Ficool

Chapter 2 - Sungai Yang Tak Pernah Tidur

Udara desa berubah sejak malam tenggelamnya Silvana. Orang-orang tidak mengatakannya, tetapi setiap pasang mata yang saling bertemu menyimpan rasa takut yang sama: sesuatu mengikuti mereka. Bukan manusia. Bukan hewan. Bukan apa pun yang bisa disebut dengan kata-kata tanpa membuat tengkuk merinding.

Ayam-ayam berhenti berkokok menjelang fajar. Anjing menggonggong ke arah sungai dan tiba-tiba diam seolah lehernya dicekik oleh udara. Bahkan anak-anak yang biasanya berlarian di halaman kini memilih tinggal di dalam rumah, memeluk lutut, memandangi pintu seolah sedang menunggu sesuatu masuk.

Dan entah kenapa, semua orang bermimpi tenggelam.

Dini hari, kabut turun lebih tebal dari biasanya. Serdadu jaga malam, Willem, berjalan bolak-balik di tepi perkebunan gula sambil merokok. Ia adalah salah satu dari dua serdadu yang menenggelamkan Silvana — dan satu-satunya yang tersisa di pos malam ini.

Langkahnya terhenti ketika ia mendengar percikan air dari arah sungai.

"Siapa?!" serunya.

Tidak ada jawaban.

Kecemasan membuatnya memasang bayonet. Ia melangkah perlahan, menyingkap semak liar. Sungai itu gelap, tenang… terlalu tenang. Normalnya air mengalir kencang, tapi kali ini permukaannya seolah kaca hitam yang membalas tatapannya.

Kemudian sesuatu berubah.

Air mulai bergolak — pelan, nyaris seperti napas. Ia memicingkan mata.

Dan di sanalah ia melihatnya: sehelai rambut panjang hitam mengapung di permukaan. Tidak ada tubuh, hanya rambut, namun seolah hidup… bergerak perlahan, menyebar, membesar, mengambang ke arahnya seperti ingin meraih.

Willem mundur beberapa langkah. "Tidak… tidak… ini hanya imajinasi…"

Tapi sesuatu di balik kegelapan menyeringai tanpa suara.

Mulai terdengar bunyi itu — lirih, patah, berasal dari bawah air:

"Willem…"

Rokok jatuh dari jarinya. Napasnya tersengal. Suara itu bukan teriakan, bukan panggilan hidup. Itu adalah suara seseorang yang sedang berbicara… sambil menenggelam.

Ia berbalik hendak kabur — tapi tidak sempat.

Sesuatu menarik kakinya.

Willem jatuh keras ke tanah, diseret menuju sungai oleh kekuatan tak terlihat. Kuku jari menyeret tanah meninggalkan bekas panjang. Jeritannya menggema ke langit, tetapi entah kenapa tidak ada satu pun lampu rumah penduduk yang menyala.

"Ampun! Aku hanya menjalankan perintah! Aku tidak ingin membunuhmu! Itu perintah Letnan! Silvana!"

Air menelan seluruh tubuhnya, tapi wajahnya masih terlihat di permukaan — matanya melotot ke arah seseorang di tepi sungai.

Tubuh basah itu berdiri tanpa suara, memandangnya.

Silvana.

Tidak ada amarah di wajahnya. Yang justru jauh lebih mematikan: ketenangan.

Ia menundukkan kepala pada Willem… seolah sedang membalas salam.

Dan dalam satu gerakan lembut, kedua tangannya mencekik udara kosong — namun tengkuk Willem retak di bawah air seperti sedang diremukkan dari jarak jauh.

Kematian terjadi dalam kesunyian yang mengerikan.

Air sungai berangsur kembali tenang… dan rambut basah itu menghilang ke dalam kegelapan.

Pagi menjelang.

Ayah Silvana, Pak Wiryo, berjongkok di depan gubuk sambil menahan tangis. Ia tidak tidur semalam — bukan karena mimpi buruk, tapi karena silence. Keheningan yang memekakkan telinga. Insting seorang ayah memberitahunya sesuatu telah terjadi. Ia mendengar suara seseorang berjalan di sekitar rumah, tetapi kaki itu tidak menimbulkan bunyi.

Seolah melayang.

Ia mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya kesedihan… sampai ia melihat jejak kaki basah di tanah — keluar dari arah sungai, berhenti tepat di depan pintu rumahnya… lalu menghilang.

Pak Wiryo mulai gemetar. "Anakku… apakah itu kau…?"

Suara kecil menjawab dari belakang telinganya — bukan suara anak kecil, bukan suara perempuan, melainkan sesuatu yang rusak:

"Ayah…"

Ia berteriak sekeras-kerasnya.

Siang harinya, mayat Willem ditemukan. Tubuhnya kaku, namun yang paling membuat warga desa dan serdadu ketakutan adalah ekspresi wajahnya — matanya terbuka lebar seolah diberi tahu sesuatu yang tidak boleh ia dengar.

Lehernya patah… tetapi tidak ada luka cekikan.

Dokter militer kolonial bingung. "Ini seperti tulangnya hancur dari dalam. Bukan dicekik. Bukan dipukul."

Para pekerja desa berdiri jauh, saling berbisik.

"Ini balasan…"

"Arwahnya bangkit…"

"Silvana kembali…"

Seorang serdadu tertawa mengejek, "Hantu? Omong kosong! Pembunuhnya manusia!"

Tapi ketika ia menyentuh tubuh mayat Willem, ia tersentak dan terjatuh, menjerit memanggil ibunya tanpa suara rasional. Dalam bayangannya, Willem muncul dalam keadaan basah dan menariknya ke dasar sungai. Butuh empat orang untuk menahannya.

Kabar kematian itu sampai ke rumah kolonial.

Van Goor memandang laporan kematian dengan wajah datar, tetapi tangannya gemetar halus.

"Kemungkinan diserang hewan besar," ujar mandor.

"Kau pikir aku idiot?" balas Van Goor dingin.

Ia berdiri dan menatap jendela ke arah sungai. Dalam bayangannya, ia melihat sosok perempuan dengan rambut panjang sedang menunggu di pinggir air — tapi pemandangan itu hilang ketika ia mengedip.

"Elisa datang malam ini untuk makan malam. Pastikan rumah dalam keadaan rapi."

Para pelayan saling pandang. Mereka tahu benar: Letnan sedang takut, dan ia butuh distraksi. Ia butuh membuktikan kepada dirinya sendiri bahwa ia masih menguasai keadaan.

Namun ketakutan tidak bisa dikalahkan dengan makan malam.

Saat berdandan, Van Goor menatap cermin. Ia menyisir rambutnya, menyalakan cologne, merapikan dasi — memaksa dirinya untuk percaya bahwa ia masih lelaki paling berkuasa di perkebunan ini.

Tapi tiba-tiba lampu di kamarnya berkedip.

Cermin di depan wajahnya berembun… seolah ada napas di balik kaca.

Van Goor perlahan mendekat.

Embun itu membentuk tulisan:

AKU DI SINI

Ia membanting cermin hingga pecah. Pelayan di luar terkejut.

"Tidak ada yang terjadi! Urusi saja makan malam!" teriaknya.

Tetapi sudut matanya kembali menangkap sesuatu di pecahan kaca lantai:

refleksi rambut panjang basah… berdiri tepat di belakangnya.

Saat ia menoleh — tidak ada apa-apa.

Ia jatuh terduduk. Hidungnya berdarah karena panik dan napasnya terhuyung.

Dia tahu mimpi buruk telah dimulai.

Sore hari, desa semakin kacau. Semua orang panik setelah melihat mayat Willem.

Nyai Surti muncul tanpa diundang di tengah kerumunan.

"Jangan bersuara sembarangan tentang anak itu," suaranya pelan namun semuanya terdiam.

"Dia bukan gentayangan… dia pulang."

Seseorang bertanya, "Untuk apa, Nyai? Membunuh semua orang?"

Nyai Surti menatap sungai.

"Bukan membunuh… mengembalikan apa yang dirampas."

Pak Wiryo berdiri gemetar, napasnya tersengal. "Aku… melihat dia datang ke rumahku…"

"Dia mendatangimu bukan untuk menyakitimu. Dia butuh seseorang yang mencintainya," jawab Nyai Surti.

"Tapi… dia bukan anakku lagi…" suara Pak Wiryo pecah. "Matanya bukan matanya…"

Nyai Surti menatapnya — bukan dengan simpati, tapi rasa hormat.

"Dia sekarang adalah sesuatu yang lebih kuat dari kematian."

Semua orang membeku.

Malam datang lagi.

Kabut naik.

Dan untuk pertama kalinya sejak kematiannya, Silvana muncul sepenuhnya kepada seseorang yang dulu paling ia percayai.

Pak Wiryo terbangun oleh suara benda berjatuhan. Tangan mungil menyentuh bahunya — terasa dingin, namun lembut seperti dulu ketika Silvana kecil minta ditemani tidur.

Tubuhnya gemetar hebat, tetapi ia tidak bergerak.

"Silvana… apa yang kau inginkan…?"

Ada jeda panjang… sebelum suara itu menjawab:

"Ayah… kau harus memilih. Kau bersamaku… atau kau bersamanya."

Pak Wiryo mulai tersedu, "Aku tidak ingin kehilanganmu lagi…"

Silvana memeluknya dari belakang. Bukan hangat. Bukan kasih sayang. Tetapi kebekuan air sungai yang menusuk tulang.

"Kalau begitu… bantu aku membunuh dia."

Gigi Pak Wiryo gemertak. "Siapa…?"

"Kekasihku."

Sinar bulan masuk dari celah dinding.

Dan untuk pertama kalinya sejak kematiannya, wajah Silvana terlihat jelas.

Tidak ada luka, tidak ada darah — hanya kecantikan yang sakit, seperti patung marmer yang merindukan perasaan yang tak pernah kembali.

Di matanya — hitam sepenuhnya — tidak terlihat kemarahan…

…melainkan penantian.

"Van Goor," bisik Pak Wiryo, seperti kutukan.

Dan malam itu, rumah kolonial bersiap menyambut makan malam bersama…

…tanpa mengetahui bahwa tamu paling berbahaya sudah duduk di kursi kosong — jauh sebelum makanan disajikan.

—Bersambung 

More Chapters