Ficool

Chapter 1 - Chapter 1 : Fail

Bagi orang lain, lapangan voli itu tampak biasa saja. Garis batas putihnya mulai pudar, jaringnya sedikit miring ke satu sisi, dan lantai betonnya masih terdapat genangan kecil sisa hujan sore itu. Namun bagi Ahmad, lapangan itu terasa seperti tempat penghakiman. Setiap langkah yang diambilnya di sana seolah menguji bukan hanya kemampuan fisiknya, tetapi juga keberaniannya untuk berharap sekali lagi.

Ia berdiri di tepi lapangan, menggenggam bola voli dengan kedua tangan. Permukaannya terasa dingin dan licin. Jari-jarinya sedikit gemetar—entah karena udara atau karena perasaan yang tak bisa ia jelaskan. Di sekitarnya, para pemain lain bergerak dengan ritme yang rapi dan mantap, seolah tubuh mereka sudah tahu persis apa yang harus dilakukan. Ahmad selalu tertinggal setengah detik.

"Siap!" teriak pelatih.

Ahmad menarik napas dalam-dalam. Dia berlari, melompat, dan mengayunkan lengannya dengan sekuat tenaga. Namun sekali lagi, waktunya tidak tepat. Bola mengenai jaring, memantul lemah, dan jatuh ke sisi lapangan, tanpa disadari.

Peluit itu berbunyi nyaring.

Latihan berhenti. Beberapa pemain melirik ke arahnya, lalu kembali melanjutkan percakapan mereka. Tidak ada hinaan. Tidak ada teriakan. Hanya keheningan yang aneh—keheningan yang membuat Ahmad ingin menghilang.

Sang pelatih mendekat. Wajahnya tenang, terlalu tenang.

"Ahmad," katanya, "kau sudah berusaha sebaik mungkin."

Ahmad menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya, berharap mendengar kata-kata seperti "tapi kamu masih bisa berkembang". Namun, yang terjadi justru sebaliknya.

"Tapi voli bukan tempatmu."

Hukuman itu sederhana. Tidak kasar. Tidak kejam. Dan justru itulah mengapa hukuman itu terasa lebih menyakitkan. Ahmad mengangguk perlahan, meskipun dadanya terasa sesak. Ia meninggalkan pengadilan dengan langkah lambat, membawa pulang sesuatu yang tidak pernah ingin ia bawa bersamanya: kepastian bahwa ia telah gagal.

Dia tidak menyerah.

Belum.

Beberapa hari kemudian, ia mencoba bermain bulu tangkis. Sebuah lapangan kecil di sudut kota, remang-remang, dengan lantai kayu yang usang. Ahmad meminjam raket dari temannya—pegangannya sudah usang, senarnya kendur. Ia tidak peduli. Yang penting adalah ia mencoba.

Kok melayang di udara. Ahmad mengayunkan raketnya. Terlambat. Kok mendarat di belakangnya.

Lagi.

Dan lagi.

Setiap kali ia mencoba bergerak lebih cepat, tubuhnya seolah menolak. Kakinya kaku, lengannya berat. Lawannya bergerak ringan, seolah berpikir pun tidak diperlukan. Ahmad bermandikan keringat, napasnya tersengal-sengal, tetapi skor terus menjauh.

"Kamu selalu terlambat," kata temannya setelah pertandingan berakhir. Nada suaranya jujur, tanpa bermaksud menyakiti.

Ahmad tersenyum tipis—senyum yang terasa palsu bahkan bagi dirinya sendiri.

Ia pulang dengan bahu yang pegal dan hati yang hampa. Sepanjang jalan, ia bertanya-tanya apa yang salah dengannya. Ia berlatih. Ia berusaha. Namun rasanya seolah tubuhnya selalu selangkah di belakang mimpinya.

Sepak bola menjadi pilihan terakhirnya.

Orang yang paling dia percayai.

Lapangan tanah itu penuh sesak. Sorakan kecil bergema dari pinggir lapangan. Ahmad mengenakan sepatu sepak bola yang kulitnya sudah mulai mengelupas, tetapi hatinya terasa hangat. Di sini, setidaknya, dia merasa diterima. Dia berlari, mengejar bola, jatuh, lalu bangkit kembali. Tanah menempel di lututnya, tetapi dia tidak peduli.

Untuk pertama kalinya, dia merasa hampir cukup.

Lalu terdengar suara itu.

Retakan.

Singkat. Kering. Final.

Ahmad terjatuh sambil memegangi kakinya. Rasa sakit menerjang seperti gelombang panas yang membakar, merampas napasnya. Dunia di sekitarnya menjadi kabur, hanya menyisakan rasa sakit dan ketakutan.

"Ahmad!" teriak seseorang.

Pelatih itu berlutut di sampingnya. Wajahnya tampak serius.

"Cedera," katanya.

Satu kata.

Sekali lagi, satu kata yang menghancurkan harapan.

Ahmad tidak ingat bagaimana ia meninggalkan lapangan. Yang ia ingat hanyalah langkah kakinya yang berat, sepatu sepak bolanya yang telah dilepas, dan kekosongan yang menggerogoti dadanya. Sepak bola—harapan terakhirnya—lenyap begitu saja.

Ia mendorong sepedanya pulang. Sepeda tua dengan rangka berkarat dan cat yang mengelupas. Rantainya berderit setiap kali roda berputar, seolah mengejek nasibnya. Jalanan di malam hari bersinar jingga, dipenuhi tawa anak-anak dan orang-orang yang pulang ke rumah dengan cerita mereka sendiri.

Ahmad menundukkan kepalanya.

Dia tidak ingin melihat lapangan lain.

Dia tidak ingin bertemu siapa pun.

Setiap langkah terasa berat. Setiap meter mengingatkannya bahwa dia telah gagal lagi. Angin malam menerpa wajahnya, dingin dan tanpa ampun.

Rumahnya menyambutnya dalam keheningan. Ia melangkah masuk, menutup pintu perlahan, dan menyandarkan sepeda dengan sembarangan ke dinding. Ia duduk di lantai, punggungnya bersandar di sana. Ruangan itu terasa sempit, meskipun sebenarnya tidak.

Dia terdiam untuk waktu yang lama.

Kemudian napasnya mulai tersengal-sengal.

Tangannya mengepal. Dadanya sesak dipenuhi pertanyaan yang tak terjawab. Mengapa aku tak pernah cukup baik? Mengapa semua orang bisa melakukannya, kecuali aku?

Dia membanting tinjunya ke lantai. Sekali. Dua kali. Suaranya bergema samar-samar di ruangan yang kosong.

"Aku lelah…" bisiknya, suaranya bergetar.

Air mata mengalir. Tak terbendung. Dia menangis—bukan dengan suara keras, tetapi isak tangis yang menekan dadanya. Tangisan seseorang yang telah terlalu sering berharap dan terlalu sering kecewa.

Dia menangis hingga tubuhnya lemas. Hingga dadanya terasa hampa. Hingga malam tiba tanpa dia sadari.

Di luar sana, dunia terus berputar.

Di dalam rumah itu, Ahmad hancur—namun dari kehancuran itu, sesuatu yang belum dia pahami sedang menunggunya.

Bersambung…

More Chapters