. "Omong kosong!" bentaknya. "Apa yang kau katakan tidak masuk akal."

Namun roh dalam tubuh Chandani tidak terganggu. Ia mengangkat tangan yang gemetar dan menunjuk ke arah Bhirendra.

"Dia melakukan Wira Pratistha. Gadis itu. Gadis Arunika. Dia mengikat jiwanya pada leluhur dimensi... Memisahkan takdir kalian. Dia bukan manusia biasa. Dia pemicu kehancuran..."

Bhirendra menegang. Napasnya tercekat. Kata-kata roh itu menghantamnya seperti tombak es. Wira Pratistha? Itu ritual kuno yang tidak sembarang bisa dilakukan. Bahkan ia sendiri belum pernah melihat langsung orang yang berhasil melakukannya.

Namun, tiba-tiba ia teringat malam itu, saat Pramudya menghubunginya lewat Talarka. Reina menghubungi Panatua Mahawira, kemudian melakukan ritual.

"Kalau kalian tidak percaya... tunggu saja. Ia akan memilih antara dua dunia. Dan kalian... akan menjadi musuhnya."

Tubuh Chandani mendadak lemas. Cahaya lenyap. Ia jatuh kembali ke bantal, napasnya pendek dan panik. Mata bulatnya menatap dua lelaki yang kini saling bertukar pandang dalam kebingungan dan teror samar.

Di sisi lain, Reina berdiri di depan jendela kamarnya. Malam menurunkan embun lembut, dan angin mengusap wajahnya seperti panggilan dari kejauhan. Tapi bukan angin itu yang membuat bulu kuduknya berdiri.

Ada sesuatu.

Sesuatu yang bergerak di balik pikirannya. Sebuah desakan asing yang mendorong kesadarannya keluar dari tubuh. Rasanya seperti... seseorang mencoba masuk.

"Tidak..."

Reina segera duduk bersila, menekan titik pusat aliran sihir di dadanya. Ia mencoba mengingat latihan yang pernah diajarkan oleh Radeeva-kontrol inti jiwa, hembuskan, kunci lapis luar, tarik energi ke dalam, tapi terlambat.

Sesuatu telah menguasai indranya. Dan dalam sekejap, Reina berlari menuju kamar Chandani, didorong oleh satu suara yang menggaung di dalam kepalanya.

"LENYAPKAN DIA. DIA BAHAYA. DIA MUSUH."

Pintu kamar Chandani terbuka dengan ledakan sihir. Reina menerobos masuk, mata menyala dengan kilat putih samar. Ia tidak berkata apa-apa. Hanya mengangkat tangannya-dan melemparkan gelombang sihir ke arah tempat tidur.

"REINA!" Radeeva menerjang lebih dulu, melempar tameng sihir untuk melindungi Chandani.

Bhirendra langsung mengangkat tubuh Chandani dan mundur ke pojok ruangan. Radeeva berdiri di antara Reina dan Bhirendra, mencoba menahan serangan.

"Reina! Sadarlah! Kau kenapa?!"

Reina tidak menjawab. Matanya gelap, suaranya terdengar seperti bergema dari dasar sumur yang dalam. "Dia harus dilenyapkan... dia penyebab retakan."

"Dia korban, Reina!" Radeeva berseru, tapi Reina melompat, menendang, dan melemparkan semburan api. Si Cakra Adhiwara berputar di jari-jarinya, melepaskan kilatan cahaya tak stabil.

Bhirendra menyerahkan Chandani kepada Radeeva. "Gunakan Raksana Yatra. Sekarang!" ucap Bhirendra dengan penekanan.

Radeeva merapal cepat, dan dalam sekejap Chandani serta dirinya lenyap dalam pusaran cahaya.

Kini tinggal Reina dan Bhirendra.

Ruangan hening sejenak. Lalu Reina mengangkat kedua tangannya dan menyerang. Serangan sihir murni, diikuti dengan dorongan fisik. Bhirendra menangkis, tidak membalas. Hanya menghindar, menarik napas berat.

"Reina! Ini aku!"

Tapi Reina menyerang lagi, dan lagi. Hingga Bhirendra terdorong menabrak lemari tua, membuat kayunya pecah berantakan. Luka kecil terbuka di pelipisnya, darah menetes. Tapi Bhirendra tidak melawan. Ia hanya berdiri di sana, dadanya naik turun, matanya menatap penuh luka.

Cahaya retak dari lampu sihir menggantung redup di sudut kamar yang kini berantakan. Dinding penuh goresan, lantai retak, furnitur tercerai-berai. Di tengah ruangan, Reina terus menyerang, menghantam dengan gelombang sihir, kaki dan tangan yang bergerak seperti badai tak terkendali.

Namun Bhirendra... tetap tidak membalas.

Ia menghindar, menangkis sebisanya, namun tubuhnya mulai melemah, jubahnya robek, luka-luka mulai bermunculan di lengan dan pipinya. Setiap tatapan Reina, setiap hantaman sihirnya, bagai cambuk di jiwa. Tapi jauh di dalam pikiran Reina yang digerogoti oleh kekuatan asing, sesuatu berteriak minta dilepaskan.

Ini bukan aku... Ini bukan aku...

Tengah sebuah lompatan brutal, Reina mendadak terhuyung ke belakang. Matanya melebar saat melihat Bhirendra di hadapannya, berlutut dengan darah menetes dari bibir, menatapnya seolah melihat orang asing. Sekelilingnya hancur, seperti dunia kecil yang ia bangun dengan susah payah, runtuh seketika.

"Bukan... ini bukan aku..." suaranya lirih, pecah, sejenak sebelum matanya kembali diliputi kegelapan dan tubuhnya dikuasai sihir kelam yang lebih liar dari sebelumnya.

Tidak ada ampun kali ini. Reina mengerahkan seluruh kemampuan sihirnya. Gelombang demi gelombang tak terkendali yang membuat udara di sekitar bergetar, dinding meledak sebagian, dan lantai terbelah. Bhirendra akhirnya terpaksa melawan. Tubuhnya bergerak cepat, tangannya melepaskan mantera pelumpuh, tameng sihir, bahkan mantra tekanan yang selama ini ia simpan.

Satu ledakan sihir mereka bertubrukan di udara. Dentumannya membuat lantai berguncang. Cahaya biru dan merah gelap berkelindan di udara.

Hingga akhirnya... mereka sama-sama terhempas ke dua sisi ruangan. Bhirendra menghantam dinding keras hingga tubuhnya rebah dan bibirnya mengucurkan darah. Reina memuntahkan darah begitu deras hingga tubuhnya menggigil dan lututnya menyerah.

Cakra Adhiwara yang melingkar di jarinya tiba-tiba bersinar terang dan meledak membentuk sebuah kubah pelindung. Cahaya biru keperakan melingkupi tubuh Reina, menjauhkannya dari sentuhan luar.

Di dalam kubah itu, waktu seolah melambat. Reina tersungkur. Namun dalam batinnya, medan perang lain tengah berlangsung, lebih brutal dan sunyi dari luar. Ia berdiri dalam ruang tak bernama, di mana dua energi saling membelit tubuhnya. Satu berwarna hitam pekat, satu lagi bersinar keperakan. Jiwa Reina terkoyak dalam perebutan itu. Ia berteriak, menyerang, mendorong, menahan. Hingga akhirnya... ia menjerit begitu keras dalam jiwa dan kekuatan hitam itu hancur.

Reina memuntahkan darah, tubuhnya jatuh ke tanah kubah, namun kesadarannya kembali. Ia membuka mata. Dunia terasa berat. Tapi ia sadar siapa dirinya. Ia sadar, tapi tidak dengan Bhirendra. Pria itu berdiri, dingin. Tidak ada keteduhan dalam matanya. Tidak ada pengertian. Hanya kecurigaan.

"Kenapa kau lakukan ini, Reina?" Suaranya datar, namun tajam. Seperti pedang yang nyaris menusuk.

Reina menoleh perlahan, menahan tubuhnya agar tidak jatuh. "Bukan aku..." jawabnya pelan.

"Lantas siapa lagi yang barusan bertarung denganku?" desis Bhirendra, satu langkah maju. "Wira Pratistha, apakah kau telah melakukannya?"

Kata itu menusuk Reina seperti panah beracun. Ia menunduk, tangan kanannya menekan dadanya, menenangkan denyut liar yang tersisa.

"Dari mana kau tahu?" gumamnya dengan napas yang terputus-putus.

"Aku bertanya... iya atau tidak?!" suara Bhirendra kini naik satu oktaf, penuh tekanan. Tatapannya tidak lagi seperti panglima yang bijak. Kini ia seperti algojo yang menginterogasi musuh negara.

Reina mengangguk pelan, dan dengan itu, kepercayaan Bhirendra runtuh. Ia melangkah mundur. Tangannya terkepal, rahangnya mengeras. "Mengapa kau mengirim Panarasa Hitam? Apa salah Chandani? Apa kau ingin menghancurkan dinding dimensi?!"

Reina mendongak, matanya merah, namun bukan karena pengaruh sihir, tapi karena kekecewaan yang terlalu dalam. "Kau menuduhku... tanpa memberi aku ruang untuk membela diri..." suaranya mulai gemetar. "Kau... benar-benar tak percaya padaku."

"Semua ini bukti!" Bhirendra menunjuk sekitar. Ruangan porak-poranda, darah di tanah, sihir yang nyaris menewaskan. "Apa lagi yang kau butuhkan untuk menyangkal semua ini?!"

Sesuatu dalam diri Reina meledak. Dengan satu hentakan tangan, ia melepaskan sihir ringan, hanya cukup untuk mendorong Bhirendra menjauh. Tubuh pria itu terpelanting dan menghantam tembok.

"Kau keterlaluan, Bhirendra!" pekik Reina. Suaranya melengking, untuk pertama kalinya ia berteriak.

"Kau... tidak pernah percaya padaku. Bahkan setelah semua yang kita lalui... Kau tidak pernah benar-benar tulus melindungiku!" Suara itu pecah di tenggorokannya. Bukan karena lemah tapi karena hati yang retak begitu dalam hingga membuat napasnya tercekat.

Reina berdiri gemetar. Terlalu banyak yang ingin ia katakan namun tak mampu tersusun. Dadanya sesak oleh luka yang bahkan tak terlihat. Sorot matanya basah, bukan dari tangis, melainkan dari sisa-sisa kepercayaan yang perlahan runtuh. Ia menggertakkan rahang, menahan agar suaranya tak kembali pecah di tengah amarah dan kekecewaan yang mengoyak dari dalam.

Ketika ia akhirnya membuka mulut, bukan teriakan yang keluar, melainkan suara dingin yang menusuk, penuh keteguhan dan luka yang tak bisa ditambal lagi. "Pergilah dari hadapanku, sebelum aku kehilangan semua rasa hormat padamu!"

Kata-kata itu terucap lirih, namun setiap suku katanya jatuh seperti palu godam, memukul tepat ke dasar harga diri lelaki di hadapannya. Satu hentakan sihir dan tubuh Reina meledak dalam cahaya, lalu lenyap begitu saja dari tempat itu. Meninggalkan keheningan, kepulan energi, dan Bhirendra... yang terdiam seperti patung.

Beberapa menit berlalu, dalam angin malam yang berembus, Bhirendra tetap berdiri di tempatnya, tidak bergerak, tapi di dalam dadanya seolah telah terjadi kehancuran.

Ia merosot, lunglai di atas lantai yang dingin. Tangannya gemetar, ia hampir memanggil nama gadis itu tapi tertahan di kerongkongan. Bayangan Reina yang menjerit kepadanya, seakan menjadi godam yang melubangi hatinya.

Apa aku... keterlaluan?

Tak ada jawaban, hanya tersisa kekosongan yang merambah jadi penyesalan.

Dari balik tangga, suara langkah kaki terdengar. Radeeva muncul dari tepat di depan pintu yang rusak, raut wajahnya kaku.

"Chandani aman. Dia... masih terguncang. Aku sudah melindungi kamar ini agar kedap dari luar." Radeeva berhenti ketika melihat kamar yang hancur. Matanya menyapu dinding yang hangus, lantai yang pecah, dan darah di pipi Bhirendra.

"Kau bertarung sebrutal ini... dengan Reina?" tanya Radeeva pelan dan Bhirendra tidak menjawab.

"Kau... menyakitinya?"

Bhirendra mendongak perlahan. Matanya kosong. Tapi di balik tatapan itu... ada ketidakberdayaan yang tak terucap.

More Chapters