Ficool

Chapter 5 - Bab 5

BAB 5: Bayang-Bayang dan Suara di Belakang

Setelah kejadian memalukan di lapangan saat pelajaran PJOK bersama Bu Vero, hari-hariku di SDN 12 terasa semakin berat. Meskipun Ibu Zahra selalu menyambutku dengan senyum teduh setiap pagi, barisan paling depan tetap terasa seperti panggung eksekusi bagiku. Aku bisa merasakan tatapan menusuk dari Fahmi, Arlon, dan Elion yang duduk jauh di belakang. Mereka seolah selalu menunggu momen di mana aku melakukan kesalahan sekecil apa pun untuk dijadikan bahan tertawaan sekelas.

Namun, di tengah tekanan itu, ada satu hal yang membuatku betah bertahan di kursi depan yang sangat kubenci ini. Sosok yang duduk tepat di belakang sampingku: Nayara Amora. Sejak dia membelaku di lapangan, aku mulai sering mencuri dengar suaranya. Dia tidak hanya cantik, tapi punya keberanian yang tidak dimiliki anak perempuan lain di kelas 5 ini. Sialnya, aku bukan satu-satunya yang menyadari keberadaan Nayara.

"Nay, nanti istirahat bareng yuk?" Suara itu berasal dari seorang anak laki-laki yang sering kulihat mendekati meja Nayara. Namanya Anos.

Lucu rasanya, namanya hampir mirip dengan Pak Arnos yang menghancurkan mentalku, tapi sifatnya sangat berbeda. Anos adalah tipe anak yang lumayan baik dan supel. Dia sering bermain di kelas dan terlihat sangat akrab dengan Nayara. Setiap kali Anos mendekat, jantungku rasanya berdegup aneh. Ada rasa iri yang terselip, tapi aku sadar diri—siapa aku? Hanya murid pindahan pendiam yang duduk gemetaran di depan meja guru.

Suatu hari di jam istirahat, kelas sedang agak sepi. Aku memilih tetap duduk di kursiku, berpura-pura menulis padahal pikiranku kosong. Aku tidak berani ke kantin karena takut berpapasan dengan Fahmi dan gengnya. Tiba-tiba, meja di belakangku bergeser. Anos sedang duduk di sana, berbicara dengan Nayara.

"Nay, lo tahu nggak? Si anak baru ini pendiam banget ya," bisik Anos. Meskipun pelan, karena aku tepat di depannya, aku bisa mendengarnya dengan jelas.

"Sst, pelan-pelan Anos. Orangnya di depan tuh," sahut Nayara. Aku bisa membayangkan dia sedang melirik ke arah punggungku.

"Iya tahu. Tapi beneran, dia kayak robot. Padahal kata Fahmi, dulu pas kecil dia asyik orangnya. Kenapa sekarang jadi kayak ketakutan gitu ya?" lanjut Anos.

Mendengar nama Fahmi disebut, tanganku yang memegang pulpen semakin erat. Jadi Fahmi menceritakan masa kecilku pada teman-temannya? Dia menceritakan betapa cerianya aku dulu? Rasanya perih mengetahui bahwa orang yang dulu bermain kelereng bersamaku kini menjadi orang yang ikut menertawakanku saat aku terjatuh.

"Mungkin dia lagi ada masalah, Nos. Jangan suka nge-judge orang," suara Nayara terdengar lebih tegas kali ini. "Lo kalau mau main ya main aja, jangan ngomongin orang di belakangnya."

"Iya, iya, galak banget sih lo kalau belain dia," canda Anos sambil tertawa kecil. "Eh, Nay, pinjem buku catatan dong. Tadi gue nggak sempet nyatet pas Bu Zahra ngejelasin."

Mereka berdua mulai asyik mengobrol tentang pelajaran. Aku hanya bisa terpaku, menatap papan tulis kosong di depanku. Rasanya menyakitkan duduk sedekat ini dengan orang yang kau suka, tapi terasa sangat jauh karena dinding trauma yang kubangun sendiri. Aku ingin sekali berbalik, menyapa mereka, dan bilang kalau aku juga ingin ikut mengobrol. Tapi lidahku kelu. Bayangan tamparan Pak Arnos seolah mengunci mulutku rapat-rapat.

Tak lama kemudian, Fahmi masuk ke kelas bersama Arlon dan Elion. Suasana yang tadinya tenang mendadak berubah bising.

"Woi, Anos! Ngapain lo deket-deket si boti pindahan ini?" teriak Fahmi sambil menendang kaki kursiku dari belakang.

Goncangannya membuat tulisanku tercoret panjang. Jantungku mencelos. Aku tidak berani menoleh. Aku hanya menunduk, menatap coretan tinta yang merusak catatanku.

"Apaan sih lo, Fah. Suka-suka gue lah mau duduk di mana," sahut Anos. Dia memang baik, dia tidak ikut-ikutan menjatuhkanku meski dia berteman dengan semua orang.

"Halah, mending lo gabung ama kita di belakang. Di depan sini bau anak cengeng," timpal Arlon yang disusul tawa puas dari Elion.

"Udah, Fah, jangan gangguin Arya terus," tiba-tiba Nayara bersuara. Suaranya tidak keras, tapi sanggup menghentikan tawa Elion seketika. "Kalian nggak ada kerjaan lain selain gangguin orang?"

Fahmi mendengus, tapi dia tidak berani melawan Nayara. Mungkin dia juga punya rasa segan atau suka pada gadis itu. "Cih, dibelain mulu. Awas lo ya, boti. Nanti pas olahraga gue kerjain lagi lo," ancam Fahmi padaku sebelum akhirnya mereka menjauh menuju pojok belakang kelas.

Setelah mereka pergi, keheningan kembali menyelimuti area meja depan. Aku masih menatap catatanku yang rusak. Tiba-tiba, aku merasakan sebuah tepukan ringan di bahuku. Bukan tepukan kasar, tapi sangat lembut.

"Jangan didengerin, Arya. Fahmi emang gitu kalau di depan temen-temennya," suara itu... suara Nayara.

Aku memberanikan diri untuk menoleh sedikit. Untuk pertama kalinya, aku melihat wajahnya dari jarak sedekat ini. Matanya jernih dan ada senyum tipis yang menenangkan di bibirnya. Anos juga ada di sampingnya, mengangguk kecil seolah setuju.

"Eh... iya... makasih, Nay," ucapku sangat pelan, hampir tak terdengar.

Itu adalah kata-kata pertamaku yang tulus sejak menginjakkan kaki di SDN 12. Meskipun hanya tiga kata, rasanya seperti beban berat sedikit terangkat dari pundakku. Nayara tersenyum lebih lebar, sementara Anos mulai mengajakku bicara tentang hal-hal ringan.

"Lo suka main bola nggak, Ry? Nanti kapan-kapan main bareng kita lah," tawar Anos.

Aku hanya tersenyum tipis, tidak berani berjanji. Di dalam hati, aku merasa sangat bersyukur. Ternyata di sekolah baru ini, meski ada Fahmi yang berubah menjadi pembully, masih ada Anos yang lumayan baik dan Nayara yang selalu menjadi pelindungku dari belakang samping.

Malamnya, saat aku berbaring di kamar, aku teringat lagi pesan Ibu Kanaya dan Ibu Arum dari kelas 1. Mereka selalu bilang kalau kebaikan akan selalu ada di mana saja. Mungkin SDN 12 bukan tempat yang buruk, pikirku. Meskipun aku harus duduk di depan dan menghadapi ejekan Fahmi, keberadaan Nayara di belakangku membuat segalanya terasa sedikit lebih mudah untuk dijalani.

Aku menatap foto lamaku saat masih di SDN 11. Foto saat aku masih tertawa lebar bersama teman-teman lama. Aku rindu sosok itu. Dan entah kenapa, malam itu aku punya harapan kecil: mungkin, suatu hari nanti, di depan Nayara dan Anos, aku bisa tertawa lagi seperti dulu.

Tapi aku tahu, perjalanan menuju sana masih panjang. Esok hari, aku harus kembali ke sekolah, kembali ke kursi depan, dan kembali menghadapi bayang-bayang masa lalu yang belum benar-benar pergi. Terutama saat aku teringat guru-guru hebatku dulu, dari Pak Hiro yang disiplin di kelas 2, Pak Kazumi yang asyik di kelas 3, hingga sekarang Ibu Zahra yang sabar. Aku tidak boleh mengecewakan mereka. Aku harus bertahan, demi diriku sendiri, dan demi seseorang yang duduk di belakang sampingku.

More Chapters