Ficool

Bab 2:Panggilan Tanpa Alasan:Mengapa kami?

Tanpa alasan yang jelas, Varellia dan Renive dipanggil ke ruang pimpinan.

Keputusan yang seharusnya sederhana terasa dipercepat, seolah waktu tidak memberi pilihan lain.

Malam di asrama berjalan sunyi, dipenuhi obrolan ringan dan penjelasan yang terdengar masuk akal.

Namun jika semuanya memang wajar, mengapa satu pertanyaan kecil justru tertinggal?

Dan jika tak ada yang salah… mengapa rasa gelisah itu sulit diabaikan?

~~

Jantung ku berdegup lebih kencang memikirkan apa yang sebenarnya aku lakukan hingga di panggil ke ruang pimpinan.

Aku mencoba menenangkan diri, meski pikiranku terus berputar. Rasanya tidak masuk akal—aku bahkan belum melakukan hal yang melanggar aturan.

"Kak Kean, Kak Karel, aku dan Renive izin permisi bentar ya," ucapku pelan.

"Apakah kalian tahu di mana ruang pimpinan?" tanya Keandra.

"Hehe… aku belum tahu, Kak," jawabku canggung.

"Yaudah, Kak antar saja," katanya singkat.

Kami berempat menyusuri lorong kampus yang terasa lebih sunyi dari biasanya. Lampu-lampu di atas kepala menyala redup, membuat bayangan kami memanjang di lantai. Semakin jauh melangkah, dadaku terasa semakin sesak.

Saat kami tiba di depan sebuah pintu besar—

DEGG.

Jantungku hampir copot.

"Tok… tok."

"Masuk."

Suaranya terdengar pelan, namun cukup membuat tubuhku menegang.

Di dalam ruangan itu berdiri seorang pria dengan postur tegap dan wajah serius.

"Saya Julian Frost, kepala pimpinan universitas," ucapnya tegas.

"Saya ingin memberi tahu bahwa kalian secepatnya memilih komunitas yang sesuai dengan kriteria kalian. Jangan menunda pekerjaan saya."

Aku dan Renive saling melirik.

"B-baik, Pak," jawab kami hampir bersamaan.

Tak ada percakapan lain. Kami hanya mengangguk, lalu dipersilakan keluar.

Begitu pintu tertutup, aku menghembuskan napas panjang.

Gila… pimpinan nggak bisa sabar apa, sih?

"Sabar-sabar aja," ujar Keandra. "Emang dari dulu beliau begitu."

Akhirnya, aku dan Renive memutuskan untuk menjadi anggota HIMA di kampus tersebut. Bukan karena pertimbangan panjang, hanya agar semuanya cepat selesai.

"Kenapa nggak join BEM?" ujar Karel sambil tersenyum santai.

"Padahal ketuanya secakep ini."

"Hahaha, Kak Karel bisa aja," sahut Renive sambil tertawa kecil.

Hari mulai petang saat kami kembali ke asrama. Langit sudah menggelap, dan tubuhku terasa lelah luar biasa.

"Ya Tuhan… capek banget sama kehidupan kampus," keluhku sambil merebahkan diri di kasur.

Di kamar, ada seorang gadis yang belum pernah kami temui sebelumnya. Rambutnya panjang, wajahnya lembut, dan sikapnya tenang.

"H-hai," sapa kami.

Ia tersenyum kecil. "Aku Jihyona."

Malam berjalan pelan. Setelah mandi dan berganti pakaian, kami bersiap tidur. Lampu dimatikan, hanya cahaya dari lorong yang masuk samar ke dalam kamar.

Aku membalikkan badan, menatap langit-langit.

"Rel…" panggilku pelan.

"Biasanya yang ngurus soal komunitas itu pembina organisasi atau biro kemahasiswaan, kan?"

Renive menoleh ke arahku. "Iya."

"Nah, makanya," lanjutku.

"Kenapa tadi malah pimpinan yang ngomong langsung?"

Renive terdiam sebentar, lalu mengangkat bahu.

"Mungkin lagi ada kebijakan baru."

Dari ranjang dekat jendela, Jihyona menutup bukunya perlahan.

"Beliau memang lagi ngatur ulang sistem organisasi kampus," ucapnya lembut.

"Katanya biar semuanya lebih tertata dan mahasiswa baru nggak bingung."

"Oh…" sahutku singkat.

Beberapa saat hening. Aku hampir terlelap ketika suara Jihyona kembali terdengar, lebih pelan dari sebelumnya.

"Emang… kalian dipanggil langsung sama pimpinan?"

Aku membuka mata sedikit. "Iya."

"Oh," sahutnya singkat. Tidak terdengar kaget, hanya seperti memastikan sesuatu.

"Kenapa?" tanya Renive.

"Nggak apa-apa," jawab Jihyona sambil tersenyum kecil.

"Cuma jarang aja mahasiswa baru dipanggil langsung. Biasanya lewat dosen pembina."

"Oh… mungkin lagi ada aturan baru," gumamku.

"Iya," jawab Jihyona pelan. "Mungkin."

Tak ada lagi yang melanjutkan percakapan itu.

Kamar kembali sunyi. Suara kipas angin terdengar pelan dan teratur. Aku memejamkan mata, membiarkan rasa lelah menarikku perlahan ke dalam tidur.

Aku tidak merasa takut.

Juga tidak merasa curiga.

Namun entah kenapa, satu kalimat itu tertinggal di kepalaku.

Jarang aja mahasiswa baru dipanggil langsung.

Dan tanpa kusadari,

malam itu menjadi awal dari banyak pertanyaan

yang belum tahu harus kutanyakan kepada siapa.

More Chapters