Malam itu, suasana majlis online terasa berbeda. Di balik layar, ketegangan membayang, terutama di antara Al, Putri, dan Aulia. Setelah pesan dan video misterius, semuanya tahu bahwa waktu untuk menghadapi kenyataan sudah dekat.
Al membuka ruang pertemuan daring dengan perasaan berat. "Kita harus bicara jujur. Ada yang menyusup di antara kita," katanya tegas.
Putri dan Aulia saling bertukar pandang, kecemasan mengisi udara. "Siapa yang kau curigai, Al?" tanya Putri dengan suara bergetar.
Al menghela napas panjang. "Dari jejak digital dan beberapa insiden terakhir, ada satu orang yang aku rasa sudah lama berkhianat. Orang yang selama ini selalu hadir di belakang layar, ikut dalam tiap rencana, tapi diam-diam menyebarkan racun."
Tiba-tiba, layar berganti ke jendela chat, dan sebuah nama muncul dengan tulisan berwarna merah: *"Fajar"*.
Putri terkejut. "Fajar? Dia yang selama ini kita anggap teman dekat dan pendukung setia majlis?"
Aulia mengangguk pelan, suara penuh luka, "Aku pernah curiga, tapi tak pernah yakin..."
Al melanjutkan, "Fajar ternyata adalah mata-mata Arfan. Dia yang selama ini membocorkan jadwal kita, mengirim ancaman, bahkan menyebarkan foto Aulia."
Hening sejenak. Suara tangis tertahan terdengar dari ujung lain ruang pertemuan.
"Kenapa, Fajar? Kenapa kau lakukan ini pada kami?" tanya Putri, suaranya parau.
Tiba-tiba, chat berubah. Fajar mengirim pesan suara:
_"Maaf, aku tak punya pilihan. Arfan mengancam keluargaku. Aku hanya ingin bertahan."_
Al menatap layar, hatinya berkecamuk. Antara kecewa dan kasihan, tapi satu hal jelas—pengkhianatan itu nyata dan harus dihentikan.
Putri mengambil alih, "Kita harus bersatu dan hadapi ini bersama. Hijrah ini bukan hanya soal diri kita, tapi tentang menjaga cahaya dari kegelapan yang ingin memadamkannya."
Aulia mengangguk, menatap Al dengan mata penuh harap, "Kita harus kuat. Untuk majlis, untuk hijrah kita."
Di balik layar, Arfan tersenyum sinis. Dia tahu perang sesungguhnya baru saja dimulai.
Ketika pintu ruang pertemuan online terbuka, suasana berubah drastis. Semua mata tertuju pada satu nama yang baru saja bergabung: Fajar.
Putri menelan ludah, rasa was-was menguar di udara. Aulia menggenggam erat teleponnya, napasnya sedikit memburu. Al duduk tegak, matanya tajam menatap layar.
"Fajar… kamu benar-benar hadir?" suara Al terdengar dingin tapi tegas.
Fajar mengangguk pelan di layar, wajahnya tak menampakkan kebohongan, tapi ada beban berat yang terpancar dari matanya. "Ya, aku di sini. Aku tak punya pilihan selain datang dan bicara jujur."
Putri menatapnya tajam, "Jujur? Kalau kamu benar-benar jujur, mulai dari sekarang kamu harus jawab semua pertanyaan kami."
Fajar menarik napas dalam, "Aku tahu kehadiranku membuat kalian kecewa dan marah. Aku bukan musuh yang kalian kira, tapi aku terjebak dalam situasi yang sulit."
Aulia menatap Fajar dengan tatapan penuh luka, "Kamu tahu bagaimana tindakanmu sudah menghancurkan kepercayaan kami. Fotoku yang tersebar, nama kita yang digunakan untuk hal-hal buruk… Apakah kamu punya alasan selain itu?"
Fajar mengangguk, air matanya mulai menetes, "Aku terancam, Aulia. Arfan mengancam keluargaku. Aku dipaksa melakukan ini agar mereka selamat."
Suasana berubah menjadi sangat serius. Tak ada lagi tawa, hanya suara berat napas dan ketegangan.
Al memandang Fajar, "Kalau begitu, sekarang saatnya kita putuskan langkah bersama. Kita harus bersatu, bukan terpecah oleh ancaman seperti ini."
Putri mengangguk, "Kita harus pastikan majlis ini tetap bersih dari racun. Tapi kita juga harus lindungi satu sama lain."
Fajar menunduk, "Aku minta maaf. Aku akan bantu kalian melawan Arfan. Aku ingin keluar dari kegelapan ini."
Malam itu, bukan hanya majlis online yang diuji, tapi juga ikatan persahabatan dan hijrah mereka.
****
Malam semakin larut, tapi ruang virtual majlis online itu seperti terkunci dalam ketegangan yang mencekam. Suara notifikasi berdenting tak henti, tapi bukan dari undangan kajian—melainkan dari pesan-pesan penuh ancaman dan kebohongan yang terus berdatangan.
Putri menatap layar dengan mata yang hampir sembab. "Ini makin gila… siapa yang lakukan semua ini? Kita harus tahu siapa dalangnya."
Aulia menggigil, matanya merah karena menangis semalam suntuk. "Aku takut… aku takut majlis ini hancur dan semua perjuangan kita sia-sia."
Al yang biasanya tenang, kini terlihat gelisah. "Kita tidak bisa diam saja. Jika mereka berhasil, semua yang kita bangun akan runtuh."
Tiba-tiba, layar mereka diselimuti oleh video yang muncul tanpa izin. Dalam video itu, seseorang yang wajahnya disamarkan tertawa sinis sambil mengatakan, "Kalian pikir kalian bisa aman? Aku di mana-mana, dan ini baru permulaan."
Suara dingin itu menggema di telinga mereka, membuat jantung mereka berdegup lebih kencang. Putri hampir tak percaya apa yang dilihatnya. "Ini bukan sekadar teror biasa. Ini peringatan."
Tidak lama setelah itu, lampu di rumah Al tiba-tiba padam, disusul dengan gangguan koneksi internet. "Apa ini?" Al berbisik ketakutan.
Di sisi lain, Aulia menerima panggilan tak dikenal yang hanya berisi suara berat dan tawa seram. Dia segera mematikan telepon, tangan gemetar.
"Ini sudah melampaui batas," ujar Putri tegas, "Kita harus lawan, tapi dengan cara yang lebih cerdas."
Mereka bertiga duduk terpaku, merasakan tekanan yang begitu berat menekan dada mereka. Di luar sana, bayang-bayang kegelapan mulai merayap lebih dekat dari sebelumnya.
Dan satu hal yang pasti: malam itu bukan akhir dari pertarungan, melainkan awal dari sesuatu yang jauh lebih berbahaya.
Udara di ruangan terasa berat, seperti menunggu badai datang. Ketika mereka bertiga menatap layar masing-masing, bayangan gelap mulai menggerogoti ketenangan hati.
Putri menghela napas panjang, jari-jarinya gemetar saat menekan tombol chat. "Aku rasa ini bukan hanya soal majlis kita… ini sudah masuk ke hidup pribadi kita."
Aulia menatap layar dengan mata berkaca-kaca. "Pesan-pesan aneh, telepon mengancam, dan sekarang video yang muncul tiba-tiba… aku merasa diintai."
Al menghela napas, mencoba meredam kegelisahannya. "Kita harus tetap tenang. Panik hanya akan membuat keadaan semakin buruk. Tapi siapa yang menginginkan kita hancur?"
Tiba-tiba layar komputer Putri membeku, lalu muncul pesan merah menyala:
*"Jangan kira kamu bisa lari, aku ada di mana-mana."*
Putri tersentak, tubuhnya membeku sejenak. "Apa ini?! Siapa yang mengirim ini?"
Al langsung membuka kamera di ponselnya dan mencoba menghubungi nomor yang tidak dikenal. Tapi panggilan hanya berdering tanpa jawaban. "Mereka mengawasi kita. Mungkin juga di sekitar kita."
Aulia menggenggam erat tangannya, berusaha kuat. "Ini sudah bukan main-main. Aku merasa… seperti ada yang memperhatikan setiap gerak-gerik kita."
Suasana sunyi seketika, hanya terdengar dengungan laptop dan detak jantung yang semakin cepat. Ketegangan terasa menekan di ruang virtual itu, menutupi segala harapan dan doa yang biasa mereka panjatkan bersama.
Di luar layar, di balik kegelapan malam, sebuah sosok berdiri diam. Mata tajamnya menyala, menatap ke arah layar mereka. Senyum tipis terukir di bibirnya.
"Mereka belum tahu apa yang akan menimpa mereka," bisik suara itu pelan, penuh ancaman.
Rasa takut mulai merayapi setiap sudut hati mereka. Namun, ketiga sahabat itu tahu mereka tak bisa mundur. Waktu untuk lari sudah habis.
Di sebuah ruangan kecil yang remang, Al menatap layar dengan mata penuh tekad. "Sudah saatnya kita tahu siapa dalang di balik semua ini."
Putri mengangguk pelan, walau suara gemetar, "Aku sudah capek lari dan sembunyi. Kalau memang mau hadapi, kita hadapi bersama."
Aulia menatap kedua sahabatnya, "Majlis kita bukan sekadar tempat belajar, tapi rumah. Kita harus jaga rumah itu dengan seluruh hati."
Di saat itu, pesan terbaru muncul di layar mereka, berbeda dari sebelumnya:
*"Kalian pikir kalian kuat? Aku akan hancurkan semuanya. Bersiaplah."*
Al segera membalas, "Cukup sudah mainan ini. Jika kamu punya keberanian, tunjukkan dirimu."
Tiba-tiba, layar mereka terpecah menjadi beberapa frame, menampilkan sosok pria bertopeng yang dingin. Suaranya berat dan mengancam, "Kalian tidak tahu apa yang kalian hadapi. Aku bukan cuma musuh biasa."
Putri merasa darahnya membeku. "Kenapa kamu melakukan semua ini? Apa salah kami?"
Pria bertopeng itu tersenyum sinis, "Kalian telah membuka sesuatu yang seharusnya tersembunyi. Dan aku tidak akan membiarkan itu tetap hidup."
Aulia menggenggam tangan Putri, "Kami bukan musuhmu. Kami hanya ingin mencari cahaya di tengah gelap."
Al berdiri, menatap layar dengan tegas, "Jika kau benar musuh, hadapi kami. Tapi ingat, kami tidak akan mundur."
Suasana ruang itu berubah jadi medan pertempuran tak terlihat. Bukan hanya melawan orang, tapi melawan ketakutan, fitnah, dan keraguan yang mencoba memecah persahabatan mereka.
Malam itu, mereka tahu — ujian terbesar belumlah usai.
Ketegangan di ruangan itu semakin memuncak. Sosok pria bertopeng di layar seolah menikmati setiap detik kegelisahan mereka. Al, Putri, dan Aulia tahu mereka menghadapi musuh yang bukan main-main.
"Tunjukkan siapa kamu sebenarnya!" desak Al dengan suara tegas, mencoba menahan amarah.
Pria bertopeng itu tertawa dingin, "Kalau begitu, aku akan beri kalian kejutan."
Tiba-tiba, panggilan masuk ke telepon Aulia berdering. Ia mengangkat, suara di ujung sana berat dan penuh ancaman, "Berhenti bicara dan dengarkan baik-baik. Kalau kalian tidak ingin kehilangan lebih banyak, hentikan majlis itu."
Putri meraih tangan Aulia, "Siapa itu? Apa maksudnya?"
Namun sebelum Aulia sempat menjawab, suara gaduh terdengar dari luar rumah. Dalam hitungan detik, pintu diketuk keras, dan beberapa pria bertopeng muncul, mengelilingi mereka.
"Kami tidak akan membiarkan ini terjadi!" teriak Al mencoba melindungi Aulia.
Dalam keributan itu, tangan-tangan kasar menarik Aulia, memaksanya keluar dari ruangan. Putri dan Al berusaha melawan, tapi jumlah mereka kalah.
"Aulia!" teriak Putri, suaranya penuh panik.
Pintu tertutup dengan keras, dan kini hanya tersisa kesunyian yang mencekam.
Al dan Putri saling bertatapan, mata mereka berkaca-kaca tapi penuh tekad. "Kita harus temukan dia. Tidak peduli apapun yang terjadi," ujar Al dengan suara berat.
Putri mengangguk, "Ini bukan hanya tentang majlis, ini tentang sahabat kita."
Malam itu, bukan hanya persahabatan dan hijrah yang diuji, tapi nyawa dan kepercayaan mereka.
