Di pinggiran kota Surabaya yang panas dan lembab, hidup seorang pria paruh baya yang dipanggil Om Joko. Usianya sudah menginjak 55 tahun, dengan rambut yang mulai menipis dan beruban, serta badan yang agak bungkuk karena bertahun-tahun bekerja sebagai sopir angkot. Setiap pagi, ia bangun di rumah kayu kecilnya yang reyot, dindingnya berderit saat angin kencang menerpa, dan lantai tanah liat yang dingin menyentuh telapak kakinya yang kasar. Udara pagi terasa lengket di kulitnya, bercampur bau amis dari sungai kecil di belakang rumah yang sering banjir. Suara klakson angkot lain dan teriakan pedagang asongan di jalan raya membuat telinganya berdengung, mengingatkannya pada rutinitas harian yang melelahkan: mengemudikan angkot tua dengan bau solar yang menyengat, sambil menghitung recehan dari penumpang yang semakin sedikit karena ojek online.
Om Joko hidup dalam kemiskinan yang menyesakkan dada. Istri tercintanya, Bu Siti, meninggal lima tahun lalu karena sakit ginjal yang tak terobati, meninggalkan aroma masakan gudeg yang masih melekat di ingatannya setiap kali ia membuka lemari dapur yang usang. Anak semata wayangnya, Rina, sudah menikah dan tinggal di Jakarta, tapi sering menelepon dengan suara cemas: "Om, kirim dong biaya sekolah cucu. Kami lagi susah." Om Joko hanya bisa menghela napas panjang, merasakan getaran ponsel murah di tangannya yang gemetar, sambil menatap dompet kulit lusuh yang hanya berisi lembaran uang robek dan koin-koin berkarat. "Bagaimana caranya?" gumamnya, sambil merasakan rasa pahit di lidah dari teh tawar yang ia minum untuk menghemat.
Konflik batin Om Joko semakin dalam saat ia mendengar cerita dari teman sesama sopir tentang togel online. "Coba main di PETIR19, Om. Depo via QRIS cepat, tanpa ribet," kata Pak Hadi suatu sore, saat mereka istirahat di warung kopi pinggir jalan. Aroma kopi tubruk pekat menyusup ke hidung Om Joko, bercampur asap rokok kretek yang mengepul dari mulut temannya. Ia ragu, ingat nasihat almarhum ayahnya: "Judi itu racun, Joko. Bikin orang kehilangan segalanya." Tapi kemiskinan membuatnya putus asa. Malam itu, di kamar kecilnya yang diterangi lampu bohlam redup, Om Joko membuka ponselnya. Cahaya layar biru menyilaukan matanya yang lelah, dan ia mencari situs PETIR19. Situs itu muncul dengan desain cerah, penuh angka-angka berkilau dan janji kemenangan besar.
Dengan tangan gemetar, Om Joko scan QRIS untuk deposit pertama: hanya 20 ribu rupiah dari sisa upah hari itu. Prosesnya mulus tanpa hambatan, seperti air mengalir di selokan yang lancar. Suara notifikasi "Deposit berhasil!" berdering pelan dari speaker ponsel, membuat jantungnya berdegup kencang seperti drum yang dipukul. Udara malam terasa lebih dingin, angin menyusup melalui celah jendela bambu, membawa bau tanah basah setelah hujan sore. Ia pilih nomor togel 4D berdasarkan mimpi semalam: melihat petir menyambar pohon tua di kampung halamannya. Angka-angka itu ia ketik dengan jari yang kasar, merasakan layar ponsel yang halus dan dingin di ujung jarinya.
Malam pertama, ia kalah. Hasil pengundian muncul di layar, dan nomornya tak cocok. Rasa kecewa menyergap seperti pisau tajam di dada, membuatnya duduk termenung di kursi kayu yang berderit. Air mata menetes pelan, terasa asin di bibirnya yang kering. "Kenapa aku coba-coba begini?" bisiknya, sambil mencium aroma kain sarung almarhum istri yang masih ia simpan di lemari, mengingatkannya pada kehilangan yang tak tergantikan. Konflik emosional bergolak: rasa bersalah karena melawan nilai-nilai yang diajarkan orang tua, dicampur harapan tipis untuk mengubah nasib. Ia ingat masa muda dulu, saat ia dan Bu Siti berjuang membangun rumah kecil ini, dengan suara tawa Rina kecil yang bergema di ruangan.
Keesokan harinya, di angkot yang panas dan bergetar karena jalan berlubang, Om Joko tak bisa fokus. Bau keringat penumpang dan asap knalpot menyengat hidungnya, membuat kepalanya pusing. "Om, hati-hati dong!" tegur seorang penumpang saat ia hampir menabrak sepeda. Malam itu, ia kembali ke PETIR19. Scan QRIS lagi, kali ini 50 ribu dari pinjaman tetangga. Proses deposit instan, tanpa tunggu, membuatnya semakin yakin. Ia main lagi, memilih nomor berdasarkan tanggal lahir Bu Siti. Saat pengundian, layar ponsel bergetar, dan suara musik kemenangan meledak. "Menang! 500 ribu!" serunya pelan, merasakan adrenalin mengalir seperti arus listrik di tubuhnya. Uang itu ia tarik via QRIS juga, cair dalam hitungan menit, tanpa potongan.
Tapi kemenangan kecil itu justru memperdalam konflik. Om Joko mulai ketagihan. Setiap malam, di bawah selimut tipis yang kasar menggesek kulitnya, ia bermain. Aroma malam Surabaya—campuran bau gorengan dari warung tetangga dan hembusan angin laut—menjadi latar belakang permainannya. Ia menang lagi, kali ini 2 juta. Uang itu ia gunakan untuk kirim ke Rina, beli obat untuk sakit pinggangnya, dan perbaiki angkot. Rasanya seperti mimpi: pegangan stir angkot yang baru terasa halus di tangannya, berbeda dengan yang lama yang kasar dan lengket. Tapi guilt datang menyusul. Saat menelepon Rina, suaranya bergetar: "Om dapat uang dari mana? Jangan judi ya, Om." Om Joko bohong, merasakan rasa pahit di mulut seperti obat yang ia minum.
Puncak konflik terjadi saat Om Joko mempertaruhkan lebih besar. Suatu malam hujan deras, air menetes dari atap bocor dengan suara tik-tik yang ritmis, membasahi lantai tanah yang menjadi becek. Bau petrichor—aroma tanah basah—menyusup ke ruangan, bercampur keringat dingin di tubuhnya. Ia deposit 500 ribu via QRIS, prosesnya tetap lancar seperti biasa. Nomor yang ia pilih: kombinasi petir dari mimpi dan tanggal pernikahan. Saat hasil keluar, layar menyala terang: jackpot besar! 100 juta rupiah! Suara kemenangan bergema, membuat telinganya berdengung. Ia terlonjak, merasakan jantungnya berdegup seperti petir yang menyambar.
Kemenangan itu mengubah hidupnya. Om Joko tarik dana via QRIS, cair instan ke rekeningnya. Ia beli rumah baru di pinggiran kota, dengan dinding bata kokoh dan lantai keramik dingin yang nyaman di kaki. Aroma cat segar dan bunga melati di taman kecil membuat hatinya tenang. Ia undang Rina dan cucu pulang, masak gudeg seperti dulu, dengan rasa manis pedas yang mengingatkannya pada Bu Siti. Tapi konflik emosional tak hilang begitu saja. Di malam-malam sunyi, ia duduk di teras, merasakan angin malam menyentuh wajahnya, dan menangis. "Maafkan aku, Siti. Aku menang, tapi apa ini benar?" gumamnya, sambil memegang foto lama yang permukaannya halus tapi penuh kenangan.
Akhirnya, Om Joko berhenti bermain. Ia investasikan uang ke usaha kecil: warung makan dengan aroma sambal terasi yang menggugah selera. Suara pelanggan tertawa dan denting sendok di piring menjadi musik baru dalam hidupnya. Ia keluar dari kemiskinan, tapi belajar bahwa keberuntungan sejati datang dari keteguhan hati, bukan angka-angka acak. Petir19 menjadi kenangan, seperti petir yang datang dan pergi, meninggalkan langit cerah di belakang.
