Ficool

Chapter 5 - Bab 4 — Nama-Nama yang Menjadi Nyata

Ruang kelas Tracen Academy selalu ramai sebelum pelajaran dimulai.

Suara kursi yang ditarik, tas yang dibuka tergesa, tawa yang pecah tanpa alasan jelas. Bagi sebagian siswa, suasana itu sudah terasa akrab—seperti rumah kedua. Bagi Aira, semuanya masih terasa baru, namun tidak asing.

Ia duduk di dekat jendela.

Cahaya pagi masuk miring, memantul di meja kayu yang masih bersih dari goresan waktu. Dari sana, ia bisa melihat lintasan latihan di kejauhan. Bahkan dari kelas, garis lengkung trek itu tampak jelas—seolah mengingatkan bahwa apa pun yang dipelajari di ruangan ini pada akhirnya akan bermuara ke sana.

"Aku dengar jadwal latihannya bakal makin ketat minggu depan."

"Aduh, belum juga adaptasi, ya…"

Percakapan seperti itu berseliweran di sekelilingnya.

Aira mendengarkan, tanpa benar-benar ikut masuk. Bukan karena tak tertarik, tapi karena ia terbiasa menyerap suasana terlebih dahulu. Ia mengenali nada bicara, ritme tawa, cara seseorang berbicara saat gugup atau bersemangat.

Nama-nama mulai terulang.

Nama yang dulu hanya ia dengar dari jauh—dari berita, siaran balap, atau cerita orang lain—kini terdengar begitu dekat. Mereka duduk di bangku yang sama. Mengeluh soal tugas. Tertawa karena hal sepele.

Mereka bukan legenda di momen ini.

Mereka hanyalah siswa baru.

Dan justru itu yang terasa… aneh sekaligus nyata.

Pelajaran dimulai dengan teori dasar strategi balap. Tidak rumit, tapi cukup untuk menguji fokus. Aira mencatat dengan rapi, bukan karena ia takut tertinggal, melainkan karena ia menyukai keteraturan. Setiap istilah, setiap diagram lintasan, ia simpan sebagai potongan kecil yang kelak akan membentuk gambaran besar.

"Kalau posisi awal menentukan segalanya, kenapa masih ada overtaking?" tanya salah satu siswa.

Guru tersenyum. "Karena balapan bukan soal siapa yang paling cepat di awal, tapi siapa yang tahu kapan harus bergerak."

Aira menoleh ke papan tulis.

Kalimat itu terasa sederhana. Tapi ia tahu—di baliknya ada banyak lapisan.

Saat jam istirahat, suasana kelas berubah total.

Beberapa siswa bergerombol, membahas tim yang ingin mereka masuki. Ada yang menyebut Spica dengan mata berbinar. Ada pula yang bercanda tentang Canopus dengan nada setengah serius.

Aira tetap di tempat duduknya, membuka botol minum.

Seorang siswi lewat dan berhenti sejenak. "Kamu Aira, ya?"

Aira mendongak. "Iya."

"Aku sering lihat kamu di lintasan pagi. Kamu datang lebih awal dari jadwal, kan?"

Aira mengangguk kecil. "Sedikit."

"Hebat juga." Senyum itu tulus, tanpa rasa ingin membandingkan. "Semangat, ya."

Percakapan itu singkat. Tapi cukup.

Ia mulai menyadari sesuatu.

Tanpa ia sadari, keberadaannya sudah tercatat di benak orang lain.

Sore hari, latihan ringan dilakukan bersama kelas. Tidak ada kompetisi. Tidak ada target waktu. Hanya pemanasan dan penyesuaian tubuh.

Aira berlari di tengah kelompok. Tidak menonjol. Tidak tertinggal.

Namun langkahnya konsisten.

Pelatih yang mengawasi mencatat sesuatu di papan kecilnya, lalu kembali mengangkat kepala—matanya mengikuti satu sosok sedikit lebih lama dari yang lain.

Saat latihan berakhir, napas para siswa masih terengah. Ada yang langsung duduk. Ada yang tertawa sambil mengeluh.

Aira berdiri, menenangkan napasnya perlahan.

Ia menatap lintasan yang kini kosong.

Nama-nama di sekitarnya sudah tidak lagi terasa jauh.

Tidak lagi sekadar cerita atau reputasi.

Mereka ada di sini. Bersama.

Dan Aira tahu—ini baru permulaan.

More Chapters